Selasa, 26 Juli 2022

 

Nasida Ria, Musik Islami, dan Kesetaraan Gender

Aris Setiawan :  Etnomusikolog di ISI Surakarta

KORAN TEMPO, 22 Juli 2022

 

 

                                                           

Kelompok musik Nasida Ria dari Semarang membuat kejutan. Mereka memukau penonton dalam festival seni Documenta Fifteen di Kassel, Jerman, akhir Juni lalu. Kelompok musik Islami yang semua pemainnya perempuan ini menjadi unik untuk dibaca lebih jauh karena masih bertahan dan bahkan tetap eksis di usianya yang hampir menginjak setengah abad atau 47 tahun.

 

Nasida Ria lahir pada momentum yang pas, saat Indonesia sedang gencar-gencarnya menata peradaban kultural berbasis agama (Islam) setelah peristiwa 1965. Ada upaya untuk mengembalikan kodrat manusia Indonesia ke jalan "lurus”, jalan yang dirahmati, ketika sebelumnya agama dan nama Tuhan menjadi obyek politik banal (baca: lakon-lakon ludruk di zaman Lekra). Hal itu dimulai dengan semakin maraknya bangunan masjid serta musala di tiap kampung dan bahkan pembangunan itu digalakkan dan berlangsung masif hingga kini.

 

Upaya itu, oleh pemerintah, menjadi bagian penting dalam misi membuat manusia Indonesia semakin religius dan berbudi luhur, alih-alih penurut dan mau diatur. Nasida Ria lahir dalam gejolak politik dan sosial yang demikian. Mereka secara tak langsung mendobrak tatanan hierarkis posisi perempuan Indonesia, terutama Jawa, dalam bingkai religius dan kultural.

 

Dalam bingkai religius, Nasida Ria mampu tampil sebagai contoh perempuan beriman lewat kostum yang santun dan sopan. Namun, pada konteks yang sama, kelompok ini menjungkirbalikkan wacana struktur perempuan secara kultural. Panggung, yang selama ini identik dengan kuasa laki-laki, berhasil direbutnya. Dalam kacamata kebudayaan Jawa, peristiwa itu lazim dianggap salah dan menyimpang. Perempuan tampil, ditonton, dan “dinikmati” tentu tidak sah dalam wacana kultural dan agama. Perempuan haruslah di dalam kelambu yang rapat, tak terlihat, di dapur, di kamar, dan hanya boleh bercengkerama dengan suami atau yang dihalalkan.

 

Nasida Ria mendekonstruksi pandangan tersebut. Sebagai perempuan, di ranah kultural-kesenian, kelompok itu tanpa canggung bermusik. Dengan mengambil napas Islami sebagai jalan kekaryaannya, setidaknya mereka melakukan—meminjam istilah Ariel Heryanto—"perlawanan dalam kepatuhan”. Mereka melawan dominasi laki-laki dalam kekaryaan musik serta kuasa laki-laki atas perempuan. Perlawanan itu diikuti dengan kepatuhan, yakni patuh secara agama, bersenandung tentang nasihat kehidupan serta puji-pujian kepada Sang Pencipta.

 

Posisi yang ambivalen itu menyebabkan Nasida Ria mampu menyedot atensi publik, tidak saja lewat karya musik Islaminya, tapi juga wacana kesetaraan gender yang ditorehkan. Akibatnya, gerakan-gerakan serupa dalam lingkup yang lebih terbatas dilakukan oleh perempuan-perempuan akar rumput di desa dan sudut kampung. Setelah salat isya, pada malam tertentu mereka berkumpul bersama dan membentuk nasida ria-nasida ria rekaan dalam versi yang lebih lokal, yang biasa disebut samrohan dan diba’an.

 

Perempuan, pada umumnya ibu rumah tangga, dengan berbekal instrumen musik sederhana semacam terbang dan tamborin, menyenandungkan puji-pujian kepada Allah dengan lirik-lirik yang sebelumnya didendangkan oleh kelompok Nasida Ria, seperti Surga di Telapak Kaki Ibu, Wajah Ayu untuk Siapa, Perdamaian, ataupun Kota Santri. Nasida Ria menjadi pemantik agar masjid dan musala tak sepenuhnya menjadi legitimasi kaum Adam. Tidak tanggung-tanggung, kaum perempuan itu bermusik di masjid dan diizinkan oleh para suami. Nasida Ria sekaligus menjadi tolok ukur bahwa senandung suara perempuan mampu dilantangkan lewat pengeras suara masjid. Ini hal yang pada awalnya janggal, tapi menjadi biasa hingga kini. Para suami dan anak-anak mereka khusyuk mendengarkan di rumah, sedangkan para ibu berlomba-lomba menyanyikan lirik dengan suara dan nada paling indah.

 

Ada kepuasan batin tersendiri bahwa lagu-lagu Nasida Ria juga menstimulus kreativitas para ibu dan perempuan di kampung-kampung untuk mengaransemen musik berdasarkan cita rasa mereka. Lagu-lagu pop dan dangdut seketika diubah liriknya dengan teks-teks berbau religius. Lupakan dulu tentang hak cipta karena tujuan mereka tidak dalam kapasitas komersial, melainkan semata-mata demi dakwah.

 

Di daerah-daerah berkarakter Nahdlatul Ulama, puji-pujian itu jamak dijumpai. Masjid tidak sepi dan bahkan ibu-ibu dengan gaya ala Nasida Ria tampil dalam acara-acara formal semacam pentas tujuh belasan. Nasida Ria merupakan wujud dialogis perempuan dalam Islam-kultural, antara wacana keterkekangan dan kebebasan, antara pasif dan aktif, antara dikuasai dan menguasai, antara diam dan eksis, antara perlawanan dan kepatuhan. Zaman di mana Nasida Ria lahir, tumbuh, dan terus berkembang tidak semata-mata bersenandung tentang baik-buruk, melainkan sesekali juga menjadi katalisator dalam menyuarakan program-program Orde Baru.

 

Dengarkan lagu Dunia dalam Berita, judul yang sama dengan program berita di TVRI pada pukul sembilan malam. Liriknya menjadi semacam kepanjangan berita di TVRI kala itu: Australia kebanjiran, Afrika kekeringan, ASEAN perdamaian, Persia pertikaian. Atau, dengarkan pula Sengketa Teluk dengan liriknya yang khas: "Iran Irak bertempur, Amerika turut campur, Uni Soviet pun terlanjur,... Sengketa Teluk semakin kusut, PBB Kecut malah semrawut". Lirik itu menjadi dokumentasi penting atas sebuah peristiwa dunia yang selama ini beku di koran dan buku-buku. Nasida Ria menyenandungkannya dengan indah, sedangkan Orde Baru tersenyum tanpa resistansi. Selama tak menyinggung politik dalam negeri, Nasida Ria tetap aman dan eksis.

 

Sebagaimana yang kita dengar, program berita Dunia dalam Berita senantiasa berisi perang, gejolak panas politik dunia, kelaparan, kekeringan, banjir, dan sejenisnya. Namun, untuk berita nasional, yang muncul adalah swasembada pangan, keberhasilan program keluarga berencana, kesuksesan pemilihan umum, dan berbagai berita positif lainnya.

 

Nasida Ria memainkan peran dengan epik. Padahal mereka berada dalam posisi yang riskan. Sebagai perempuan, mereka dapat digugat karena tampil di atas panggung. Sebagai kelompok musik, mereka dipandang aneh karena selama ini dominasi kaum Adam. Mereka berhasil menjinakkan segala diskursus negatif. Tubuh itu dikonstruksi lebih santun dengan berjilbab, sedangkan nada-nadanya dibangun dari akar religius yang kuat. Maka, demikianlah Nasida Ria. Musiknya masih enak kita dengarkan hingga kini kendati banyak generasi telah berlalu. ●

 

Sumber :   https://koran.tempo.co/read/opini/475238/nasida-ria-musik-islami-dan-kesetaraan-gender

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar