Minggu, 24 Juli 2022

 

Memahami Takdir

Iwan Pranoto: Guru Besar Institut Teknologi Bandung

KOMPAS, 18 Juli 2022

 

                                                

 

 Dalam sebuah siniar berjudul ”Polemik Kebudayaan: Barat Kena Timur Kena”, sastrawan Nirwan Dewanto berkata, praktik pendidikan kita hari ini lebih mendekati gagasan Sutan Takdir Alisjahbana ketimbang Ki Hadjar Dewantara.

 

Ini ada benarnya. Walau berbagai istilah rekaan Ki Hadjar Dewantara (KHD) sudah menghiasi naskah pendidikan, sulit menunjukkan pemikiran KHD mana yang sungguh sudah dipraktikkan di sekolah umum kita di Indonesia hari ini. Darmaningtyas dalam tulisan ”Hilangnya Jejak Ki Hadjar Dewantara dan Tamansiswa” (Kompas, 2/7/2022) juga mengamini ini.

 

Pada mulanya, Agustus 1935, Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menulis ”Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” di Pujangga Baru. Di situ, ia membentangkan gagasan modernisasi Indonesia dan mendefinisikan Indonesia, yakni suatu masyarakat yang sudah menyadari semangat keindonesiaan dan kesadaran bersatu. Ini pijakan utama STA dalam mengimajinasikan Indonesia. Konsekuensinya, STA memandang Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Sriwijaya, Majapahit, Borobudur, dan gamelan sebagai bagian dari pra-Indonesia, bukan Indonesia.

 

Borobudur, menurut dia, dibangun tanpa kesadaran keindonesiaan. Bahkan, bisa saja suatu tindakan atau pemikiran di masa pra-Indonesia dianggap anti-Indonesia menurut ukuran sekarang, seperti satu daerah ”dikuasai wilayah lain” atau satu suku ”menghina suku bangsa dalam wilayah kepulauan ini”.

 

STA mengingatkan bahwa kesadaran dan semangat keindonesiaan merupakan ciptaan generasi ke-20, yang faktanya memperoleh pendidikan Barat. Maka, Indonesia merupakan sebuah gagasan yang rasional dan gagasan ini mengalahkan segala teori keturunan yang justru jadi bagian dari pra-Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia tak perlu terus dikaitkan dengan pra-Indonesia. Bahkan STA mengingatkan, usaha mengaitkan ke masa silam hanya akan membangkitkan perselisihan primitif yang justru mewarnai pra-Indonesia.

 

Konsekuensinya, menurut STA, kita tak punya tugas moral untuk mengglorifikasi masa silam dan mengekstrapolasikan ke Indonesia masa depan. Sebaliknya, ia justru mengajak fokus membabat kekurangan di pra-Indonesia, khususnya lemahnya intelektualisme.

 

Keyakinan STA akan intelektualisme relevan dengan kehidupan sekarang yang dihela sains dan teknologi. Oleh karena itu, pendidikan harus terus menggelorakan intelektualisme, yakni kemampuan bernalar dan memahami secara obyektif. STA memercayai peran intelektualisme sampai sanubarinya.

 

Maka, tak salah jika Fadly Rahman (2020) menyatakan, STA adalah pewaris pemikiran Renaissance dan Pencerahan. Searah dengan STA, redaksi Basis No XVII, Oktober 1967, menulis: ”Jika orang Barat dengan ilmu dan tekniknya membutuhkan perasaan, maka orang Timur... membutuhkan intelektualisme”.

 

Sepuluh tahun kemudian, Mochtar Lubis dalam pidatonya, ”Manusia Indonesia”, mendata sifat-sifat buruk yang masih ada, antara lain munafik, feodal, dan percaya pada takhayul (Lubis, 1977). Ini sebuah pengingat bahwa relatif mudah bersepakat untuk mendirikan negara dan berjanji meninggalkan hal-hal buruk masa silam, namun kenyataannya beberapa sifat masa silam itu belum rela meninggalkan diri kita.

 

Sayangnya, kelugasan mengakui kelemahan seperti dicontohkan STA, Basis, dan Lubis sekarang jadi langka. Padahal, pengakuan sejenis ini prasyarat dalam mereka cipta pendidikan, karena tanpanya pendidikan jadi sekadar jurus melontarkan berbagai pukulan ke segala arah dan berharap ada yang mengenai sasaran. Berharap jadi sebuah strategi.

 

Tentangan

 

Setelah tulisan tajam dan lugas ”Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” itu, bermunculan tulisan yang menentangnya. Karena ”jujur”-nya tulisan itu, KHD menyebut STA radikal, dan gaya radikal ini yang membuahkan banyak serangan. Namun, STA justru bersyukur, menikmati, dan memanfaatkan serangan tadi sebagai peluang berdebat guna terus mempertajam pemikirannya.

 

Di luar beberapa reaksi dangkal, seperti tudingan kebarat-baratan, beberapa penentangnya memberikan tanggapan tajam kritis menelaah gagasan STA melalui serangkaian tulisan yang akhirnya tersusun sebuah polemik. Penentang STA antara lain Sanusi Pane, Dr Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr M Amir, dan KHD. Satu sanggahan terhadap intelektualisme yang menarik kala itu adalah argumen bahwa di dunia Barat pun saat itu sudah meluas dampak negatif atas intelektualisme yang terlalu mendominasi kehidupan. Tanpa sama sekali berusaha membantahnya, STA mengiyakan fakta tersebut dan memberi sebuah analogi untuk menjawab kekhawatiran para penentangnya.

 

Di Barat, mereka sedang memasak nasi yang sudah hampir matang, jadi wajar mereka khawatir nasinya akan hangus jika api tak dikecilkan. Namun, lanjut STA, kekhawatiran ini terlalu dini bagi Indonesia karena apinya saja belum menyala. Maka, janganlah menghawatirkan dominasi intelektualisme manakala nyala intelektualisme itu sendiri belum terpantik di kehidupan masyarakat.

 

Sampai seperempat pertama abad-21 ini pun, berdasar hasil survei pendidikan dua dekade terakhir (misal PISA dan TIMSS) dan pengamatan para pendidik, api intelektualisme belum menyala secara signifikan guna memasak, sehingga sekarang bukan saatnya khawatir hangus.

 

Redaksi Basis pada edisi Oktober 1967 dengan jeli memperingatkan: ”Ketakutan yang berlebih-lebihan terhadap intelektualisme akan membawa kita pada emosionalisme dan verbalisme. Emosionalisme ternyata terdapat dalam dunia politik kita dan pergaulan antar-agama. Verbalisme ternyata terdapat di seluruh dunia pelajaran dan pendidikan kita”. Dari peringatan itu, verbalisme atau kebiasaan membanjiri pendidikan kita dengan jargon sepertinya sebuah penyakit menahun sejak tahun 1960-an.

 

Supriyanto

 

Maka, sungguh berbahaya mengimpor kekhawatiran dari dunia Barat atas dominasi intelektualisme saat ini. Pendidikan Indonesia hari ini justru mutlak perlu melipatgandakan pengasahan intelektualisme. Perlu dicatat, tak semua pemikiran STA cocok dengan masa sekarang. Ada juga pernyataannya yang berseberangan dengan narasi dunia hari ini, misalnya ajakan untuk menguasai atau mengalahkan alam. Karena, sekarang justru dikedepankan pembangunan berkelanjutan jangka panjang guna menyelamatkan alam dan Planet Bumi.

 

Namun, di luar perlunya penyesuaian pemikiran STA dan mitra-mitranya, rekaman perdebatan pemikiran hampir 90 tahun lalu sungguh berharga bagi Indonesia dan menyiratkan dua pesan bijak. Pertama, sebuah permasalahan di satu tempat belum tentu merupakan permasalahan juga di tempat lain. Pesan ini tetap relevan sampai hari ini.

 

Kedua, di kepulauan ini pernah tumbuh mekar beraneka pemikiran dari insan-insan terpelajar yang berpartisipasi secara horizontal dan tercipta sebuah lahan intelektual subur yang menyokong terawatnya polemik pendidikan dan kebudayaan yang mendasar, tertata, sekaligus tertulis. Sayangnya, perdebatan mendasar serupa belum terulang lagi, bahkan perdebatan kebudayaan 1960-an tak sedalam 1930-an.

 

Sayangnya lagi, perumusan pendidikan nasional hari ini justru berjarak dari publik luas dan sekadar didiskusikan antarsejumlah warga yang dipilih agar tak menciptakan polemik. Pengadaan diskusi pun dijadikan sebuah formalitas. Ini justru kebalikan dari kejujuran dan ketulusan yang diteladankan STA.

 

Cerita tunggal

 

Berbagai naskah pendidikan nasional hari ini dihiasi sejumlah istilah ciptaan KHD, terlepas mungkin sekadar pernak-pernik, tetapi aneka pemikiran STA, Tan Malaka, Syahrir, M Syafei, Pater Driyarkara, Romo Mangun, dan lainnya dinihilkan. Akibatnya, keragaman pemikiran menyusut dalam alam pendidikan nasional dan konvergen ke sebuah cerita tunggal. Layaknya perkebunan monokultur yang rentan terhadap perubahan dan menanduskan lahan, pendidikan bercerita tunggal juga akan lamban menghadapi derasnya usikan teknologi zaman ini dan, parahnya, akan menggerus tradisi berpikir.

 

Memang masyarakat secara tak sadar berkontribusi mewajarkan pendidikan bercerita tunggal tadi, namun kekuasaan justru memanfaatkan dan mengamplifikasinya. Bahkan, kekuasaan berhasil menetapkan cerita tunggal itu sebagai satu-satunya cerita dari pendidikan nasional, melalui iming-iming anggaran bagi institusi yang mau turut mengumandangkan cerita tunggal tadi. Para penyorak binaan di media sosial juga turut menggaungkan cerita tunggal tadi.

 

Tepat seperti yang dilisankan penulis Chimamanda Ngozi Adichie dalam The Danger of a Single Story: kekuasaan bukan saja kemampuan menyematkan cerita pada orang lain, tetapi juga membuat cerita tadi menjadi cerita pasti dari orang itu. Dalam hal ini, kekuasaan telah menetapkan sebuah cerita tunggal yang pasti untuk pendidikan nasional.

 

Akhirnya, jika STA dkk bisa mengintip pendidikan hari ini, bisa diduga mereka tak kecewa pemikirannya tak digubris, karena mereka sadar penetapan arah pendidikan ada di tangan anak dan cucu. Seperti pesan KHD: ”Kami tak tahu siapa yang akan menang; aliran ’futura’ atau ’aliran realita’; anak cucu kitalah yang akan menetapkan.”

 

Namun, yang mungkin mematahkan hati mereka ialah terancamnya keberagaman berpikir dan punahnya tradisi berpolemik tulus yang sudah mereka teladankan. Ini dapat ditafsirkan pada kalimat pamungkas KHD: ”Keturunan kita niscaya akan berterima kasih dan akan menghargai pihak kita, asalkan mereka tahu bahwa pertentangan yang sudah berakhir itu berlangsung dengan kejujuran dan ketulusan.”

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/17/memahami-takdir

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar