Hari
Air Sedunia
Thomas Koten ; Penulis,
Direktur Social Development Center
|
REPUBLIKA,
22 Maret 2014
Air merupakan unsur yang sangat
vital bagi kehidupan manusia dan segenap makhluk hidup lainnya. Manusia,
misalnya, dapat menahan rasa lapar, tetapi sangat sulit menahan rasa haus.
Dan dalam banyak hal, air merupakan faktor determinan tingkat kemakmuran
suatu masyarakat, bangsa, dan negara. Negara-negara di Afrika Utara, Timur, dan
Selatan, seperti di Etiopia, Sudan, dan Somalia, yang selalu kekurangan pangan,
penyebab utamanya adalah karena kekurangan air.
Masalahnya, ketersediaan air di
planet Bumi ini semakin langka dari tahun ke tahun dengan tingkat yang
semakin mengkhawatirkan. Ini dilihat secara sepintas, memang terkesan aneh.
Karena dari penampakan citra satelit, Bumi ini seperti diselimuti air, yaitu
sekitar 97,3 persen. Namun, ternyata persentase itu berupa air laut yang
tidak dapat dikonsumsi oleh manusia. Dan, hanya 3 persen yang berupa air
tawar. Dan, jumlah tersebut tidak semua langsung dikonsumsi atau dapat
diakses langsung untuk kebutuhan manusia karena terperangkap dalam bentuk
bongkahan gunung es di kutub, gletser, dan air tanah.
Dari faktor kelangkaan air yang
semakin mengkhawatirkan, itulah melahirkan keinginan para pemimpin dunia--
atas rekomendasi dalam KTT Bumi 1992, untuk menetapkan satu hari sebagai Hari
Air Sedunia, yaitu 22 Maret, untuk dijadikan sebagai hari renungan bersama.
Ancaman untuk Jakarta Masalah kelangkaan
air ini tidak boleh dianggap sepele mengingat debit air yang diproduksi dari
perut Bumi tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang terus bertambah setiap
saat. Penduduk dunia yang kini berkisar 7 miliar jiwa saja tingkat kelangkaan
air sudah cukup mengkhawatirkan di mana banyak negara di Afrika dan Timur
Tengah sudah sangat kekurangan air. Bagaimana jadinya jika jumlah penduduk dunia
terus bertambah?
Diproyeksikan saat ini sekitar
40 persen penduduk Bumi yang mengalami kelangkaan air bersih dan pada 2025
ada 1,8 miliar manusia yang terpapar pada ke langkaan air absolut. Sepertiga
penduduk akan terekspose stres keberadaan air (FAO Water, 2012). Dan tanpa
menyalahi negara-negara berkembang, tekanan paling berat terhadap sumber daya
air akan terjadi di kelompok negara ini karena masih tingginya laju kelahiran
yang diperkirakan 2,1 persen per tahun. Lebih khusus lagi adalah tekanan masyarakat
di perkotaan yang tidak kalah mengkhawatirkan karena laju pertumbuhan
penduduknya mencapai 3,5 persen.
Jakarta, misalnya, krisis air
sudah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda. Menurut sejarawan Susan Blackburn
dalam bukunya, Jakarta: A History, masalah air di Jakarta punya reputasi
sebagai pembunuh utama. Bahwa krisis air pulalah yang menjadi penyebab utama
pemindahan ibu kota kemaharajaan kolonial Belanda.
Seperti dilukiskan
sejarawan JJ Rizal (2011), pada akhir abad ke-18, Gubernur Jenderal Pieter
Gerardus van Overstraten memulai proses meninggalkan Oud Batavia secara bergelombang
menuju tempat baru, Nieuw Batavia, di sekitar Gambir, dan dinamakan
Weltevreden, disebab kan oleh krisis air. Kepindahan itu ada lah puncak dari
keluhan dan protes keras warga yang terlalu sering terjadi karena pasokan air
bersih yang bermasalah.
Dan kini, pada zaman modern ini,
masalah air bukan bertambah kurang, malah semakin pelik. Sejak tahun 2000-an
hingga kini, semakin santer terdengarnya berita yang mengatakan sistem
layanan air bersih di Jakarta semakin tidak diandalkan untuk masa kini dan
masa depan. Dalam catatan LKI, selama 10 tahun terakhir ini persoalan tentang
kebutuhan air bersih bagi warga Jakarta menjadi persoalan yang paling
krusial.
Dan, layanan air bersih yang
tidak memiliki standar kesehatan membuat penyedotan air tanah terus
berlangsung yang berujung pada penurunan permukaan air tanah di Jakarta.
Perlu langkah strategis Dari
perspektif geopolitik, sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat dan
Eropa Barat, telah menjadikan air sebagai bagian dari isu keamanan nasional.
Intergrated Water Resources Management
di Johannesburg, seperti disitir Hefni Effensi (2012), memformulasikan program
menghadapi kelangkaan air.
Pertama, strategi dan program
pengelolaan terpadu kembali sungai dan air tanah.
Kedua, memperbaiki
efisiensi penggunaan air demi mengurangi kehilangan air dan meningkatkan daur
ulang air sambil melakukan preservesi dan restorasi ekosistem berikut
fungsinya. Ketiga, mengurangi mitigasi pengaruh dan kegiatan yang berdampak
terhadap air. Keempat, diseminasi teknologi konservasi sumber daya air
nonkonvensional dan peningkatan kapasitas kelembagaan bagi negara yang didera
kelangkaan air.
Sayangnya, Indonesia yang
kekurangan airnya sudah semakin mengkhawatirkan, belum terdengar lahirnya
langkah strategis untuk mengatasinya.
Soal efisiensi penggunaan air
belum sepopuler langkah yang diambil dalam kaitannya dengan penanganan banjir
Jakarta. Padahal, krisis air bagi warga Jakarta dan sejumlah daerah lainnya,
seperti NTT, saat ini dan akan datang akan jauh lebih berbahaya bagi kehidupan
warga bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar