Senin, 25 Juli 2022

 

Kunjungan Biden dan Bahaya Iran

Smith Alhadar :  Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)

REPUBLIKA, 20 Juli 2022

 

 

                                                           

Di tengah merosotnya popularitas di dalam negeri akibat inflasi tinggi yang dipicu kenaikan harga gasolin, Presiden AS Joe Biden melakukan lawatan empat hari, 13-16 Juli 2022, ke Timur Tengah.

 

Kunjungan ini juga berlangsung di tengah keprihatinan sekutu Israel dan Arab terkait kemungkinan dipulihkannya kesepakatan nuklir Iran, Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).

 

Paling tidak, ada tiga sasaran dalam lawatan ini. Pertama, Biden ingin menegaskan pada Israel, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA) khususnya, AS tetap berkomitmen menjaga keamanan dan integritas teritorial mereka dari kemungkinan ancaman Iran, Rusia, atau Cina.

 

Dia perlu menegaskan ini karena pemerintahannya lebih fokus pada kawasan Indo-Pasifik, tempat Cina makin asertif dan agresif. Di sisi lain, terdapat pandangan berbeda AS dengan sekutunya di kawasan menyangkut pemulihan JCPOA.

 

Pada 2015, kekuatan dunia, yaitu AS, Rusia, Cina, Inggris, Prancis plus Jerman dengan Iran menandatangani JCPOA, yang membatasi program nuklir Iran dengan imbalan Iran diizinkan untuk mengekspor energinya ke pasar global.

 

Jadi, dalam pandangan AS, ancaman nuklir Iran bisa direduksi hingga nol. Namun, kesepakatan itu tak menghilangkan kekhawatiran sekutu pada Iran. Maka itu, saat Presiden Donald Trump berkuasa, AS mundur dari kesepakatan dengan alasan JCPOA terlalu menguntungkan Iran.

 

Mundurnya AS diikuti tekanan menyasar ekonomi Iran untuk memaksa Teheran merundingkan kembali JCPOA, dengan memasukkan klausul program rudal dan perangainya di kawasan.

 

Artinya, Iran harus menghentikan program rudal balistiknya dan menarik diri dari negara Arab, seperti Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman. Iran memiliki proksi melalui penciptaan milisi bersenjata Syiah di sana.

 

Sayang kebijakan Trump gagal. Bukan saja Iran tak menyerah, melainkan juga meningkatkan pengayaan uranium hingga 60 persen, hal yang dilarang dalam JCPOA. Lebih jauh, Iran mendestabilisasi Teluk dengan menyerang tanker-tanker internasional dan instalasi minyak Saudi.

 

Sementara itu, tidak ada cara yang efektif menghentikan Iran. Memilih perang terbuka dengan Iran terlalu mahal, berisiko, dan AS tidak siap. Iran tentu akan kalah dalam pertempuran, tetapi pasti AS tidak akan memenangkan perang.

 

Malah, mengingat Iran memiliki sejumlah persenjataan relatif canggih untuk mengobarkan api di Teluk, perang all out hanya akan mendatangkan bencana bagi kawasan. Lagi pula, AS tak akan mendapat pembenaran DK PBB karena Rusia dan Cina akan memvetonya.

 

Maka itu, di mata Biden, sebagaimana Barack Obama, JCPOA jalan terbaik mencegah perang sekaligus menghilangkan potensi senjata nuklir Iran.

 

Namun, di mata Israel, UEA, dan Saudi membiarkan Iran leluasa mengekspor minyak dan gasnya ke pasar global, justru memperkuat perangai buruknya di kawasan dan semakin leluasa mengembangkan rudal balistiknya, yang dapat mencapai seluruh Timur Tengah.

 

Lebih penting dari itu, mereka tak percaya Iran menguburkan ambisinya memiliki bom nuklir. Karena, terdapat jejak-jejak uranium di situs-situs nuklir Iran pada 2003, yang enggan dijelaskan Teheran sebagaimana diminta badan pengawas nuklir PBB (IAEA).

 

Menurut anggapan mereka, Iran diam-diam masih mengembangkan program bom nuklir. Untuk memulihkan JCPOA, sejak April tahun lalu lima negara penanda tangan kesepakatan, berunding langsung dan AS melakukan perundingan tak langsung dengan Iran di Wina, Austria.

 

Sayang kendati mencapai kemajuan signifikan, kesepakatan final belum dicapai karena AS bersikeras mempertahankan pasukan elite Iran (Quds) -- cabang Korps Garda Revolusi Islam yang bertanggung jawab menjalankan politik regional – dalam daftar pendukung teroris.

 

Aliansi militer AS-Israel, ditandatangani Biden dengan PM Israel Yair Lapid yang menegaskan pilihan militer untuk menghancurkan situs nuklir Iran dilakukan jika jalan diplomasi buntu, untuk menenangkan Israel dan sekutu Arab sekaligus meningkatkan posisi tawar AS dalam perundingan dengan Iran dalam waktu dekat.

 

Kedua, lawatan Biden ke Saudi dengan mematahkan janji kampanyenya untuk mengisolasi penguasa de facto Pangeran Mohammad bin Salman (MBS), terkait pembunuhan jurnalis senior Jamal Khashoggi pada 2018, punya tujuan yang tak kurang strategis.

 

Yaitu, mengatasi kelangkaan gasolin di AS, yang memicu inflasi sangat tinggi (lebih dari 9 persen) dalam 40 tahun terakhir.

 

Bujukan Biden agar perusahaan energi AS mengurangi margin keuntungan -- dengan menurunkan harga gasolin, yang hari ini harganya melejit tajam akibat berkurangnya pasokan minyak dan gas Rusia ke Eropa – tidak berhasil.

 

Perang Ukraina memicu kenaikan harga energi dan pangan dunia hingga memunculkan krisis. Tampaknya perang ini berkepanjangan karena daya dukung ekonomi Rusia untuk perang, di luar dugaan NATO, relatif tetap kuat.

 

Justru Eropa dan dunia selebihnya kelimpungan menghadapi krisis. Bila dalam tiga bulan mendatang, saat AS menggelar pemilu sela awal November krisis gas di AS tak dapat diatasi, hampir pasti Demokrat (partainya Biden) kehilangan kursi di DPR dan Senat secara signifikan.

 

Di Jeddah, Saudi, Biden tidak saja bertemu Raja Salman bin Abdulaziz, tetapi juga MBS. Di kota yang sama dilakukan KTT yang menghadirkan pemimpin enam negara Arab Teluk (Saudi, Oman, UEA, Qatar, Bahrain, dan Kuwait) plus Mesir, Yordania, dan Irak, selain Biden tentunya.

 

Pada forum ini, sekali lagi Biden melontarkan komitmen AS menjaga keamanan Timur Tengah dari ancaman Iran, Rusia, dan Cina. Pembicaraan Biden-MBS menghasilkan komitmen Saudi meningkatkan produksi minyaknya hingga 13 juta barel per hari dari 11 juta barel.

 

Ketiga, sebelum ke Jeddah, Biden ke Betlehem, Tepi Barat, untuk menemui Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas.

 

Setelah 45 menit bertatap muka, dalam konferensi pers Biden mengatakan, AS tetap menuntut pertanggungjawaban atas pembunuhan Shireen Abu Akleh di Tepi Barat, 11 Mei silam, tetapi ia tak menyebut Israel, yang menurut investigasi PBB, dilakukan Israel.

 

Biden juga mengatakan, komitmennya pada cita-cita solusi dua negara tidak berubah.  Rakyat Palestina, menurut dia, patut mendapatkan negara sendiri yang independen, berdaulat, langgeng, dan berdampingan.

 

Sebelumnya, saat  ke Yerusalem Timur, Biden mengumumkan bantuan kemanusiaan 300 juta dolar AS kepada Palestina, yang dulu dihentikan Trump. Ini bukan hal utama yang diharapkan Palestina dari Biden.

 

Palestina mengharapkan penghentian pembangunan permukiman Yahudi di tanah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur, menghapus politik apartheid, menghentikan pembunuhan atas rakyat Palestina, dan menggerakkan kembali proses perdamaian yang terhenti sejak 2014.

 

Namun, isu-isu ini tak muncul dari Biden karena tak mau kehilangan dukungan Israel dan lobi Yahudi atas posisi politik dalam negerinya yang rawan.

 

Kunjungan Biden ke Tepi Barat terjadi di tengah rumor tentang kesehatan Abbas (87) yang memburuk. Juga terkait popularitasnya yang terus anjlok akibat terhentinya proses perdamaian berdasarkan Kesepakatan Oslo 1993 yang diarsitekinya.

 

Pengganti Abbas belum ada kecuali Marwan Barghouti yang kini dipenjara Israel. Israel enggan melepaskannya karena ia jauh lebih populer daripada Abbas. Jadi, pertemuan Biden-Abbas yang disertai janji bantuan finansial tak lain untuk mengangkat legitimasi Abbas.

 

Namun, ini tak menjamin keamanan Timur Tengah bila Abbas meninggal dunia.

 

Kita jadi heran, mengapa AS membiarkan negara kecil Israel mengendalikan politik luar negerinya kendati harus melanggar HAM dan hukum internasional yang dikhotbahkannya ke seluruh dunia? ●

 

Sumber :  https://www.republika.id/posts/30102/kunjungan-biden-dan-bahaya-iran

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar