Pemilih
Berwawasan Kelautan
M Riza Damanik ; Direktur
Eksekutif IGJ; Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia; Belajar
Ekologi Politik di Institute of Social Studies,
Den Haag,
Belanda
|
KORAN
SINDO, 22 Maret 2014
Salah
satu kritik mendasar terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto adalah alpa
memasukkan dimensi kelautan ke dalam agenda pembangunan nasional. Celakanya,
ketiga pemilu pasca-reformasi justru gagal melahirkan pemimpin bervisi
kelautan.
Mengapa?
Selang 32 tahun kepemimpinan Orde Baru telah memangkas habis wawasan kelautan
rakyat Indonesia. Yakni, menempatkan daratan sebagai pusat pembangunan,
memosisikan lautan sebagai ”tong sampah” raksasa, dan melihat pasar selalu
ada di luar (negeri). Sebagai akibatnya, sistem transportasi dan logistik
antarpulau tidak tersambung. Aliran bahan baku dari kepulauan Indonesia ke
negara lain terus berlangsung.
Populasi
rakyat miskin dan kerusakan lingkungan menumpuk di kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil. Ketimpangan pembangunan antarpulau kian melebar, hingga
isu disintegrasi yang terus mengancam. Tanpa membekali para pemilih (voters)
dengan ciri pemimpin (baca: calon presiden dan anggota DPR) bervisi kelautan,
penyelenggaraan Pemilu 2014 hanya akan menuai kegagalan serupa.
Tiga Ciri
Secara
historis, masyarakat kepulauan Nusantara memiliki pengalaman dan kesadaran
politik yang tinggi untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin tangguh. Sebut saja
Kitab Pelayaran dan Perniagaan Amanna Gappa, seperti dituliskan oleh Nakhoda
Sejarah Maritim Indonesia (Alm) A.B Lapian dalam bukunya ”Pelayaran dan
Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan ke-17” yang memuat lima belas syarat
menjadi seorang nakhoda (baca: pemimpin).
Pada
Pasal 6 di antaranya menyebut, pemimpin harus mampu membiayai dan
mempersenjatai perahunya, mengetahui kualitas dan kapasitas perahunya, serta
mampu mengawasi dan menjadi teladan bagi anak buahnya. Syarat lainnya,
sanggup menegakkan kebenaran tanpa pandang bulu, bersedia menerima saran dan
kritik, serta memiliki integritas dan kejujuran. Persyaratan terakhir dalam
kitab Amanna Gappa selengkapnya
berbunyi, ”Ö bila dia (si pemimpin)
mengetahui dengan benar-benar jalan (pelayaran). Jikalau dia tidak mengetahui
jalan (pelayaran), dicarinya seorang penunjuk jalan yang mengetahui
benar-benar jalan (pelayaran) itu. Diupayakannyalah dia (si penunjuk jalan),
atau menolongkah dia dengan percuma, tergantung dari persetujuan yang mereka
sukai. Itulah yang menjadikannya (supaya terlaksana).”
Takpelak,
salah memilih pemimpin (baca: tidak memenuhi kriteria Amanna Gappa); rakyat
Indonesia ibarat berada dalam sebuah kapal besar yang sedang melaut tanpa nakhoda.
Karenanya, tidak boleh pasif! Memasuki Pemilu 2014, para pemilih harus
proaktif untuk menemukan pemimpin bervisi kelautan yang memiliki (sedikitnya)
tiga ciri dasar.
Pertama
dan paling utama, mereka pernah singgah atau tinggal di pulau-pulau kecil.
Jika terpilih, pemimpin itu akan memprioritaskan penyelenggaraan transportasi
laut guna mendistribusikan pelayanan kesehatan, pendidikan, pangan, energi,
hingga pertahanan dan keamanan yang prima di seluruh kepulauan Indonesia,
tanpa kecuali. Sebab faktanya, aksesibilitas dari dan ke pulau-pulau kecil di
Indonesia masih sangat terbatas. Sebagai contoh, target Pemerintahan SBY hingga
2014 untuk membuka 90 trayek laut perintis belum juga terlaksana.
Bahkan,
persoalannya masih berkutat pada minimnya ketersediaan armada laut nasional
dan terbatasnya alokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk armadaarmada
laut perintis. Kedua, pemimpin harus berani menolak kebijakan privatisasi
terhadap kepulauan Indonesia. Sebab secara praksis, negara kepulauan
Indonesia terbentuk atas semangat komunal, bukan individual. Pun demikian,
secara ideologis, tujuan akhir dari pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
kepulauan Indonesia hanyalah untuk: sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan No.3/PUU-VIII/ 2010 telah mengeluarkan tafsir
terhadap frase ”sebesar-besar kemakmuran rakyat” di dalam Undang-Undang Dasar
1945. Tafsir konstitusi tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam empat
indikator, yaitu kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; tingkat pemerataan
manfaat sumber daya alam bagi rakyat; tingkat partisipasi rakyat dalam
menentukan manfaat sumber daya alam; serta penghormatan terhadap hak rakyat
secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Berangkat
dari jejak sejarah dan semangat yang tertuang di dalam Konstitusi UUD 1945,
pemimpin yang terpilih kelak harus berani mengambil inisiatif untuk merevisi
(sedikitnya) 20 undang-undang yang melegalkan keterlibatan asing dalam
pengusahaan sektor-sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Tidak terkecuali terhadap UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil yang memberi jalan masuknya investasi asing ke 13.000 pulau kecil
Indonesia yang tidak berpenghuni, termasuk memanfaatkan ruang perairan
pesisir, mulai dari permukaan laut, kolom air, hingga permukaan dasar laut.
Terakhir,
bilamana calon presiden tersebut terlibat berdagang, maka tujuannya
sematamata hanya untuk membenahi kualitas hidup rakyat, memperkuat soliditas
dan solidaritas antarwarga, serta melestarikan budaya gotong-royong khas
Indonesia. Pastilah, bukan untuk sekadar meningkatkan daya saing bangsa,
memenangkan kompetisi dalam perdagangan bebas, apalagi sebatas menaikkan
angka pertumbuhan ekonomi nasional! Dengan begitu, memperkuat perdagangan
antarpulau di dalam negeri adalah prioritas, sebelum nantinya terlibat dalam
aktivitas perdagangan regional maupun internasional.
Langkah
ini tidak saja baik untuk memperkuat kemandirian dan kedaulatan ekonomi
rakyat, tetapi sekaligus dapat memperbaiki dan mempererat hubungan antarpulau
ke depannya. Maka kita tidak perlu khawatir, pemimpin bervisi kelautan
bukanlah mereka yang meninggalkan kewajibannya mengelola darat. Justru
sebaliknya, mereka adalah pemimpin yang bertekad memulihkan kedaulatan
Indonesia di laut, lalu segera membawa kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia
(di darat).
Pemilih berwawasan
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini berpesan bahwa Indonesia akan
menghadapi persoalan serius pada 20, 30, 50 tahun mendatang jika gagal
memanfaatkan potensi laut. Oleh karena itu, paradigma pembangunan jangka
panjang Indonesia harus diubah menjadi pembangunan berbasis darat-maritim
(Kompas, 1/2). Tak ada kata terlambat, SBY dan 11 pimpinan partai politik
peserta Pemilu 2014 lainnya dapat segera memperbaiki dan memboboti visi
partainya dengan aspek kelautan.
Harapannya,
tiap-tiap partai politik dapat melunasi tanggung jawabnya melakukan
pendidikan politik kepada rakyat, sekaligus memperkuat komitmen untuk
mengembalikan arah pembangunan Indonesia berbasis kelautan. Penting pula
menghadirkan sosok-sosok pemimpin bervisi kelautan, setidaknya pro untuk
membuka trayek antarpulau dan memperbanyak armada laut nasional.
Lalu,
berkomitmen mendorong komunalisme dan kemandirian pengelolaan sumber daya
kepulauan, serta memberi prioritas terhadap peningkatan kualitas dan
kuantitas perdagangan domestik antarpulau. Akhirnya, pemilih berwawasan
kelautan adalah penentu masa depan Indonesia. Warga yang memilah, memilih,
dan mencoblos para pemimpin bervisi kelautan di bilik suara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar