Kita
perlu menyelaraskan diri dengan ruang dan waktu kita sendiri dalam ingar-bingar
keadaan penuh janji, tipu daya, manipulasi, penipuan, dan kekerasan.
Megaretorik dan janji politik membuat banyak orang muak, lalu sebagian
memilih menjadi golput alias golongan pemburu uang tunai. Kekerasan meningkat
baik kuantitas maupun kualitasnya, dilakukan dari anak-anak, remaja baik
lelaki maupun perempuan, sampai individu-individu dari korps maupun kelompok
tertentu. Pemegang senjata menjadi predator berbahaya.
Transformasi
dari dunia konkret berdarah-daging menjadi dunia image, citra, atau sebutlah
dunia kenyataan gadungan, dipastikan memiliki sumbangan terhadap guncangan
yang terjadi pada jagat besar maupun jagat kecil manusia. Unsur-unsur serupa
empati, tepa selira, rasa sungkan, malu, dan semacamnya, bisakah berkembang
ketika hubungan sosial antarmanusia dimediasi oleh citra?
Ada yang
tak bisa dihindarkan: kenyataan gadungan mengubah masyarakat menjadi
masyarakat tontonan, the society of the spectacle. Kalau ditarik dalam
kesadaran bermasyarakat atau berbangsa, dulu imaji atau gagasan kebersamaan
dibangun berdasar teks. Teks telah membuat orang di Jawa misalnya, merasa
menjadi bagian atau bersaudara dengan orang dari ujung paling timur dan barat
Nusantara. Benedict Anderson menyebutnya imagined
communities.
Kini
kapitalisme media elektronik mengubah semuanya. Anda melihat politikus bicara
berapi-api di mimbar. Mengobral janji, dan melupakan utang, pernah
menumpahkan bencana pada rakyat. Dari bencana kemiskinan karena korupsi
mereka, bencana alam karena kelalaian, sampai warisan trauma yang disebabkan
kebengisan mereka di masa lalu.
Citra
menghilangkan memori. Mengubahnya menjadi nostalgia: semua serba indah,
termasuk sebuah era yang gombal. Konteks konkret juga hilang. Misalnya, ini
Anda perlu tahu, dalam rombongan politikus biasa terdapat groupies, terdiri
dari cewek-cewek yang tak jelas kerjanya. Jangan-jangan, mereka itulah
instrumen pencuci uang kalau sang politikus ini nanti berkuasa? Bukan nasib sampeyan...
Itulah
hakikat masyarakat tontonan. Yang kita lihat sebenarnya bukan sekadar
kenyataan yang terdistorsi, melainkan suatu hubungan sosial yang termediasi
oleh citra. Kalau memakai istilah para pengajar filsafat, weltanschauung, sebuah pandangan dunia
atau kesadaran yang telah dijelmakan menjadi realitas konkret.
Dunia
citra, kenyataan gadungan, dianggap nyata. Untuk melengkapi kesahihan dunia
gadungan yang telah menjelma menjadi dunia nyata tadi kemudian
diselenggarakan survei. Itulah fungsi lembaga survei. Membuat bayang-bayang
menjadi nyata.
Hasil
survei adalah angka, dan angka–lagi-lagi bukan dimensi manusia berdarah
daging–dianggap segala-galanya. Angka-angka itu, nantinya akan dibaca,
diinterpretasi, diwacanakan, oleh para cerdik pandai baik di media elektronik
maupun cetak.
Cara
membaca angka-angka begini contohnya: taruhlah ada survei mengenai harapan
hidup atau umur masyarakat. Survei dilakukan di desa terpencil dan miskin.
Survei mendapati, masyarakat di situ berusia lebih panjang daripada
masyarakat perkotaan, yang pada usia muda banyak yang terserang jantung, darah
tinggi, dan lain-lain.
Maka
ahli di televisi yang seperti paling pinter sedunia dengan penuh semangat
berkata: kekayaan dan konsumsi ternyata bukan segala-galanya. Di desa yang
m
Ruang
dan Waktu
Bre Redana ; Penulis Kolom
“Catatan Minggu” di Kompas
|
KOMPAS,
23 Maret 2014
Kita
perlu menyelaraskan diri dengan ruang dan waktu kita sendiri dalam ingar-bingar
keadaan penuh janji, tipu daya, manipulasi, penipuan, dan kekerasan.
Megaretorik dan janji politik membuat banyak orang muak, lalu sebagian
memilih menjadi golput alias golongan pemburu uang tunai. Kekerasan meningkat
baik kuantitas maupun kualitasnya, dilakukan dari anak-anak, remaja baik
lelaki maupun perempuan, sampai individu-individu dari korps maupun kelompok
tertentu. Pemegang senjata menjadi predator berbahaya.
Transformasi
dari dunia konkret berdarah-daging menjadi dunia image, citra, atau sebutlah
dunia kenyataan gadungan, dipastikan memiliki sumbangan terhadap guncangan
yang terjadi pada jagat besar maupun jagat kecil manusia. Unsur-unsur serupa
empati, tepa selira, rasa sungkan, malu, dan semacamnya, bisakah berkembang
ketika hubungan sosial antarmanusia dimediasi oleh citra?
Ada yang
tak bisa dihindarkan: kenyataan gadungan mengubah masyarakat menjadi
masyarakat tontonan, the society of the spectacle. Kalau ditarik dalam
kesadaran bermasyarakat atau berbangsa, dulu imaji atau gagasan kebersamaan
dibangun berdasar teks. Teks telah membuat orang di Jawa misalnya, merasa
menjadi bagian atau bersaudara dengan orang dari ujung paling timur dan barat
Nusantara. Benedict Anderson menyebutnya imagined
communities.
Kini
kapitalisme media elektronik mengubah semuanya. Anda melihat politikus bicara
berapi-api di mimbar. Mengobral janji, dan melupakan utang, pernah
menumpahkan bencana pada rakyat. Dari bencana kemiskinan karena korupsi
mereka, bencana alam karena kelalaian, sampai warisan trauma yang disebabkan
kebengisan mereka di masa lalu.
Citra
menghilangkan memori. Mengubahnya menjadi nostalgia: semua serba indah,
termasuk sebuah era yang gombal. Konteks konkret juga hilang. Misalnya, ini
Anda perlu tahu, dalam rombongan politikus biasa terdapat groupies, terdiri
dari cewek-cewek yang tak jelas kerjanya. Jangan-jangan, mereka itulah
instrumen pencuci uang kalau sang politikus ini nanti berkuasa? Bukan nasib sampeyan...
Itulah
hakikat masyarakat tontonan. Yang kita lihat sebenarnya bukan sekadar
kenyataan yang terdistorsi, melainkan suatu hubungan sosial yang termediasi
oleh citra. Kalau memakai istilah para pengajar filsafat, weltanschauung, sebuah pandangan dunia
atau kesadaran yang telah dijelmakan menjadi realitas konkret.
Dunia
citra, kenyataan gadungan, dianggap nyata. Untuk melengkapi kesahihan dunia
gadungan yang telah menjelma menjadi dunia nyata tadi kemudian
diselenggarakan survei. Itulah fungsi lembaga survei. Membuat bayang-bayang
menjadi nyata.
Hasil
survei adalah angka, dan angka–lagi-lagi bukan dimensi manusia berdarah
daging–dianggap segala-galanya. Angka-angka itu, nantinya akan dibaca,
diinterpretasi, diwacanakan, oleh para cerdik pandai baik di media elektronik
maupun cetak.
Cara
membaca angka-angka begini contohnya: taruhlah ada survei mengenai harapan
hidup atau umur masyarakat. Survei dilakukan di desa terpencil dan miskin.
Survei mendapati, masyarakat di situ berusia lebih panjang daripada
masyarakat perkotaan, yang pada usia muda banyak yang terserang jantung, darah
tinggi, dan lain-lain.
Maka
ahli di televisi yang seperti paling pinter sedunia dengan penuh semangat
berkata: kekayaan dan konsumsi ternyata bukan segala-galanya. Di desa yang
miskin, damai, jauh dari polusi, orang bisa berumur panjang. Pewawancara,
umumnya dengan kecerdasan semadyanya, senyum-senyum puas menerima jawaban
yang dia kira paling genius.
Sekarang
andaikata survei di desa yang sama, hasilnya adalah masyarakat di situ
berusia lebih pendek daripada masyarakat perkotaan. Maka pengamat akan bilang:
di desa miskin, masyarakat menjadi kurang gizi, tidak mendapat layanan
kesehatan memadai, makanya cepat mati.
Lhah?
Dalam
dunia yang jauh dari kasunyatan,
kata-kata tumpah ruah tanpa isi, tanpa makna. Ruang dan waktu di sekeliling
kita sedang berubah. Kita perlu menyelaraskan diri dengan ruang dan waktu
kita sendiri. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar