Minggu, 24 Juli 2022

 

Membaca Peluang Perdamaian Rusia-Ukraina

Radityo Dharmaputra: Peneliti Kawasan Rusia dan Eropa Timur, Dosen HI Universitas Airlangga; Mahasiswa S-3 di Johan Skytte Institute of Political Studies, University of Tartu, Estonia

KOMPAS, 18 Juli 2022

 

                                                

 

 Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia, beberapa waktu lalu, menuai respons beragam dari berbagai elemen masyarakat, domestik ataupun internasional. Selain apresiasi dan kritik sejumlah kalangan, ada skeptisisme dari sejumlah media asing mengenai kunjungan ini.

 

Editorial Kompas (29/6/ 2022) berjudul ”Jokowi Temui Putin dan Zelensky”, misalnya, menggarisbawahi tepatnya upaya Presiden Jokowi untuk mendorong solusi damai melalui kunjungannya. Begitu pula editorial Kompas (2/7/2022) ”Buah Diplomasi Presiden Jokowi” yang memuji kunjungan itu sebagai upaya yang baik dan produktif untuk mengetuk hati Presiden Rusia agar segera mengubah kebijakan perangnya.

 

Persoalannya, benarkah upaya Indonesia menyediakan ”meja bundar dialogis” sebagaimana dituliskan Eduardus Lemanto (Kompas, 1/7/2022) disambut oleh kedua belah pihak?

 

Refleksi kunjungan Jokowi

 

Pertama, kunjungan Presiden Jokowi, walau harus dan perlu untuk diapresiasi tinggi, memiliki masalah serius dikarenakan terlalu tingginya target yang ingin dicapai sejak awal.

 

Pada jumpa pers virtual 22 Juni 2022, Menlu RI Retno Marsudi menyebutkan, kunjungan Presiden adalah untuk mendorong spirit perdamaian. Dari pernyataan ini, perdamaian ditempatkan sebagai sasaran utama dan isu lain, seperti krisis pangan, pupuk, dan energi, serta G20, sebagai isu sampingan.

 

Dalam konteks ini, satu kali kunjungan Presiden tentu saja tak bisa diharapkan bisa mencapai sasaran secara penuh. Tak ada kesepakatan gencatan senjata sebagaimana diharapkan, apalagi sampai pada penghentian agresi dari Rusia.

 

Yang ada, dalam kunjungan ke Kyiv, ada kesepakatan bebas visa dan janji kerja sama rekonstruksi sesudah perang. Dalam kunjungan ke Moskwa, kesepakatan bilateral dalam konteks ekonomi justru lebih kentara, seperti kerja sama dengan Eurasian Economic Union, peluang investasi jalur kereta di ibu kota Nusantara, dialog antaragama, dan kunjungan delegasi Muslim Rusia ke Indonesia.

 

Bahkan, terkait isu krisis pangan dan pupuk, walaupun dalam pernyataan resmi Presiden Jokowi mengatakan telah menerima jaminan dari Presiden Putin soal dibukanya jalur suplai dan ketersediaan barang, apabila dicermati dengan saksama, pernyataan Putin justru hanya berhenti pada dua hal.

 

Yakni, menyalahkan sanksi Barat atas produk pangan dan pupuk Rusia serta penjelasannya bahwa Rusia memiliki cukup produk untuk dijual. Putin tak memberikan komitmen soal pembukaan Laut Hitam yang selama ini digunakan untuk memblokade produk-produk Ukraina. Begitu pula, tidak ada komitmen dari Putin untuk tak mengambil produk Ukraina dan menjualnya hanya ke negara-negara yang dianggap ”bersahabat dengan Rusia”.

 

Faktanya, hanya beberapa jam sebelum kehadiran Jokowi, Rusia menyatakan pihaknya membuka keran ekspor 7.000 ton gandum dan biji-bijian dari pelabuhan Berdyansk di Ukraina yang dikuasai pasukan Rusia dan siap mengirimkannya ke ”friendly countries”. Artinya, terkait komitmen untuk membuka blokade di Laut Hitam, masih harus ditunggu realisasinya.

 

Kedua, upaya Presiden Jokowi untuk menjadi penyambung lidah rasanya masih sulit dilakukan. Terkait tawaran Jokowi untuk menyampaikan pesan Zelensky ke Putin, misalnya, Kantor Presiden Ukraina melalui Press Secretary Serhii Nikiforov menyatakan bahwa kalaupun ada pesan dari Zelensky, ia akan menyampaikannya sendiri secara publik.

 

Respons Ukraina ini sangat bisa dipahami. Dalam konteks politik domestik Ukraina, legitimasi Zelensky sangat bergantung pada bagaimana ia mempertahankan negaranya dari serangan Rusia. Selama ini, legitimasi Zelensky menguat karena nasionalisme Ukraina yang menggelora akibat adanya serangan Rusia.

 

Oleh karena itu, pernyataan Presiden Jokowi bahwa ia menerima pesan pribadi dari Zelensky, tanpa menjelaskan isi pesannya, bisa mendorong salah paham dari masyarakat Ukraina yang menerka-nerka apa isi pesan itu. Dalam kaitan ini, kita harus bisa memahami situasi politik domestik Ukraina, sebagai korban dan pihak utama dalam perang ini.

 

Ketiga, untuk sementara ini, akan sangat sulit bagi Zelensky untuk memulai negosiasi damai karena ia sendiri sudah berjanji bahwa upaya negosiasi apa pun akan dikonsultasikan pada masyarakat Ukraina. Kunci dari peluang damai ini ada di tangan Presiden Putin karena Rusia yang memulai agresi dan hanya Rusia yang bisa mengakhirinya.

 

Masalahnya, Putin jelas sudah memiliki agenda lain saat bertemu Jokowi, yaitu menggunakan kehadiran Jokowi untuk mengkritik Barat. Ini terlihat dari pernyataan persnya sesudah pertemuan, yang tak menyinggung soal upaya damai, tapi justru sibuk mengkritik sanksi Barat sebagai penyebab krisis dan mengabaikan fakta bahwa krisis justru disebabkan agresi yang dilancarkan Rusia.

 

Indonesia, walaupun merupakan Presiden G20 tahun ini, tidak memiliki posisi tawar yang cukup kuat untuk meminta Putin mengubah kebijakannya. Konsistensi pesan terkait perdamaian dari Presiden Jokowi ternyata tidak disambut pesan serupa oleh Presiden Putin.

 

Langkah lanjutan

 

Terlepas dari masalah yang masih ada, komitmen Presiden Jokowi perlu tetap diapresiasi tinggi karena memperlihatkan upaya aktif Indonesia untuk terlibat dalam penyelesaian konflik. Sejak awal, Indonesia dianggap hanya mengikut prinsip ”bebas” tanpa menekankan prinsip ”aktif”” Tentu saja, kunjungan Presiden Jokowi perlu dilanjutkan dengan langkah konkret pembukaan komunikasi dan proposal perdamaian.

 

Jangan sampai kunjungan ini hanya dilakukan sekali dan fokusnya hanya pada aspek bilateral yang didapat Indonesia.

 

Kalau hanya sampai situ, akan muncul kesan bahwa Indonesia tidak serius menjadi juru damai. Bahkan, ketiadaan langkah lanjutan akan membenarkan kritik bahwa kunjungan ini hanya demi kepentingan nasional Indonesia (diindikasikan dengan banyaknya perjanjian serta komitmen bilateral yang berhasil disepakati) atau bahkan kepentingan domestik Jokowi.

 

Misalnya, pemerintah bisa menunjuk tim khusus (special envoy) yang terdiri dari para mantan diplomat senior yang telah berpengalaman dalam berhubungan dengan Ukraina, Rusia, AS, dan Uni Eropa serta memiliki pengalaman dalam negosiasi konflik. Agar lebih fleksibel bergerak dan tidak terhambat birokrasi, tim ini perlu berada langsung di bawah Presiden, dipimpin oleh tokoh senior yang dihargai oleh banyak pihak dan memiliki reputasi internasional, serta berisikan mantan diplomat ataupun para ahli.

 

Secara khusus, tim ini juga perlu memiliki pemahaman soal Ukraina, tetapi bukan dari sudut pandang Rusia yang menganggap Ukraina hanya boneka Barat. Agar bisa dipercaya Ukraina, tim ini harus mampu memahami posisi Ukraina sebagaimana Zelensky dan masyarakat Ukraina yang sedang tergelorakan nasionalismenya memahami situasi mereka. Tanpa itu, sulit bagi Indonesia untuk bisa terlibat dalam pembicaraan damai dan berkontribusi bagi perdamaian dunia.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/17/membaca-peluang-perdamaian-rusia-ukraina

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar