Rabu, 13 Juli 2022

 

Spekulasi Suku Bunga Acuan BI dan Pengendalian Inflasi

Haryo Kuncoro :  Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta dan Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara ISEI Pusat

KORAN TEMPO, 12 Juli 2022

 

 

                                                           

Tren normalisasi kebijakan moneter terus berlangsung di berbagai negara. Bank sentral Amerika Serikat, The Fed, dan beberapa bank sentral utama dunia, misalnya, sudah menginisiasi normalisasi moneter sejak awal tahun ini. Hingga Juni saja, The Fed sudah mengerek suku bunganya sebanyak 75 basis point.

 

Kendati sudah dikomunikasikan secara intensif sebelumnya, normalisasi moneter The Fed tetap saja mengguncang pasar finansial global. Arus modal asing meluncur deras dari pasar di negara berkembang menuju Amerika Serikat yang berimbas pada pelemahan cadangan devisa dan nilai tukar mata uang domestik di negara berkembang.

 

Ada spekulasi bahwa Bank Indonesia (BI) akan bergegas menaikkan suku bunga acuannya, yakni BI 7-day reverse repo rate. Berbagai pelaku pasar memperkirakan BI akan mengerek suku bunga acuannya paling cepat pada semester kedua tahun ini dengan kenaikan setidaknya 50 basis point sampai akhir tahun.

 

Seolah tak terpengaruh, BI justru mengambil langkah normalisasi moneter dari ranah likuiditas. Ketentuan giro wajib minimum (GWM) dinaikkan secara progresif. Pada 1 Juli 2022, kewajiban GWM rupiah bank umum konvensional dinaikkan menjadi 9 persen secara bertahap menuju 12 persen mulai September 2022.

 

Dalam kalkulasi BI, pengetatan likuiditas diperlukan untuk meredam potensi migrasi rupiah. Dengan ekses likuiditas sebesar Rp 882 triliun—yang lebih tinggi dari kondisi sebelum masa pandemi Covid-19 yang menembus Rp 400 triliun—kenaikan GWM akan menekan spekulasi valuta asing demi menjaga nilai tukar. Penyusutan likuiditas juga akan menahan gerak inflasi Indonesia.

 

Sampai di titik ini, kebijakan BI, yang menaikkan GWM dibanding menaikkan suku bunga acuan, masih bisa diterima. Bahkan BI kembali menegaskan bahwa kebijakan penaikan suku bunga acuan akan sangat bergantung pada inflasi inti (core inflation). BI hendak mengirim pesan bahwa kebijakan perubahan suku bunga acuan tetap terukur.

 

Penekanan pada inflasi inti patut dicatat. Per definisi, inflasi inti bersifat persisten. Pergerakan inflasi inti dipengaruhi oleh interaksi permintaan-penawaran lingkungan eksternal, seperti nilai tukar, harga komoditas internasional dan inflasi mitra dagang, serta ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.

 

Kenaikan inflasi inti, karena itu, merefleksikan pergerakan dari faktor ekonomi yang amat fundamental. Jika tidak ada perubahan yang "luar biasa", dinamika inflasi inti akan alot untuk berubah. Konsekuensinya, kontribusi inflasi inti pada inflasi umum (yang dihitung dari indeks harga konsumen) juga relatif stabil.

 

Hal di atas tampaknya mendekati kenyataan. Pada Juni 2022, inflasi inti masih terjaga di level 2,63 persen secara tahunan, sedikit lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tercatat 2,58 persen. Kenaikan itu wajar di tengah meningkatnya permintaan domestik yang sejalan dengan mobilitas penduduk dan geliat aktivitas ekonomi.

 

Kenaikan inflasi inti merupakan indikasi awal bahwa proses pemulihan ekonomi tengah berlangsung. Pernyataan BI secara terbuka semacam ini diharapkan memunculkan dialog yang sehat antara otoritas moneter dan semua pemangku kepentingan secara timbal balik.

 

Lebih lanjut, tekanan inflasi inti ke depan akan meningkat karena didorong oleh kenaikan harga energi dan pangan di pasar global. Meski demikian, pemerintah toh sudah berkomitmen untuk memfungsikan APBN sebagai peredam kejut dari berbagai pengaruh eksternal, termasuk volatilitas inflasi terimpor.

 

Penyesuaian ulang APBN 2022 juga mengalokasikan anggaran pemulihan ekonomi nasional untuk subsidi. Intinya, harga elpiji 3 kg, Pertalite, solar, dan tarif dasar listrik untuk golongan bawah bisa dipertahankan. Kenaikan anggaran perlindungan sosial akan menjaga daya beli masyarakat yang terkena dampak.

 

Dengan begitu, BI tidak ingin "merusak" momentum pemulihan ekonomi yang tengah berproses. Kebijakan moneter lewat suku bunga acuan tetap difokuskan untuk memelihara stabilitas. Sedangkan bauran kebijakan dengan makroprudensial diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

 

Kembali pada pokok persoalan. Spekulasi, apalagi rumor, atas suatu kebijakan yang tidak jelas akan membawa kerugian tidak hanya bagi efektivitas kebijakan itu sendiri, tapi juga pada perekonomian makro. Pada episode ketidakpastian yang tinggi, kredibilitas kebijakan menjadi kunci pembukanya.

 

Pada akhirnya, format wacana membuka dialektika yang produktif untuk melakukan inovasi kredibilitas kebijakan. Sebaliknya, spekulasi hanya akan membenturkan debat tak berujung antara dua paradigma "kebijakan diklaim efektif apabila sudah diantisipasi sebelumnya" versus "kebijakan akan disebut efektif jika ia mampu menghadirkan kejutan". ●

 

Sumber :  https://koran.tempo.co/read/opini/475028/spekulasi-suku-bunga-acuan-bi-dan-pengendalian-inflasi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar