Sabtu, 08 Maret 2014

Konsumsi dan Korupsi

Konsumsi dan Korupsi

Jakob Sumardjo  ;   Budayawan
KOMPAS,  07 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                             
PESTA pora korupsi di Indonesia adalah akibat dari pendidikan sikap konsumtif bangsa ini. Sikap konsumtif yang berbalikan dengan sikap produktif.
Pada waktu saya masuk Sekolah Rakyat tahun 1945 di kota Klaten, kelas 3, guru lulusan sekolah kolonial, mulai mengajar kami ilmu bumi.

Kami disuruh menggambar peta kelas kami dengan fokus di mana bangku tempat saya duduk. Kemudian disuruh menggambar peta sekolah kami.

Dan, terakhir disuruh menggambar peta di mana letak sekolah kami di antara sungai, jalan, gereja, masjid, rumah penduduk, dan sekolah lain.

Pengetahuan dimulai dari kenyataan, yakni cara melihat kenyataan menurut pandangan kami masing-masing. Inilah pendidikan produktif.

Kami menghasilkan pengetahuan dari kenyataan untuk kenyataan. Pengetahuan bukan kemewahan kepemilikan yang patut kita sombongkan. Pengetahuan baru disebut pengetahuan kalau berhubungan dengan kenyataan hidup kita sendiri.

Penelitian Zaini Alif di Baduy memperkuat arti pendidikan produktif ini. Di sana tidak ada lembaga sekolah, setiap orangtua adalah guru bagi anak-anaknya. Tidak dikenal permainan anak-anak, yang terjadilah adalah pekerjaan anak-anak (pagawean barudak). Permainan adalah pekerjaan.

Anak-anak membuat ”mainan” sendiri, misalnya baling-baling dari daun kelapa yang 
dapat mengeluarkan bunyi.

Ternyata ini berhubungan dengan kewajiban orang-orang dewasa yang harus terampil membikin kolencer (baling-baling bambu yang berbunyi di tengah sawah) mengikuti kepercayaan mereka.

Tentu saja kita tidak mau kembali ke primitif, tetapi filosofi pendidikan primitif ini masih dapat kita pertimbangkan, yakni pendidikan produktif bukan pendidikan konsumtif.
Sejak taman kanak-kanak sampai pendidikan tinggi, kita diajari bagaimana ”tahu banyak” dari kerja orang lain, tentang realitas orang lain pula.

Pengetahuan yang memenuhi rak-rak buku kita adalah kerja produktif dari penulis-penulisnya yang membaca realitas seperti masa sekolah rakyat saya.

Bangsa penikmat

Kita ini bangsa penikmat dunia. Mengulangi pidato pelantikan Presiden John Kennedy, kita dapat bertanya: bukan apa yang dapat disumbangkan dunia kepadamu, tetapi apa yang dapat kamu sumbangkan bagi dunia.

Sumbangan bangsa ini untuk dunia ternyata berasal dari kerja produktif nenek moyang kita, berupa candi-candi, wayang, gamelan, sastra-mitologis, angklung.
Semua diakui UNESCO sebagai warisan dunia. Sekarang ini apa yang dapat kita sumbangkan? Boro-boro menyumbang, kita hanya dapat menerima, menerima, dan menerima belaka, yang mengkristal menjadi sikap bangsa.

Contoh konkret antipoda ini adalah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Dia blusukan ke wilayah Ibu Kota seperti kami dahulublusukan menyisir sungai dan kampung tempat sekolah kami berdiri.

Joko Widodo membaca realitas untuk menyelesaikan realitas. Cara kerja yang ndeso ala Thukul ini mendapatkan banyak kecaman dari mereka yang bersikukuh pada cara berpikir dan konsumtif.

Bukan proses kerjanya yang dinilai, tetapi produknya, seperti kebiasaan mereka menikmati produk-produk jadi apa pun dari luar negeri.

Cara berpikir kita yang ”tinggal pakai” di semua bidang kehidupan ini tidak sabaran menunggu kerja gubernur yang seharusnya dewa-batara bimsalabim, begitu ingin langsung terjadi.

Cara berpikir konsumtif bangsa ini menanamkan potensi bahwa setiap orang berkemungkinan menjadi koruptor begitu kesempatan ada.

Etika produktif tidak pernah kita tanamkan, tidak seperti masyarakat ”primitif” Baduy mendidik anak-anak mereka. Pikiran mereka hanya bekerja dan menghasilkan untuk kehidupan.

Itulah sebabnya anak usia 11 tahun sudah bertindak seperti orang dewasa di masyarakat tersebut.

Pendidikan konsumtif kita menghasilkan lulusan pendidikan tinggi mirip anak-anak, dan ketika menduduki jabatan penting tetap bermain-main dengan uang negara.
Indonesia ini ruang permainan, ruang bersenang-senang, just for fun, semua uang yang tersedia itu buat permainan bukan pekerjaan (pegawean).

Mentalitas konsumtif

Kita sudah jauh dari mentalitas masyarakat Baduy yang tidak mengenal permainan, tetapi hanyalah pekerjaan.

Mentalitas demikian itu samar-samar masih hidup di kampung-kampung, yang ketika kepala desa mengawinkan anaknya dan menanggap wayang, maka penduduk sekitarnya mengatakan bahwa pak lurah sedang punya kerja.

Mentalitas konsumtif ini merambah ke mana-mana, mulai dari acara-acara televisi yang tinggal menjiplak produk asing, komik Jepang, penyanyi Korea, Cluster Eropa-Amerika, sampai referensi disertai yang melarang dirujuknya karya ilmiah 10 tahun ke belakang.

Semuanya berorientasi pada fashion dunia mutakhir. Yang tidak demikian dinamain jadul atau jaman dahulu yang berupa zombie budaya yang menjijikkan.

Rupanya mentalitas demikian itu pula yang menghinggapi calon-calon wakil rakyat bahwa jabatan itu menjanjikan permainan konsumtif, bukan kerja produktif.
Apa dan berapa yang dapat diberikan negara padaku? Bukan apa yang dapat saya kerjakan untuk negara dan bangsa ini?

Untuk itu diperlukan pengetahuan realitas yang menjadi tanggung jawabnya dan memecahkannya dengan cara berpikir produktif dan otentik.

Nelson Mandela itu menjadi milik dunia karena hanya fokus pada Afrika Selatan. Dia tidak menjiplak pemimpin mana pun. Mentalitas konsumtif menyuburkan korupsi, plagiat, nyontek, yang tinggal menikmati tanpa kerja (keras).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar