Senin, 25 Juli 2022

 

RKUHP dan Masa Depan Living Law di Indonesia

Mohammad Farid Yacoeb :   Advokat/Founder FWLS Law Firm dan Kairos Institute Indonesia

TEMPO.CO, 19 Juli 2022

 

 

                                                           

Ibarat menunggu prajurit pulang perang (dibaca: ketidakpastian) akhirnya pemerintah menyatakan final atas RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pada tanggal 4 Juli 2022 dan telah diserahkan ke DPR RI pada tanggal 6 Juli 2022, hal ini sontak menimbulkan pro serta kontra dari sebagian masyarakat terkait beberapa pasal yang masih bias baik secara tekstual maupun dalam bentuk penerapan delik.

 

Penulis akan mencoba untuk mengkaji sekaligus memberikan pandangan subjektif terkait peran hukum masyarakat adat dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, sebagai masyarakat multikultural Indonesia memiliki berbagai macam bentuk aturan-aturan adat yang beragam dari teknis pengaturan waris dalam keluarga, urusan dagang, hingga sanksi terhadap suatu peristiwa yang melanggar norma adat tersebut.

 

Pada prinsipnya hukum adat tidak secara eksplisit memisahkan mana bagian dari hukum perdata dan mana bagian dari sebuah hukum pidana. Seiring berjalannya waktu, masyarakat adat sendirilah yang menganggap tindakannya merupakan bagian dari hukum positif, sebagai contoh ialah sebuah sanksi denda untuk seseorang yang telah melanggar ketentuan adat pada suatu wilayah adat berupa “harta” yang terkadang kita tak tau persis apa tolok ukurnya hingga masyarakat adat dapat menyimpulkan besaran dari nilai atau barang atas denda tersebut.

 

Dalam RKUHP yang telah diserahkan pemerintah kepada DPR RI pada Pasal 1 Ayat (1) masih tertuang azas legalitas sebagai pondasi pertama dari ratusan pasal dalam KUHP semenjak awal diundangkannya yakni pada tahun 1946, namun yang menarik dalam RKUHP ini ialah pemerintah pada Pasal 2 Ayat (1) secara gamblang mengadopsi living law ke dalam hukum positivisme Indonesia, menurut Barda Nawawi Ariefdalam buku “Beberapa Pokok Pemikiran Dalam Aturan Umum Konsep KUHP Baru” beliau menyatakan “bahwa konsep KUHP baru ini merupakan karateristik asas legalitas menurut pandangan dan pemikiran orang Indonesia yang tidak terlalu formalistic dan terpisah-pisah”.

 

Dari pandangan ahli di atas RKUHP ini dibentuk bertujuan agar penegak hukum dalam menjalankan tugas profesi diharapkan dapat memprioritaskan orientasinya kepada keadilan dibandingkan kepastian hukum secara tekstual, sebab hal ini menyumbangkan resiko terbesar dari menumpuknya perkara di Mahkamah Agung yang notabene sederhana dan harusnya dapat terselesaikan dengan restorative justice.

 

Menjawab isu terkait Pasal 2 Ayat (1) RKUHP di mana sebagian kalangan Praktisi dan Akademisi hukum beranggapan bahwa pasal tersebut telah menyimpangi prinsip asas legalitas yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (1) RKUHP dikarenakan Pasal2 Ayat (1) secara tidak langsung telah mengakomodir aturan-aturan adat hingga memperluas makna asas legalitas di dalam RKUHP tersebut, akan tetapi hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisional suatu daerah sesungguhnya telah diatur dalam konstitusi UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 Pasal 18B Ayat (2) yakni “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masihhidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalamundang-undang”.

 

Dengan berlandaskan konstitusi sudah jelas dan mutlak bahwa eksistensi dari masyarakat hukum adat ini sesungguhnya telah diselamatkan terlebih dahulu oleh konstitusi negara Republik Indonesia sendiri, artinya bukan tanpa alasan pemerintah menggandengkan asas legalitas dengan living law di dalam RKUHP yang mana tujuannya tak jauh dari memberi peran masyarakat adat Indonesia dalam pembaharuan serta penegakan hukum pidana nasional kedepan.

 

Secara historis aturan adat kerap hanya bersumber dari kebiasaan yang telah turun-temurun diterapkan oleh masyarakatnya sendiri, dalam hal ini jika kita menyigi prinsip hukum pidana yakni asas lex scripta (hukum pidana itu harus tertulis) dan lex certa (hukum pidana itu harus jelas) dibandingkan dengan aturan adat jelas sangat tak selaras sebab hukum adat sendiri mayoritas tidak tertulis bahkan antara Pidana dan Perdata pun hukum adat tidak mendikotomikannya secara jelas.

 

Dalam praktiknya pemisahan tersebut terjadi hanya atas dasar kebiasaan saja sebagai contoh ketika seseorang melakukan perzinahan ada yang dihukum dengan denda sejumlah uang sebagai bentuk hukuman pidana dan atau dipaksa menikah agar menimbulkan suatu hubungan hukum baru antara laki-laki dengan perempuan secara keperdataan.

 

Oleh karena masyarakat adat tidak secara jelas dan tertulis dalam menerapkan hukum yang bersumber dari kebiasaan tersebut maka RKUHP dalam bagian penjelasan Pasal 2 Ayat (1) menyatakan bahwa “…Untuk memberikan dasar hukum mengenai berlakunya hukum pidana adat (delik adat), perlu ditegaskan dan dikompilasi oleh pemerintah yang berasal dari Peraturan Daerah masing-masing tempat berlakunya hukum pidana adat….” Hal ini menurut penulis sengaja dituangkan oleh pemerintah agar tetap menjaga marwah konstitusional RKUHP dalam pembaharuan hukum pidana nasional serta guna mempertegas bagaimana eksistensi hukum pidana adat tanpa bertolak belakang dengan asas lex scripta dan lex certa.

 

Dapat kita tarik kesimpulan bahwa maksud dari RKUHP mengadopsi living law dan mengawinkannya dengan asas legalitas ialah demi kepentingan masyarakat adat yang kerap terisolir oleh perkembangan hukum positif di Indonesia, serta dengan adanya peran hukum masyarakat adat yang masuk ke dalam hukum positif pidana Indonesia justru menjadi suatu bentuk pembenaran secara konstitusional.

 

Selanjutnya aturan ini juga berguna untuk mengakomodir kekosongan hukum (rechtsvacuum) dalam penyelesaian sebuah peristiwa hukum yang melanggar norma-norma hukum pidana adat, hadirnya RKUHP juga membantu para penegak hukum agar lebih mengemukakan keadilan dibanding kepastian hukum terutama majelis Hakim yang menangani perkara-perkara hukum pidana adat bisa terbantu dalam upaya menemukanhukum (rechtvinding) dengan memanfaatkan peran judge made law agar Putusannya kelak dikemudian hari dapat menjadisumber hukum yurisprudensi dan berguna untuk hukum di masa mendatang (ius constituendum). ●

 

Sumber :  https://kolom.tempo.co/read/1613641/rkuhp-dan-masa-depan-living-law-di-indonesia

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar