Minggu, 24 Juli 2022

 

Jalan Panjang Perjuangan Presidential Threshold  Abustan: Dosen Magister Hukum Universitas Islam Jakarta

KOMPAS, 18 Juli 2022

 

                                                

 

Harapan untuk mewujudkan keadilan lewat proses pencalonan pemilu presiden dan wakil presiden melalui mekanisme Mahkamah Konstitusi ternyata tak menemukan titik terang. Padahal, berulang kali ada permohonan judicial review atas Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) ke Mahkamah Konstitusi.

 

Selama 2014, masalah ini terus memantik perdebatan panjang karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan presidential threshold sebagai kebijakan hukum yang terbuka hingga menyerahkan kepada pembentuk undang-undang. Dalam hal ini, eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR), selanjutnya, perdebatan dalam pembahasan RUU Pemilihan Umum terutama terkait adanya keputusan MK soal pemilu serentak di pemilu tahun 2019. Hal itu, tentu saja menimbulkan perdebatan soal apakah diperlukan ambang batas pemilihan presiden atau tidak.

 

Tampaknya, opsi ini mengindikasikan keraguan dan keterbelahan pandangan fraksi-fraksi yang ada di DPR. Ada fraksi yang menghendaki tidak perlu lagi ambang batas pencalonan presiden, tetapi ada juga yang menghendaki tetap diperlukan dengan alasan dan basis argumentasi yang berbeda.

 

Namun, sejumlah pendapat yang menjadi justifikasi (pembenaran) tentang hal yang mendasar dan urgensi dilakukan ambang batas secara sosiologis dan landasan filosofisnya kita tak menemukan. Sebab, idealnya pendapat itu isinya haruslah mengatakan hakikat masalah yang sebenarnya. Di mana keberadaan presidential threshold 20 persen adalah tidak demokratis, mengabaikan konstitusi, hak asasi manusia (HAM), dan berlaku secara diskriminatif kepada rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi.

 

Ambang batas inkonstitusional

 

Bangsa Indonesia menganut persamaan hak dalam hukum dan persamaan kesempatan dalam pemerintahan bagi semua warga negara Indonesia (WNI) yang dijamin oleh konstitusi UUD 1945. Karena itu, mengoreksi secara total Pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 menjadi keniscayaaan di negara yang berdasar hukum (rechstaat), bukan negara kesewenang-wenangan kekuasaan (macstaat).

 

Oleh sebab itu, ada beberapa catatan penting yang berkorelasi dengan presidential threshold atau ambang batas. Pertama, perlu dipahami bahwa rumusan Pasal 22 E UUD 1945 telah dengan jelas menyatakan pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Pemilu itu dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta memilih presiden dan wakil presiden.

 

Poin khusus tentang norma pemilihan presiden/wakil presiden selama ini seringkali ”dipelintir” oleh pemerintah dan beberapa fraksi DPR demi mewujudkan keinginan politik mereka agar jumlah pasangan dapat diminimalisasi (dibatasi). Frasa kata ”sebelum pemilihan umum dilaksanakan” diartikan sebagai sebelum pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

 

Kedua, perlu pula dipahami, sejatinya makna Pasal 6 A dikaitkan dengan Pasal 22 E UUD 1945 dengan jelas menunjukkan bahwa pemilu dilaksanakan serentak dan setiap parpol peserta pemilu berhak untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden sebelum pemilu dilaksanakan. Dengan demikian, dapat diartikan kalau memang pemilu wajib dilaksanakan serentak, maka pembicaraan tentang threshold atau ambang batas perolehan kursi di DPR sebagai syarat pencalonan akan menjadi tidak relevan lagi sama sekali.

 

Ketiga, putusan MK mengenai pemilu serentak harus diakui telah melewati/didahului dengan perdebatan akademis yang alot dan panjang. Effendi Ghozali dan Yusril Ihza Mahendra menjadi pemohon yang tergolong ulet dan kukuh memperdebatkan pemilu serentak di sidang MK.

 

Akan tetapi, setelah MK memberikan putusan pemilu serentak, sangat disayangkan karena masih saja ada ”pikiran-pikiran inkonstitusional” yang menghendaki agar ambang batas tetap ada (dicantumkan). Hal itu menunjukkan betapa krusial poin ambang batas presiden dan wapres di tengah pusaran kepentingan politis oleh partai politik yang diuntungkan oleh sistem yang otoriter.

Suasana sidang yang diketuai oleh hakim MK Arief Hidayat membahas uji materi UU tentang ambang batas pencalonan presiden (<i>presidential threshold</i>) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (11/1/2018). Mahkamah Konstitusi menolak uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur ambang batas pencalonan presiden dan menyatakan bahwa pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.

 

LASTI KURNIA

 

Suasana sidang yang diketuai oleh hakim MK Arief Hidayat membahas uji materi UU tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (11/1/2018). Mahkamah Konstitusi menolak uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur ambang batas pencalonan presiden dan menyatakan bahwa pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.

 

Penjaga demokrasi

 

Respons dan ekspektasi publik untuk memperjuangkan demokrasi dengan beramai-ramai memasukkan permohonan ke MK, bahkan tak terkecuali warga negara Indonesia yang ada di luar negeri. Tentu, semua ini demi memperjuangkan apa yang menjadi hak-hak konstitusionalnya dan melawan dengan cara yang sah dan legal terhadap pihak atau kelompok yang mencoba ”membelokkan” ideal-ideal demokrasi.

 

Pada titik itulah, perlu pula dipahami adanya ancaman terhadap demokrasi yang datangnya bukan dari semisal kapitalisme, sosialisme, dan komunisme. Akan tetapi, ancaman paling nyata justru datang dari dalam pendukung demokrasi itu sendiri. Atau, dengan kata lain, menggunakan anasir-anasir dalam demokrasi, tetapi secara realitas sesungguhnya tidak demokratis. Padahal, pasal-pasal di dalam UUD 1945 telah merefleksikan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara.

 

Oleh sebab itulah, negara hukum Pancasila mengharuskan negara hadir untuk melindungi hak demokrasi warga negara dan sekaligus untuk perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Meminjam istilah John Locke, konstitusi adalah kontrak sosial antara warga negara dan negara, dan berdasarkan kontrak sosial warga negara adalah principal, sementara negara adalah pelayan. Jika ada pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara oleh negara, maka negara harus bertanggung jawab untuk memulihkan hak-hak konstitusional warga negaranya.

 

Maka, sebagai bentuk pemenuhan hak konstitusional rakyat, lahirlah lembaga baru yang bernama MK. Pada dasarnya, tujuan pembentukan MK untuk mengawal konstitusi, terutama menjaga agar tidak ada UU yang melanggar UUD. Hak uji UU terhadap UUD diberikan kepada MK sebagai lembaga yudikatif yang sejajar dengan pembuat UU. Hal itu dimaksudkan, selain didasari oleh pandangan perlunya checks and balances antarlembaga negara, juga merujuk pada alasan John Marshall (Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat) yang untuk pertama kali dalam sejarah ketatanegaraan melakukan judicial review dengan membatalkan Judiciary Act 1789 karena isinya bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat.

 

Keberanian moral dan pemihakan yang jelas terhadap rakyat oleh hakim agung Amerika Serikat dalam membatalkan produk hukum yang bertentangan dengan konstitusi Amerikat Serikat mestinya menjadi teladan dan harus dicontoh oleh hakim MK yang melakukan uji materi Pasal 222 UU Pemilu terhadap konstitusi UUD 1945. Apalagi, posisi MK sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman dengan sejumlah kewenangan yang dimilikinya.

 

Sebetulnya, publik berharap besar terhadap lembaga ini untuk melakukan perubahan mendasar sehingga pengejawantahan demokrasi benar-benar terlaksana dengan baik. Namun, sangat disayangkan karena justru berbagai putusannya terkait Pasal 222 UU No 7/ 2017 ini justru memberikan penolakan. Terakhir, putusan MK Nomor 52/PUU-XX/2022 yang diajukan DPD dan Partai Bulan Bintang (PBB).

 

Dengan demikian, berbagai ikhtiar untuk memulihkan atau menormalkan kembali ke sistem demokrasi yang berbasis kedaulatan rakyat kembali ”dipatahkan” oleh putusan MK. Jadi, upaya yang bersifat kelembagaan ataupun perorangan dan puluhan elemen masyarakat lain yang telah mengajukan judicial review dengan semangat menjunjung demokrasi kembali gagal. Itu berarti, eksistensi MK patut dipertanyakan sebagai the guardian of the constitution dan penjaga tegaknya demokrasi.

 

Selain itu, ada lagi yang perlu direnungkan oleh MK sebagai lembaga penjaga tegaknya nilai demokrasi, yaitu sebuah alasan tentang perlunya pelembagaan judicial review bahwa UU adalah produk politik. Sebagai produk politik, sangat mungkin isi UU bertentangan dengan UUD, misalnya akibat adanya kepentingan-kepentingan politik parpol yang ada di parlemen, bahkan sangat mungkin pula adanya ”kolusi politik” antar-anggota parlemen atau adanya intervensi dari tangan pemerintah yang sangat kuat.

 

Secara substansi, perubahan konstitusi telah mengubah paradigma kekuasaan negara dari supremasi MPR ke supremasi konstitusi sehingga MK adalah bagian dari kekuasaan kehakiman. Yang menjadi sangat fundamental dan merupakan bagian dari sistem kekuasaan yang merdeka dan memiliki fungsi menegakkan keadilan. Dengan harapan untuk menjalankan amanat konstitusi itulah, MK kembali mengokohkan eksistensinya sebagai penjaga demokrasi.

 

Akhirnya, untuk menghindarkan rakyat dari pesimisme dan fatamorgana berdemokrasi, Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi haruslah tetap menjadi postulat penting dalam bernegara. Karena itu, salah satu pencapaiannya adalah menghilangkan presidential threshold dalam sistem demokrasi kita.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/16/jalan-panjang-perjuangan-presidential-threshold

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar