Jumat, 29 Juli 2022

 

Apa Saja Kejanggalan Kasus Penembakan Brigadir Yosua dan Bagaimana Polri Mengusutnya

Rozy Brilian :  Peneliti Kontras

KORAN TEMPO, 25 Juli 2022

 

 

                                                           

Sudah sepekan lebih kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat menjadi sorotan publik. Peristiwa yang terjadi pada 8 Juli 2022 di kediaman Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, tersebut telah memantik diskusi serius di masyarakat. Sejak awal rilis disampaikan oleh Mabes Polri, terdapat berbagai kejanggalan yang melecehkan akal sehat publik. Hal tersebut akhirnya menimbulkan asumsi liar dan dugaan konspirasi yang tak dapat dicegah.

 

Ragam kejanggalan yang sulit diterima itu, di antaranya, disparitas waktu yang cukup lama antara peristiwa dan pengungkapan ke publik, yakni tiga hari. Saat Mabes Polri merilis kasus tersebut pun, tidak ada satu pun barang bukti yang ditunjukkan. Langkah ini begitu berbeda dengan pengungkapan kasus penembakan lainnya, yang biasanya menunjukkan barang bukti seperti pistol dan proyektil.

 

Belum lagi kronologi yang tidak konsisten, bukti rekaman kamera pengawas (CCTV) dan telepon seluler Brigadir Yosua yang hilang, serta keterangan ketua rukun tetangga setempat yang menyatakan tidak mengetahui adanya peristiwa dan proses olah tempat kejadian perkara (TKP), semakin memperkuat dugaan adanya upaya menyembunyikan fakta. Keluarga Yosua bahkan sempat dihalang-halangi saat ingin melihat kondisi jenazah. Dari kondisi mayat Yosua, terungkap bahwa terdapat beberapa luka sayatan, luka lebam, dan jari putus, yang sangat janggal dan tidak sesuai dengan kronologi kejadian versi Mabes Polri.

 

Kultur Buruk Institusi

 

Pola pengusutan kasus yang cenderung tertutup dan tidak berbasis akuntabilitas sebelumnya pernah terjadi, misalnya dalam kasus penembakan enam laskar khusus Front Pembela Islam (FPI). Dalam persidangan terhadap Brigadir Polisi Satu Fikri Ramadhan dan Inspektur Polisi Dua Mohammad Yusmin Ohorella yang melakukan unlawful killing, terungkap bahwa beberapa warga sekitar area jalan tol KM 50 diduga diintimidasi oleh aparat agar tidak merekam peristiwa dan bahkan diminta menghapus file rekaman penangkapan. Hal ini merupakan bentuk upaya penghilangan jejak dan mengaburkan kebenaran materiil.

 

Pola-pola tersebut berulang pada kasus Brigadir Yosua. Kepolisian cenderung resistan dan tak mau diliput dalam proses pengusutan, khususnya di TKP. Dua wartawan yang berupaya meliput pun menjadi sasaran intimidasi saat mewawancarai petugas kebersihan. Petugas yang diduga anggota kepolisian itu memaksa jurnalis untuk memberikan rekaman dan menghapusnya. Hal tersebut jelas melanggar Undang-Undang Pers yang melindungi kerja-kerja jurnalistik.

 

Tindakan intimidatif juga dialami keluarga Brigadir Yosua saat mereka aktif menyuarakan kejanggalan kematian korban. Arogansi dan kultur kekerasan tampaknya memang masih melekat erat dalam tubuh institusi Kepolisian. Iklim ketakutan selalu dihadirkan kepada saksi dan korban, terlebih jika suatu kasus melibatkan anggota kepolisian sebagai terduga pelaku. Sifat tidak ksatria, yakni enggan bertanggung jawab di hadapan hukum ketika melakukan kesalahan, ini menjauhkan polisi dari kredibilitasnya sebagai penegak hukum. Proses hukum pun didesain agar berujung pada penjatuhan hukuman yang ringan atau sebisa mungkin membebaskan pelaku.

 

Perlu Terobosan

 

Sejauh ini, Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memang telah mengambil langkah signifikan, seperti membentuk tim khusus dan menonaktifkan sejumlah anggota Polri yang diduga terlibat dalam kasus Brigadir Yosua, seperti Ferdy Sambo, Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto, dan Kepala Biro Pengamanan Internal Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan. Akan tetapi, jika dilihat lebih utuh, rangkaian masalah ini muncul karena mekanisme koreksi dan evaluasi tak pernah benar-benar serius dilakukan. Berbagai bentuk ketidakprofesionalan polisi minim mendapat ganjaran hukuman yang memadai sehingga nihil efek jera.

 

Peristiwa penembakan di rumah Ferdy Sambo dan ketidakprofesionalan pengusutannya merupakan bukti konkret ada masalah besar di kepolisian. Hal ini mengemuka bahkan hanya selang beberapa hari setelah pidato Kepala Polri Jenderal Listyo di hadapan Presiden Joko Widodo. Pada momentum Hari Bhayangkara tersebut, Jenderal Listyo berjanji untuk memperbaiki dan mengevaluasi institusi kepolisian guna mewujudkan transformasi Polri yang presisi. Sayangnya, hal tersebut hanya lip service tanpa diikuti perbaikan nyata.

 

Kasus ini merupakan ujian serius bagi Korps Bhayangkara untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa mereka dapat membenahi permasalahan dalam institusi mereka. Pengusutan dan investigasi harus dilakukan secara hati-hati karena kasus penembakan ini terkesan ditabrakkan dengan dugaan tindak kekerasan seksual yang diduga dilakukan Brigadir Yosua. Apresiasi akan otomatis didapatkan jika kepolisian berhasil menyelesaikan kasus ini hingga seluruh kejanggalannya dapat terjawab. Sebaliknya, kepercayaan masyarakat semakin turun apabila Polri masih mempertahankan kultur lama, yakni enggan menuntaskan kasus secara akuntabel dan berkeadilan.

 

Pertaruhan kasus ini tentu sangat besar dan ongkos yang akan dibayar akan sangat mahal jika Polri gagal. Untuk itu, terobosan yang berani perlu dilakukan Kepala Polri guna memastikan pengusutan dilakukan sesuai dengan rel dan terang benderang. Kasus ini hanya satu dari segudang tantangan Polri untuk menjawab rasa keadilan masyarakat. Lebih jauh, evaluasi internal secara menyeluruh harus dilakukan untuk memperbaiki institusi ini hingga ke akar-akarnya. ●

 

Sumber :   https://koran.tempo.co/read/opini/475289/apa-saja-kejanggalan-kasus-penembakan-brigadir-yosua-dan-bagaimana-polri-mengusutnya

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar