Spekulasi Suku Bunga
Acuan BI dan Pengendalian Inflasi Haryo
Kuncoro
: Guru Besar Fakultas
Ekonomi Universitas Negeri Jakarta dan Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan
Keuangan Negara ISEI Pusat |
KORAN TEMPO, 12 Juli 2022
Tren normalisasi kebijakan
moneter terus berlangsung di berbagai negara. Bank sentral Amerika Serikat,
The Fed, dan beberapa bank sentral utama dunia, misalnya, sudah menginisiasi
normalisasi moneter sejak awal tahun ini. Hingga Juni saja, The Fed sudah
mengerek suku bunganya sebanyak 75 basis point. Kendati sudah
dikomunikasikan secara intensif sebelumnya, normalisasi moneter The Fed tetap
saja mengguncang pasar finansial global. Arus modal asing meluncur deras dari
pasar di negara berkembang menuju Amerika Serikat yang berimbas pada
pelemahan cadangan devisa dan nilai tukar mata uang domestik di negara
berkembang. Ada spekulasi bahwa Bank
Indonesia (BI) akan bergegas menaikkan suku bunga acuannya, yakni BI 7-day reverse
repo rate. Berbagai pelaku pasar memperkirakan BI akan mengerek suku bunga
acuannya paling cepat pada semester kedua tahun ini dengan kenaikan
setidaknya 50 basis point sampai akhir tahun. Seolah tak terpengaruh, BI
justru mengambil langkah normalisasi moneter dari ranah likuiditas. Ketentuan
giro wajib minimum (GWM) dinaikkan secara progresif. Pada 1 Juli 2022,
kewajiban GWM rupiah bank umum konvensional dinaikkan menjadi 9 persen secara
bertahap menuju 12 persen mulai September 2022. Dalam kalkulasi BI,
pengetatan likuiditas diperlukan untuk meredam potensi migrasi rupiah. Dengan
ekses likuiditas sebesar Rp 882 triliun—yang lebih tinggi dari kondisi
sebelum masa pandemi Covid-19 yang menembus Rp 400 triliun—kenaikan GWM akan
menekan spekulasi valuta asing demi menjaga nilai tukar. Penyusutan
likuiditas juga akan menahan gerak inflasi Indonesia. Sampai di titik ini,
kebijakan BI, yang menaikkan GWM dibanding menaikkan suku bunga acuan, masih
bisa diterima. Bahkan BI kembali menegaskan bahwa kebijakan penaikan suku
bunga acuan akan sangat bergantung pada inflasi inti (core inflation). BI
hendak mengirim pesan bahwa kebijakan perubahan suku bunga acuan tetap
terukur. Penekanan pada inflasi
inti patut dicatat. Per definisi, inflasi inti bersifat persisten. Pergerakan
inflasi inti dipengaruhi oleh interaksi permintaan-penawaran lingkungan
eksternal, seperti nilai tukar, harga komoditas internasional dan inflasi
mitra dagang, serta ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen. Kenaikan inflasi inti, karena
itu, merefleksikan pergerakan dari faktor ekonomi yang amat fundamental. Jika
tidak ada perubahan yang "luar biasa", dinamika inflasi inti akan
alot untuk berubah. Konsekuensinya, kontribusi inflasi inti pada inflasi umum
(yang dihitung dari indeks harga konsumen) juga relatif stabil. Hal di atas tampaknya
mendekati kenyataan. Pada Juni 2022, inflasi inti masih terjaga di level 2,63
persen secara tahunan, sedikit lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang
tercatat 2,58 persen. Kenaikan itu wajar di tengah meningkatnya permintaan
domestik yang sejalan dengan mobilitas penduduk dan geliat aktivitas ekonomi. Kenaikan inflasi inti
merupakan indikasi awal bahwa proses pemulihan ekonomi tengah berlangsung.
Pernyataan BI secara terbuka semacam ini diharapkan memunculkan dialog yang
sehat antara otoritas moneter dan semua pemangku kepentingan secara timbal
balik. Lebih lanjut, tekanan
inflasi inti ke depan akan meningkat karena didorong oleh kenaikan harga
energi dan pangan di pasar global. Meski demikian, pemerintah toh sudah
berkomitmen untuk memfungsikan APBN sebagai peredam kejut dari berbagai
pengaruh eksternal, termasuk volatilitas inflasi terimpor. Penyesuaian ulang APBN
2022 juga mengalokasikan anggaran pemulihan ekonomi nasional untuk subsidi.
Intinya, harga elpiji 3 kg, Pertalite, solar, dan tarif dasar listrik untuk
golongan bawah bisa dipertahankan. Kenaikan anggaran perlindungan sosial akan
menjaga daya beli masyarakat yang terkena dampak. Dengan begitu, BI tidak
ingin "merusak" momentum pemulihan ekonomi yang tengah berproses.
Kebijakan moneter lewat suku bunga acuan tetap difokuskan untuk memelihara
stabilitas. Sedangkan bauran kebijakan dengan makroprudensial diarahkan untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi. Kembali pada pokok
persoalan. Spekulasi, apalagi rumor, atas suatu kebijakan yang tidak jelas
akan membawa kerugian tidak hanya bagi efektivitas kebijakan itu sendiri,
tapi juga pada perekonomian makro. Pada episode ketidakpastian yang tinggi,
kredibilitas kebijakan menjadi kunci pembukanya. Pada akhirnya, format
wacana membuka dialektika yang produktif untuk melakukan inovasi kredibilitas
kebijakan. Sebaliknya, spekulasi hanya akan membenturkan debat tak berujung
antara dua paradigma "kebijakan diklaim efektif apabila sudah
diantisipasi sebelumnya" versus "kebijakan akan disebut efektif
jika ia mampu menghadirkan kejutan". ● Sumber : https://koran.tempo.co/read/opini/475028/spekulasi-suku-bunga-acuan-bi-dan-pengendalian-inflasi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar