Selasa, 26 Juli 2022

 

Partai Politik dan Asa Demokrasi

Wim Tohari Daniealdi :  Dosen FISIP Unikom Bandung

SINDONEWS, 22 Juli 2022

 

 

 

DALAM beberapa pekan terakhir, kita merasakan aroma kuat persaingan pemilu, pilpres, dan pikada serentak 2024. Di tambah pada 14 juni 2022 lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah memulai kick-off tahapan Pemilu 2024.

 

Setelah beberapa pekan saling kunjung mengunjungi antar elite politik, sebagian partai politik agaknya sudah mencapai sejumlah kesepaham dan mulai membentuk koalisi guna menyongsong perhelatan politik 2024.

 

Namun terlepas dari proyeksi pencapresan ataupun target elektabilitas yang pasti diincar oleh setiap kontestan pemilu 2024, yang menarik perhatian penulis adalah misi dan juga harapan yang ingin dilaksanakan oleh para elite politik ini dalam berkompetisi pada 2024; yaitu membangun ekosistem persaingan yang sehat demi kepentingan nasional yang lebih baik.

 

Hal ini tercermin di dalam plaform Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diusung oleh Golkar, PPP, dan PAN, di mana mereka sepakat untuk mengakhiri politik identitas, dan ingin mencairkan polarisasi massa Pilpres 2014-2019 yang hingga kini masih menimbulkan "polusi" di ruang demokrasi kita.

 

Harapan yang sama juga disampaikan oleg Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dalam pidato nya ketika membuka Rakernas Partai NasDem, 15 Juni 2022 lalu, bahwa di atas politik kompetisi dalam pemilu, ada “politik kebangsaan” yang bertujuan luhur, demi kebaikan dan keutuhan bangsa. Dalam kesempatan itu, Surya Paloh meminta semua kader NasDem untuk lebih mengedepankan politik kebangsaan ini dalam perhelatan pemilu, pilpres dan pilkada serentak 2024 ini.

 

Dalam pandangan penulis, misi yang diinginkan oleh para elite parpol ini perlu disambut baik. Sebagaimana kita ketahui, bahwa pasca Pilpres 2014 lalu, telah terjadi “pembalseman” artefak konflik pilpres yang mengakibatkan polarisasi massa pendukung kandidat presiden terfregmentasi ke dalam dua kubu yang pro dan kontra pemerintah.

 

Pada tahap selanjutnya, kondisi tersebut membentuk patern budaya politik yang konfliktual, di mana hampir semua isu politik, momen politik, dan agenda politik, selalu menghadirkan dua sikap atau pendapat yang konfrontatif, bahkan saling menegasikan satu sama lain.

 

Sebagai dampak lanjutan dari kondisi tersebut, terjadi pematenan loyalitas kelompok, dan tertutupnya jalan ketiga. Skema popularitas hanya dirumuskan ke dalam dua kutub figur, yaitu Jokowi dan Prabowo. Akibatnya, tidak ada figur-figur alternatif yang bisa muncul ke puncak elektabilitas dalam kurun waktu Pilpres 2014 sampai 2019. Karena siapa pun akan diidentifikasi orientasi keberpihakannya pada figur Jokowi atau Prabowo.

 

Tanpa kita sadari, fenomena ini telah mengerdilkan mekanisme demokrasi sebagai sokoguru merit-system. Para tokoh dan politisi di negeri ini lebih mengejar stigma asosiasi dirinya dengan kedua figur yang ada daripada bekerja merumuskan satu prinsip atau visi masa depan politik yang otentik.

 

Sebagaimana kita saksikan, persaingan Pilpres 2019 lalu bahkan tidak melahirkan profil pemimpin baru, dan sepi dari gagasan orisinil. Tidak ada satupun dari narasi-narasi yang muncul ke permukaan membawa sebuah konsep yang luas diperbincangkan, dan menjadi isu nasional. Semua isu yang muncul selalu dipaksa kembali pada satu dari dua konklusi, “tetap Jokowi” atau “ganti presiden”.

 

Dampak lanjutan yang muncul kemudian, adalah terjadinya sakralisasi figur. Baik Jokowi maupun Prabowo menjadi sosok yang demikian dipuja, tapi sekaligus ditentang. Profil mereka menjadi sakral dan kehilangan nilai manusiawinya. Akibatnya, terjadinya simplifikasi sistem politik di negara kita. Dari semula bersifat institusional, menjadi personal.

 

Mirip seperti era Orde Baru dan Orde Lama. Hanya bedanya, bila pada kedua era sebelumnya, baik Soekarno maupun Soeharto membangun sendiri sakralitas dirinya, dan menghimpun dalam dirinya semua kekuasaan politik. Kini, baik Jokowi maupun Prabowo, disakralisasi oleh para pendukungnya. Fakta ini jelas mencemaskan. Karena demokrasi sejatinya menuntut agar kita menginsitusionalisasikan sistem, bukan mempersonalisasikannya.

 

Inilah yang luput dipahami selama polarisasi ini berlangsung. bahwa pemilihan presiden tidak bisa disimpifikasi menjadi sekedar proses pemilihan figur personal. Melainkah sebuah mekanisme pemilihan sebuah lembaga politik.

 

Maka tidak ada yang aneh, ketika selesai Pilpres 2019, Jokowi merangkul Prabowo untuk masuk bergabung ke dalam kabinet sebagai Menteri Pertahanan. Selain benar secara konstitusional, langkah tersebut dianggap sebagai terobosan positif dari kedua tokoh kunci ini untuk mencairkan polarisais kelompok yang ada.

 

Tapi sebagaimana kita saksikan bersama, alih-alih mencair, polarisasi tersebut nampaknya malah membentuk struktur polarisasi baru, tapi dengan format komposisi yang mirip, demi menyongsong perhelatan Pilpres 2024. Di mana keduanya mencari figur alternatif untuk menggantikan sakralitas Jokowi dan Prabowo.

 

Jangan lupa, polarisasi yang terbangun sejak Pilpres 2014 lalu itu, sudah beberapa kali mengalami eskalasi puncak yang mengancam persatuan dan kesatuan nasional. Bahkan keduanya, pada titik ekstrem, telah secara serampangan membawa klaim keagamaan dan kebangsaan.

 

Sebagaimana kita tahu, kedua klaim ini adalah racikan paling berbahaya bagi negara dengan tingkat heterogenitas sekompleks Indonesia. Sebab secara geneologis, kedua klaim ini memiliki daya pikat yang luar biasa.

 

Seseorang, ataupun satu kelompok akan sangat militan dalam menganut keduanya. Daya ikatnya pun tak kalah kuat, keduanya menuntut kesetiaan tanpa batas, hidup atau mati. Sejarah peradaban manusia merekam, jutaan nyawa manusia melayang dalam konflik atas nama agama dan bangsa (nasionalisme).

 

Akan tetapi, di balik sisi gelapnya, kedua klaim ini, baik agama maupun kebangsaan, sesungguhnya memiliki energi maha besar untuk melindungi semua hak manusia yang paling fundamental, yaitu hak hidup, dan hak mengenyam kebebasan, yang mana merupakan cita-cita Pancasila serta UUD 1945.

 

Sejarah lagi-lagi menunjukkan, bahwa tak ada satu doktrin pun yang bisa demikian luas melayani kemanusiaan, selain agama dan rasa kebangsaan. Maka tidak mengherankan bila, para pendiri bangsa ini, menyusun rencana politik yang sangat mapan, dengan membuat skema konvergensi kebangsaan baru di atas pondasi keagamaan dan kebangsaan yang ada di Nusantara, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 

Sayangnya, yang kini sedang dipentaskan di negeri ini justru sisi kelam dari keduanya. Di mana ancaman terhadap NKRI ini dibuat seolah-olah nyata sehingga glorifikasi untuk menyelamatkan NKRI menjadi jargon yang terus mengemuka selama lebih dari lima tahun terakhir. Demikian juga sebaliknya, wacana tentang ancaman penistaan agama dan penghancuran agama secara sistematis oleh kelompok tertentu terus didengungkan.

 

Terkait dengan itu, tidak bisa tidak, kedua klaim ini harus segera dirobohkan dengan cara apapun. Bila tidak, hari-hari ke depan kita akan di bayang-bayang masa depan yang kelam, di mana rasa kebangsaan akan menjelma menjadi fasisme, dan nilai-nilai keagamaan akan menjadi fanatisme buta. Sejarah sudah menunjukkan, kedua-duanya tidak pernah melayani kemanusiaan, melainkan akan menyeret martabat kemanusiaan hingga ketitik terendah peradabannya.

 

Pada titik ini, partai politik adalah pihak yang bisa kita harapkan untuk membuat demokrasi kita tetap tumbuh di atas koridornya. Partai politiklah kanal aspirasi yang sepatutnya mengonversi tendensi-tendensi subjektif masyarakat menjadi satu kritik yang objektif dan konstruktif.

 

Partai politik harus hadir sebagai sokoguru demokrasi yang mencontohkan kepada masyarakat bagaimana caranya menyampaikan pendapat dengan baik dan akurat. Bagaimana caranya beroposisi yang benar, sehingga narasi-narasi alternatif bisa tumbuh secara elegan dan bisa dipertanggungjawabkan.

 

Lebih dari itu, partai politik harus menjadi sekolah demokrasi yang memproduksi kader-kader berkualitas, sehingga masyarakat tidak terbatas pilihannya.

 

Pada akhirnya, persoalan utama kita bukan merumuskan siapa kandidat untuk 2024, tapi membersihkan sampah konflik yang sudah berserak di tengah masayarakat. Karena, tentu, kita tak ingin demokrasi yang kita banggakan bersama, harus mati di altar provokasi. Bisakah koalisi-koalisi partai politik ini melakukan hal itu? Wallahu’alam bi sawab.

 

Sumber :   https://nasional.sindonews.com/read/833839/18/partai-politik-dan-asa-demokrasi-1658477256?showpage=all

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar