Terbuka,
Industri Pesawat Kecil
Arista Atmadjati ; Dosen
Pariwisata UGM
|
KORAN
JAKARTA, 22 Maret 2014
Awalnya
industri modern pesawat turboprop dengan kokpit fly by wire bermula dari pesawat IPTN jenis N250. Kemudian, N
-250 roll out pertama tahun 1995 di
Bandung, namun seluruh proses selanjutnya dihentikan karena rekomendasi Dana
Moneter Internasional (IMF). Salah satu bunyi letters of intent (LOI) IMF mengharuskan produksi IPTN dihentikan
tahun 1997. Maka, impian Indonesia menjadi negara produsen industri pesawat
terbang turboprop dengan tempat duduk di bawah 50 gagal.
Pesawat
N-250 pada awalnya dirancang hanya untuk mengangkut 50–54 penumpang. Melihat
potensi pasar, pesawat ini kemudian diperbesar hingga mampu mengangkut 60–70
penumpang dan diberi nama N-250-100.
Lalu,
dilanjutkan ke tipe yang lebih kecil dan dilakukan roll out tahun 2015 pesawat buatan PT DI N 219 kapasitas 19
penumpang sebagai pesawat multifungsi bermesin ganda. Pesawat ini dirancang
untuk dioperasikan daerah-daerah terpencil. Pesawat terbuat dari logam untuk
mengangkut penumpang maupun kargo.
Pesawat
yang dibuat dengan memenuhi persyaratan FAR 23 ini dirancang memiliki volume
kabin terbesar di kelasnya. Pintunya fleksibel sehingga bisa dipakai
mengangkut penumpang dan juga kargo.
Sebelum
memasuki serial production, PT DI
lebih dulu membuat dua unit untuk uji terbang, serta satu unit purwarupa buat
tes statis pada tahun 2012. Program pembuatan purwarupa sendiri direncanakan
memakan waktu selama dua tahun dengan pengalokasian dana 300 miliar rupiah.
Dulu,
N-219 harusnya uji terbang di laboratorium terowongan angin pada Maret 2010.
Pesawat N219 baru akan bisa diserahkan kepada pemesan pertamanya untuk
diterbangkan sekitar tahun 2014-2015. N-219 ini merupakan pengembangan NC-212
yang sudah diproduksi PT DI di bawah lisensi CASA.
Siapa
sangka, sejak 2001, karena deregulasi iklim berbisnis penerbangan niaga
dilonggarkan pemerintah, maka sejak tahun 2001 sampai kini dan 20 tahun ke
depan, pertumbuhan penumpang udara meningkat pesat. Tiap tahun naik 15
persen. Tahun depan diharapkan angka penumpang pesawat niaga di Indonesia
menembus 100 juta.
Kesigapan
maskapai swasta nasional dalam belanja pesawat komersial juga mencatat
Indonesia sebagai salah satu pembeli armada pesawat komersial besar di dunia.
Contoh Lion Air membeli 200 Boeing 737/900 series dan puluhan Airbus AB 320
dari konsorisum Eropa. Belum lagi Garuda Indonesia membeli 175 Boeing NG dan
juga puluhan Airbus.
Rusia
pun mulai menikmati penjualan jet komersial, seperti Sukhoi Super jet 100
yang dipakai maskapai Sky Aviation yang sejauh ini cukup reliable. Bukan
tidak mungkin, Sukhoi SJ100 akan semakin diminati di masa mendatang.
Indonesia kurang meminati produk Xian Aircraft Industry China berupa pesawat
turboprop MA-60. Ada pendatang baru yang mengincar pasar Indonesia, seperti
Embraer, ATR, Grand Caravan, Twin Otter.
Pembelian
pesawat ternyata tidak hanya terjadi di kelas wide body dan narrow
body-full engine karena jenis turbopropeller
narrow body dan small aircraft juga
marak seperti penjualan pesawat turboprop dari ATR. Pesawat turboprop dari
pabrikan Prancis-Spanyol ini semakin diminati maskapai Wings Air dan Garuda
Indonesia.
Maskapai
Susi Air berjaya dengan armada small
aircraft Grand Caravan seat 8, 12 buatan Amerika. Itulah senyum getir
industri dirgantara Indonesia. Tahun 1975 sudah didirikan pabrik pesawat IPTN
(PT Nurtanio). Andai saja produksi pesawat domestik itu tetap berlangsung
sampai kini, Indonesia bisa membuat sendiri beberapa model pesawat seperti
kelas ATR sampai dengan kelas small
aircraft.
Jadi,
ribuan juta dollar AS bisa diraup industri pesawat dalam negeri sebagai
bagian. Sekadar ilustrasi, saat Lion membeli 179 pesawat, ternyata AS mampu
memberi pekerjaan baru kepada 100.000 warganya. Tambah lagi pesanan puluhan
Airbus 320 baru Lion dari Prancis juga memberikan lapangan kerja untuk 5.000
staf baru dengan masa kontrak 10 tahun.
Sementara
PTDI beberapa tahun yang lalu malah memecat ribuan karyawannya. Ini sebuah
ironi karena sebenarnya bangsa ini mampu membuat pesawat terbang sendiri.
Namun angin segar mulai tampak untuk industri pesawat terbang nasional karena
pemerintah mulai mau menyuntik 400 miliar untuk meneruskan proyek pesawat
N219. Itu memang tak sebanding dengan bantuan untuk membangun kapal selam
sebesar 2 triliun rupiah.
Yang
patut disyukuri political will
pemerintah mau menghidupkan kembali industri dirgantara. Tapi, sebentar lagi
berganti rezim. Jadi, nasib pelanjutan N219 belum pasti. Apalagi sampai kini,
belum ada cetak biru manufaktur industri pesawat terbang. Jadi, sifatnya
hanya reaksi dan ad hoc.
Padahal,
pasar pesawat turboprop jenis small
aircraft di Indonesia masih amat luas. Ada 233 bandara yang mayoritas run
way-nya di bawah 1.000 meter. Inilah pangsa pasar N219, juga small aircraft seat 6, 8, dan 12, ada
ratusan bandara bisa dilayani.
Bukti
sudah menunjukkan produksi IPTN dulu dengan CN-212 seat 12 mendapat
sertifikasi dari FAA. Jadi, industri nasional memang mampu membuatnya.
Taruhlah tidak usah seat 50 ke atas, dicoba dulu dengan N219 dan pesawat
latih. Banyaknya sekolah pilot, sebenarnya peluang PTDI membuat pesawat latih
sangat bagus. Misalnya jenis Pilatus, Italia, dan Emb Super Tucano Brasil.
Ini
sebuah peluang bagi PTDI untuk menggantikan. Bisa juga untuk keperluan
pelatihan TNI, kapal patroli pantai, patroli bea cukai. Atau pesawat patroli
kepolisian serta penyemprot hama di kebun kelapa sawit yang berkembang pesat
di tanah air. Jadi, sesungguhnya, peluang pasar pesawat small aircraft dan latih tinggi.
Pasar
domestik di depan mata, sebuah captive
market, namun Indonesia masih saja belanja pesawat walaupun untuk jenis
small aircraft dan latih. Hal ini harus mulai dihentikan dengan melanjutkan
pembuatan pesawat dalam negeri.
Beberapa
negara Asia mulai membuat industri pesawat sendiri, walau versi tempur. Contoh,
India dengan pesawat tempur Brahma dan Sukhoi versi India. Korea Selatan
dengan pesawat tempur jenis T41 yang juga dibeli TNI AU. Kini giliran
Indonesia harus bisa memproduksi turbopropeller
dan small aircfrat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar