Ratu
Adil dan Mistifikasi Politik
Munawir Aziz ; Peneliti,
visiting researcher di Goethe Universitat Frankfurt Jerman, Direktur the
North Coast Center (NCC) Staimafa Pati
|
SUARA
MERDEKA, 22 Maret 2014
TAMPILNYA
Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden dari PDIP, menjadi penanda
pertarungan politik di panggung terbuka. Jokowi menerima mandat tertulis dari
Megawati Soekarnoputri, sang pemimpin dan simbol trah Soekarno di partai
banteng moncong putih. Tentu saja, tampilnya Jokowi membawa beberapa catatan
penting di tengah pertarungan politik yang semakin panas, mendekati pemilu
legislatif pada 9 April dan pemilihan presiden pada 9 Juli mendatang.
Kehadiran
Jokowi tidak saja menandai era baru dalam tradisi politik PDIP bahwa trah
biologis Soekarno, dapat digantikan trah ideologis. Trah ideologis Soekarno
diwarisi oleh Megawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra dan barisan
putra-putri Bung Karno. Juga, Puan Maharani sebagai putri Megawati, yang
mewarisi sikap teguh dan karakter sang ibu. Pewarisan trah biologis menuju
trah ideologi ini penting, untuk menandai gerak langkah PDIP di tengah
pertarungan politik yang makin kencang.
Jokowi
mewarisi ide-ide pemikiran Soekarno, dengan memperhatikan nasib wong cilik.
Ia menjadikan Solo sebagai kota yang nyaman, dengan program kesejahteraan
rakyat dan penghijauan, juga pertumbuhan ekonomi yang luar biasa di Provinsi
Jawa Tengah. Sementara, ketika menangani DKI Jakarta, Jokowi tampil lugas
dengan gaya blusukan. Duetnya bersama Ahok (Basuki Tjahaya Purnama) menjadi
simbol kepemimpinan yang lengkap: Jokowi tampil sebagai pribadi yang
mengayomi rakyat, terjun langsung ke jantung problem sosial, dan kokoh dengan
prisipnya. Sementara, Ahok mengimbangi dengan menghantam preman-preman Ibu
Kota, dan berani membereskan birokrasi yang ruwet dengan kepentingan politik.
Kolaborasi
Jokowi-Ahok inilah yang menjadikan ide Jakarta Baru dapat dilaksanakan.
Kepemimpinan sekitar 1 tahun 6 bulan Jokowi-Ahok menjadi penanda baru tentang
bagaimana mengurai problem sosial Ibu Kota, yang menjadi cermin masalah
bangsa.
Ratu Adil
Tampilnya
Jokowi tidak tanpa hantaman. Ia diserang oleh Prabowo yang menagih janji
Megawati dalam perjanjian Batu Tulis. Kubu PDIP mengelak serangan Partai
Gerindra dengan menunjukkan kegagalan koalisi Megawati-Prabowo pada Pemilu
2009. Sementara, serangan dengan isu ideologi dan agama juga menghantam
Jokowi. Ia dituduh mewariskan pemerintahan kafir, karena memberikan tonggak
kepemimpinan kepada FX Hadi Rudyatmo sebagai wali kota Solo. Profil Ahok
sebagai penerus Jokowi dalam tampuk kuasa DKI Jakarta juga menjadi basis
kampanye negatif untuk menjatuhkan capres PDIP.
Tapi,
apa sebenarnya yang menjadikan Jokowi melejit? Selain strategi politik,
pemilihan isu dan ketepatan figur, yang menjadi instrumen adalah Jokowi
sebagai antitesis dari politikus-penguasa saat ini. Di tengah riuhnya
panggung demokrasi yang disesaki oleh politikus korup, bermental kolonial dan
pribadi pengeluh, Jokowi tampil sebaliknya: ia mampu menyelami problem sosial
warga, lewat gaya blusukan, dan siap bergumul dengan wong cilik yang selama ini terpinggirkan.
Jokowi
juga hadir di tengah kerinduan rakyat tentang sosok Ratu Adil. Ia tampil
laiknya rakyat merindukan Diponegoro, Tjokroaminoto, Soekarno dan Jenderal
Soedirman. Jokowi menggunakan sentuhan satriya piningit untuk membawa api
inspirasi dan penggerak perubahan rakyat, yang tengah terkapar karena bencana
dan politik korup. Inilah peran Jokowi yang dirindukan oleh rakyat.
Figur
Jokowi juga identik dengan Jenderal Soedirman. Simbol jenderal revolusi dan
perang gerilya ini menjadi bahan kampanye tim sukses PDIP di media sosial.
Jokowi disandingkan sebagai figur yang siap bekerja dan bergerilya untuk
mengurai masalah rumit bangsa, sekaligus memberikan solusi nyata. Tentu saja,
problem di Solo dan DKI Jakarta tidak sebanding dengan problem sosial
Indonesia, yang merentang luas dari persoalan ekonomi, sumber daya alam,
pertahanan, ideologi, dan agama.
Jangan
sampai Jokowi hanya menjadi korban dari mistifikasi politik. Dengan menempatkan
simbol Ratu Adil dan satriya piningit, perlu komunikasi politik yang cerdas
dan mengena di tengah kegelisahan bangsa. Pilihan cerdas isu kampanye, strategi
koalisi dan ketepatan memilih pasangan calon wakil presiden (cawapres) adalah
bagian dari membongkar mistifikasi politik. Semoga Ratu Adil bukan sebatas
jargon politik, ia sejatinya harus hadir di tengah bangsa yang kehilangan
visi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar