Selasa, 26 Juli 2022

 

Impian Indonesia Emas

Sukidi :   Pemikir Kebinekaan

KOMPAS, 21 Juli 2022

 

                                                

 

Pemilu 2024 harus menjadi mekanisme politik yang terbuka dan demokratis untuk memilih pemimpin besar yang visioner. Yakni, pemimpin yang memiliki visi tentang arah bangsa ke depan di tengah situasi perang dan ketidakpastian ekonomi global. Dengan kesadaran penuh tentang perwujudan cita-cita Indonesia merdeka yang telah diamanahkan oleh para ibu dan bapak pendiri bangsa, pemimpin yang nanti kita berikan amanah harus bertekad kuat untuk mewujudkan impian Indonesia Emas 2045, yang hanya tinggal 23 tahun lagi dalam menyongsong 100 tahun kemerdekaan.

 

Komitmen pada perwujudan Indonesia Emas 2045 ini menjadi faktor pembeda antara dua tipe pemimpin. Pemimpin yang berjiwa kerdil hanya menggelorakan retorika politik tentang kebesaran bangsa Indonesia, dengan ukuran jumlah penduduk yang besar dan kekayaan alam yang berlimpah ruah. Targetnya tak lebih dari sekadar kepentingan politik elektoral semata.

 

Namun, pemimpin yang berjiwa besar tampil di hadapan rakyatnya dengan penuh kejujuran dan kerendahan hati bahwa ada aspek penentu yang jauh lebih penting dan menentukan di balik kemajuan suatu bangsa. Aspek itu terbukti pada negara tetangga Singapura, dengan jumlah penduduk yang sangat kecil dan kekayaan alam yang teramat minim, justru jauh lebih maju daripada Indonesia, baik dari segi kesehatan, kualitas hidup, ketrampilan, maupun pendidikan. Sebagai negara dengan peringkat ekonomi paling kompetitif di dunia, Singapura berhasil memajukan ekonomi bangsanya yang berjalan secara pararel dengan peningkatan kualitas pendidikan yang unggul dan berkelas dunia. Pendidikan menjadi cerita sukses di balik kemajuan negara Singapura.

 

Karena itulah, pasti ada aspek yang menjadi faktor penting di balik kemajuan suatu bangsa. “Aspek ini amat sering dibicarakan,” demikian petuah bijak pengusaha TP Rachmat (2022), “Tapi sering kali perwujudannya terkalahkan oleh aspek-aspek lain yang bersifat lebih mendesak. Aspek ini juga amat sulit untuk disiapkan, karena sifatnya jangka panjang, perlu komitmen serta konsistensi lintas generasi-lintas pemerintahan, yang gigih dan pantang menyerah. Aspek itu adalah kualitas manusia. Kualitas manusialah yang akan menjadi penentu dan pembeda bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kebesaran bangsa.”

 

Sungguh, kualitas manusia menjadi salah satu, jika bukan satu-satunya, faktor penentu dan pembeda di balik kemajuan Singapura. Potret Indeks Modal Manusia Singapura menempati rangking tertinggi di dunia. Sementara Indonesia tertinggal jauh, bukan hanya dalam skala rangking dunia, melainkan juga kalah hanya dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara sekalipun, mulai dari Vietnam, Brunei, Malaysia, hingga Thailand.

 

Dengan fakta brutal ini, pemimpin yang berjiwa besar harus menyadari sepenuhnya tentang defisit modal manusia Indonesia. Pengakuan yang jujur atas ketertinggalan kualitas manusia ini menyadarkan pemimpin yang berjiwa besar itu untuk berinvestasi semaksimal mungkin pada pembangunan kualitas manusia. Hanya dengan peningkatan kualitas manusia yang unggul dan berdaya saing tinggi, Indonesia mampu berkompetisi dengan negara-negara maju lain dan mampu meningkatkan kualitas hidup rakyatnya.

 

Jika pembangunan aspek kualitas manusia ini tidak menjadi prioritas pertama dan utama para pemimpin Indonesia ke depan, kita sebenarnya hanya menunggu bom waktu saja untuk menjadi bangsa yang gagal dalam mempersiapkan generasi Indonesia emas 100 tahun kemerdekaan. Apalagi, pemimpin kita sering berpikir jangka pendek, dalam hitungan Pemilu, dengan kurang begitu tertarik pada investasi modal manusia, karena hasilnya perlu diraih dalam waktu yang relatif lama. Hal ini berbeda dengan investasi modal fisik yang hasilnya dapat dilihat dan dirasakan secepatnya, lalu dipamerkan atas nama warisan kepemimpinan.

 

Namun, pemimpin yang mengabaikan investasi modal manusia justru hanya menghambat pertumbuhan ekonomi, memperlebar kesenjangan, dan meningkatkan angka kemiskinan. “Tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka,” janji Soekarno pada 1 Juni 1945, terbukti tidak mampu kita wujudkan hari ini dan 100 tahun Indonesia Merdeka nanti.

 

Pemimpin yang berjiwa besar itu semestinya bertekad kuat untuk melunasi janji-janji kemerdekaan yang diamanahkan oleh para pendiri bangsa. Hanya dengan melunasi janji-janji kemerdekaan itu, kita menjadi bangsa yang mampu menghormati dan memuliakan jasa dan perjuangan para pendirinya dan sekaligus mampu menorehkan kontribusi pada terwujudnya impian generasi emas 100 tahun Indonesia Merdeka.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/21/impian-indonesia-emas

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar