Konsumsi
dan Korupsi
Jakob Sumardjo ;
Budayawan
|
KOMPAS,
07 Maret 2014
PESTA pora korupsi di Indonesia
adalah akibat dari pendidikan sikap konsumtif bangsa ini. Sikap konsumtif
yang berbalikan dengan sikap produktif.
Pada waktu saya masuk Sekolah
Rakyat tahun 1945 di kota Klaten, kelas 3, guru lulusan sekolah kolonial,
mulai mengajar kami ilmu bumi.
Kami disuruh menggambar peta
kelas kami dengan fokus di mana bangku tempat saya duduk. Kemudian disuruh
menggambar peta sekolah kami.
Dan, terakhir disuruh menggambar
peta di mana letak sekolah kami di antara sungai, jalan, gereja, masjid,
rumah penduduk, dan sekolah lain.
Pengetahuan dimulai dari
kenyataan, yakni cara melihat kenyataan menurut pandangan kami masing-masing.
Inilah pendidikan produktif.
Kami menghasilkan pengetahuan
dari kenyataan untuk kenyataan. Pengetahuan bukan kemewahan kepemilikan yang
patut kita sombongkan. Pengetahuan baru disebut pengetahuan kalau berhubungan
dengan kenyataan hidup kita sendiri.
Penelitian Zaini Alif di Baduy
memperkuat arti pendidikan produktif ini. Di sana tidak ada lembaga sekolah,
setiap orangtua adalah guru bagi anak-anaknya. Tidak dikenal permainan
anak-anak, yang terjadilah adalah pekerjaan anak-anak (pagawean barudak).
Permainan adalah pekerjaan.
Anak-anak membuat ”mainan”
sendiri, misalnya baling-baling dari daun kelapa yang
dapat mengeluarkan
bunyi.
Ternyata ini berhubungan dengan
kewajiban orang-orang dewasa yang harus terampil membikin kolencer
(baling-baling bambu yang berbunyi di tengah sawah) mengikuti kepercayaan
mereka.
Tentu saja kita tidak mau
kembali ke primitif, tetapi filosofi pendidikan primitif ini masih dapat kita
pertimbangkan, yakni pendidikan produktif bukan pendidikan konsumtif.
Sejak taman kanak-kanak sampai
pendidikan tinggi, kita diajari bagaimana ”tahu banyak” dari kerja orang
lain, tentang realitas orang lain pula.
Pengetahuan yang memenuhi
rak-rak buku kita adalah kerja produktif dari penulis-penulisnya yang membaca
realitas seperti masa sekolah rakyat saya.
Bangsa penikmat
Kita ini bangsa penikmat dunia.
Mengulangi pidato pelantikan Presiden John Kennedy, kita dapat bertanya:
bukan apa yang dapat disumbangkan dunia kepadamu, tetapi apa yang dapat kamu sumbangkan
bagi dunia.
Sumbangan bangsa ini untuk dunia
ternyata berasal dari kerja produktif nenek moyang kita, berupa candi-candi,
wayang, gamelan, sastra-mitologis, angklung.
Semua diakui UNESCO sebagai
warisan dunia. Sekarang ini apa yang dapat kita sumbangkan? Boro-boro
menyumbang, kita hanya dapat menerima, menerima, dan menerima belaka, yang
mengkristal menjadi sikap bangsa.
Contoh konkret antipoda ini
adalah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Dia blusukan ke wilayah Ibu Kota
seperti kami dahulublusukan menyisir sungai dan kampung tempat sekolah kami
berdiri.
Joko Widodo membaca realitas
untuk menyelesaikan realitas. Cara kerja yang ndeso ala Thukul ini
mendapatkan banyak kecaman dari mereka yang bersikukuh pada cara berpikir dan
konsumtif.
Bukan proses kerjanya yang
dinilai, tetapi produknya, seperti kebiasaan mereka menikmati produk-produk
jadi apa pun dari luar negeri.
Cara berpikir kita yang ”tinggal
pakai” di semua bidang kehidupan ini tidak sabaran menunggu kerja gubernur
yang seharusnya dewa-batara bimsalabim, begitu ingin langsung terjadi.
Cara berpikir konsumtif bangsa
ini menanamkan potensi bahwa setiap orang berkemungkinan menjadi koruptor
begitu kesempatan ada.
Etika produktif tidak pernah
kita tanamkan, tidak seperti masyarakat ”primitif” Baduy mendidik anak-anak
mereka. Pikiran mereka hanya bekerja dan menghasilkan untuk kehidupan.
Itulah sebabnya anak usia 11
tahun sudah bertindak seperti orang dewasa di masyarakat tersebut.
Pendidikan konsumtif kita
menghasilkan lulusan pendidikan tinggi mirip anak-anak, dan ketika menduduki
jabatan penting tetap bermain-main dengan uang negara.
Indonesia ini ruang permainan,
ruang bersenang-senang, just for fun, semua uang yang tersedia itu buat
permainan bukan pekerjaan (pegawean).
Mentalitas konsumtif
Kita sudah jauh dari mentalitas
masyarakat Baduy yang tidak mengenal permainan, tetapi hanyalah pekerjaan.
Mentalitas demikian itu
samar-samar masih hidup di kampung-kampung, yang ketika kepala desa
mengawinkan anaknya dan menanggap wayang, maka penduduk sekitarnya mengatakan
bahwa pak lurah sedang punya kerja.
Mentalitas konsumtif ini
merambah ke mana-mana, mulai dari acara-acara televisi yang tinggal menjiplak
produk asing, komik Jepang, penyanyi Korea, Cluster Eropa-Amerika, sampai
referensi disertai yang melarang dirujuknya karya ilmiah 10 tahun ke
belakang.
Semuanya berorientasi pada
fashion dunia mutakhir. Yang tidak demikian dinamain jadul atau jaman dahulu
yang berupa zombie budaya yang menjijikkan.
Rupanya mentalitas demikian itu
pula yang menghinggapi calon-calon wakil rakyat bahwa jabatan itu menjanjikan
permainan konsumtif, bukan kerja produktif.
Apa dan berapa yang dapat
diberikan negara padaku? Bukan apa yang dapat saya kerjakan untuk negara dan
bangsa ini?
Untuk itu diperlukan pengetahuan
realitas yang menjadi tanggung jawabnya dan memecahkannya dengan cara
berpikir produktif dan otentik.
Nelson Mandela itu menjadi milik
dunia karena hanya fokus pada Afrika Selatan. Dia tidak menjiplak pemimpin
mana pun. Mentalitas konsumtif menyuburkan korupsi, plagiat, nyontek, yang
tinggal menikmati tanpa kerja (keras). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar