Senin, 25 Juli 2022

 

Daya Saing Industri Sawit dan Minyak Goreng

Manerep Pasaribu :  Dosen Pascasarjana FEB UI, MEMBER ISMS

KOMPAS, 20 Juli 2022

 

                                                

 

 Indonesia telah berperan sebagai produsen minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia. Pangsa pasar sawit Indonesia mencapai 59 persen di pasar dunia tahun 2021), disusul Malaysia 25 persen, negara lain 16 persen. Namun ironisnya Indonesia pada posisi price taker (mengikuti saja harga yang berlaku di pasar), sedangkan Malaysia menjadi price maker (mendikte harga pasar, karena keunggulan produknya tidak ada yang menandingi) (Mohsenian-Rad, 2015). Malaysia lebih unggul dalam hal hilirisasi dan lebih kompetitif dalam melayani konsumen dunia.

 

Komunitas petani sawit Indonesia berkisar 6 juta orang, dengan penyerapan tenaga kerja tidak langsung 16 juta. Ekspor CPO memberikan kontribusi penerimaan devisa terbesar sesudah ekspor minyak dan gas sebesar atau 36 miliar dollar AS (2021). Kontribusi industri sawit ini mampu membantu Indonesia keluar dari berbagai krisis keuangan dan menutupi neraca perdagangan yang defisit. Karena itu industri sawit berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia.

 

Luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 14,3 juta hektar; terdiri dari 53 persen perusahaan besar atau korporasi perkebunan swasta, 41 persen rakyat petani termasuk sawit swadaya, dan 6 persen BUMN (PTPN). (GAPKI, 2020).

 

Jadi peran petani (sawit rakyat dan sawit swadaya) cukup besar, namun lemah kekuatan tawar menawarnya. Petani ini hanya memiliki tanaman sawit dan tidak memiliki pabrik minyak kelapa sawit (PKS).

 

Proses panen sawit bertumbuh secara alamiah dan harus segera diproses. Bila panen sawit ditunda, buahnya menjadi busuk, dan biaya pemulihannya sangat besar. Buah sawit yang sudah dipanen tidak bisa disimpan lama dan harus segera diproses menjadi CPO. Bila buah sawit disimpan, maka kualitasnya menurun drastis dalam hitungan hari.

 

Proses pengolahan yang cepat ini mudah dilakukan oleh korporasi besar. Di sisi lain, petani sawit tidak punya pabrik pengolahan menjadi CPO. Bila ada disrupsi pemasaran sawit, seperti perubahan kebijakan perdagangan sawit, maka populasi petani sawit yang 41 persen itu, yang pertama kena dampaknya. Mereka bisa langsung menjadi miskin.

 

Awal Mula Petaka Industri Sawit

 

Pada bulan Desember 2021, harga minyak goreng di pasar dalam negeri melambung sampai Rp 27.000/kg. Sumber kejutan pasar tersebut diperkirakan, antara lain, dari kelangkaan sumber bahan baku (CPO). Untuk memenuhi bahan baku minyak goreng (CPO), maka pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng yang dilakukan mulai Kamis, 28 April 2022. Suatu logika bisnis yang sederhana.

 

Keputusan penghentian ekspor secara total diambil guna memastikan produk CPO dapat difokuskan pada pemenuhan suplai minyak goreng curah dalam negeri, sehingga harga dapat turun menjadi Rp 14 ribu/liter, dengan asumsi tidak ada ekspor.

 

Namun sesungguhnya, tingginya harga minyak goreng semata-mata bersumber dari harga pasar internasional minyak goreng memang tinggi. Berlaku hukum pasar, di mana harga yang tinggi disitu juga dijual oleh para pedagang dan produsen minyak goreng. Karena komoditas CPO dan minyak goreng ditentukan oleh pasar internasional (international market), maka pasar dalam negeri diisolir dari pasar luar negeri.

 

Kebijakan Publik

 

Menurut Prof Robert Cooter (1996) dari Universitas California, Berkeley, hukum dan kebijakan publik pada perekonomian, perlu perhitungkan kekuatan tarik menarik persaingan, karena berdampak pada distribusi nasib baik dan nasib buruk para pemain pasar. Kebijakan publik tidak sekedar memikirkan permintaan dan penawaran.

 

Kebijakan publik dapat mengubah produk dan proses pengadaannya, namun hal itu mencipta masalah baru pada koordinasi dan kooperasi pada mekanisme permintaan dan penawaran. Kebijakan publik pada perekonomian ada dua alternatif: 1) Kebijakan komprehensif, memperhitungkan kepentingan tiap produsen yang terkena, disamping konsumen; atau 2) Kebijakan kecil-kecilan atau ketengan (piecemeal), seperti sekedar mengatasi keluhan masyarakat. Pertanyaannya adalah kebijakan publik pada industry kelapa sawit selama ini tergolong yang mana: apakah komprehensif atau ketengan (piecemeal)?

 

Sejak larangan ekspor CPO, industri sawit Indonesia jatuh pada masa sulit, yang berdampak pada harga Tandan Buah Segar (TBS) khusus di lingkungan sawit rakyat, harga jatuh bebas dari Rp 3.500 sampai 4.000 per kilogram, dan bahkan terjun bebas pada titik terendah baru-baru ini sampai antara Rp (500-800) per kilogram.

 

Apa masalahnya bisa terjun bebas? Dari kalkulasi sederhana, dapat dilihat bahwa total produksi CPO Indonesia tahun 2021 berkisar 48 juta ton, sedangkan kebutuhan CPO di dalam negeri; baik minyak goreng (B30) maupun industri lainnya mencapai sebesar 18 juta ton. Artinya, sisa 30 juta ton CPO harus diekspor karena pasar domestik dinilai tidak mampu menampung kelebihan produksi CPO tersebut.

 

Dengan ditutupnya ekspor pada sisa produksi CPO, sama artinya dengan mematikan atau mempersempit pertumbuhan industri sawit rakyat. Memang akumulasi pasokan bahan baku CPO terjadi secara cepat, tangki-tangki timbun terisi penuh, sampai pabrik kelapa sawit (PKS) tidak mampu lagi membeli TBS dari petani/rakyat, sehingga harga terjerembab pada level Rp 300/kilogram. Malah ada sawit rakyat tidak dipanen lagi dan buah TBS busuk. Petani berteriak dan menangis, sementara melimpah ruah produk CPO di tanah air. Petani sawit yang paling menderita dari penutupan eksport sawit.

 

Sesudah tiga minggu penutupan ekspor, keran ekspor dibuka. Namun harga TBS tidak juga terdongkrak, karena konsumen/pelanggan di luar negeri (India, China, Pakistan, dll) sudah mencari atau pindah ke pemasok negara lain. Nasi sudah menjadi bubur.

 

Korporasi konsumen CPO luar negeri tentu berpikir dengan kriteria keberlangsungan (sustainability), ketersediaan (availability), murah harganya, kwalitas baik, terpercaya (trust), dan delivery yang terjamin. Langganan seperti India sudah mengalihkan pasokan CPO dari supplier Malaysia dan Thailand. Dunia berebut beli minyak sawit dan Malaysia mengambil langkah yang efektif dengan memotong pajak ekspor CPO. Malahan ada negara dengan korporasinya terpaksa berpindah dengan menggunakan minyak nabati lainnya seperti bunga matahari.

 

Sementara itu, berdasarkan data terakhir, ada 6,5 juta ton CPO yang tertimbun di Indonesia, yang sebelumnya berperan sebagai penentu harga pada pasar CPO dunia. Dampak negatif lainnya adalah supply chain di seluruh dunia mengalami gangguan dari banyak kapal antri. Dari sini terlihat bahwa dengan tutup buka ekspor (off-on export) CPO ke pelanggan di luar negeri berdampak negatif yang luas, termasuk kemerosotan penerimaan devisa dari eksport CPO, serta anjloknya penghasilan petani rakyat (small holder) yang total memiliki lahan 41 persen dari total lahan produksi sawit, yang melibatkan sekitar 6 juta petani rakyat plus 16 juta pekerja bayaran.

 

Dampaknya menyedihkan

 

Sementara ekonom menilai kebijakan tutup-buka ekspor, berpotensi merugikan petani dan pengusaha, serta menekan penerimaan devisa negara. Kebijakan ketengan pada industri sawit, memojokkan para petani yang sebetulnya tidak bersalah. Panen sawit mengalami penurunan, sehingga mereka tak mampu mengadakan pupuk, herbisida, sumberdaya lainnya, apalagi dengan kondisi harga saat ini yang dilanda inflasi tinggi.

 

Harga jual Tandan Buah Segar (TBS) sawit dari petani sejumlah daerah melorot dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, para stakeholder industri sawit berharap agar pemerintah menetralisir dampak negatif dari tutup-buka ekspor CPO, dan merekonstruksi kembali kebijakan industry sawit secara komprehensif, termasuk membangun kembali keunggulan daya saing industry sawit pada persaingan dunia, serta meluruskan kembali produktivitas usaha dari sektor hulu sampai hilir.

 

Dari data produksi CPO sebesar 48 juta ton, yang digunakan pada pasar domestik 18 ton CPO, masih sisa sebesar 30 juta ton CPO (GAPKI, 2021). Maka melakukan penghentian eksport secara total untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri, ternyata kurang strategis. Namun kebijakan sebelumnya pada ”Domestic Market Obligation (DMO)” dengan 20 persen dari produk CPO tinggal di Indonesia untuk pasar domestic, merupakan langkah strategis. Tinggal mengawal implementasi DMO yang konsisten, dan cukup menjaga agar tikus nakal dicari dan dibersihkan.

 

Masih ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan kebutuhan minyak goreng di dalam negeri dan tidak perlu memutus rantai pasokaan (ekspor) CPO ke luar negeri. Adanya selisih harga minyak goreng seperti selisih harga pasar, ongkos kirim ke daerah terisolir, dll dapat diatasi dengan mendistribusikan pungutan/retribusi ekspor CPO dan turunannya yang sudah ada selama ini untuk menutupi selisih harga diatas sehingga harga minyak goreng dapat dipertahankan RP 14.000 per kg di tanah air.

 

Industri Sawit Indonesia perlu ditransformasi untuk memposisi kembali menjadi unggul di pasar dunia, dan sekaligus menjadi lahan produktif bagi pemain industri domestik termasuk petani, serta memberi pengalaman memuaskan bagi konsumen domestik.

 

Tantangan ke depan yang masih berat adalah bagaimana membangun kembali layanan industri sawit Indonesia yang dapat menjadi daya tarik bagi konsumen dunia, dibanding pesaing pemasok kelapa sawit lain dari negara. Bagaimana mencipta kembali posisi Indonesia sebagai price maker pada pasar dunia, seperti penurunan tarif ekspor dibawah tarif ekspor negara pemasok kelapa sawit? Bagaimana membangun kembali keakraban eksportir Indonesia dengan konsumen dunia? Semua pertanyaan disini diharapkan dapat dijawab paling sedikit secara partial dari uraian diatas.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/20/daya-saing-industri-sawit-dan-minyak-goreng

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar