Salah satu agenda perpajakan internasional yang dibahas pada Konferensi Tingkat Tinggi Group 20 (KTT G-20) yang diselenggarakan di Jepang pada Juni silam adalah perihal rencana pemungutan pajak terhadap perusahaan multinasional yang menggunakan atau menyelenggarakan layanan digital dalam menjalankan usahanya.

Secara kontekstual, negara-negara G-20 telah memberikan mandat kepada Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk memformulasikan berbagai kebijakan pajak internasional, termasuk perihal kerja sama dalam kerangka sistem pertukaran informasi otomatis terkait perpajakan (automatic exchange of information/AEoI) dan Rencana Aksi Anti-Penggerusan Basis Pajak dan Pengalihan Laba (Base Erosion and Profits Shifting/BEPS Action Plan).
Demikian pula dengan permasalahan pajak layanan digital, yang substansi pembahasannya didasarkan atau berpedoman pada Laporan OECD (OECD Secretary-General Report to G-20 Finance Ministers and Central Bank Governors), Juni 2019.
Sejalan dengan target untuk menghasilkan formulasi pajak layanan digital yang komprehensif pada akhir 2020, Laporan OECD mengerucutkan analisisnya pada dua pilar, yaitu realokasi hak pemajakan (selanjutnya kita sebut Pilar Kesatu) dan pengenaan tarif pajak minimum (Pilar Kedua). Kedua pilar ini sebelumnya telah dipublikasikan pada Februari lalu pada Public Consultation Document: Addressing the Tax Challenges of the Digitalisation of the Economy, dan telah memperoleh 2.000 halaman masukan tertulis dari 200 komentator (Laporan OECD: 31).
Pilar Kesatu menghendaki adanya tautan (nexus) baru antara kegiatan ekonomi digital dan hak pemajakan yang timbul dari kegiatan tersebut (Laporan OECD: 31). Aturan pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang ada sekarang memberikan hak pemajakan atas laba usaha kepada negara tempat orang atau badan asing berdomisili, kecuali orang atau badan asing tersebut memiliki bentuk usaha tetap (BUT) di negara sumber penghasilan.
Sesuai namanya, BUT harus berwujud fisik, misalnya gedung kantor atau pabrik. Ada juga wujud BUT lain yang dikenal dalam P3B, seperti keagenan. Namun, konsep BUT yang ada sekarang tidak mencakup wujud non-fisik dari perusahaan layanan digital, sehingga perlu diperluas. Alternatifnya, OECD dan G-20 perlu menyusun konsep baru untuk membagi hak pemajakan atas laba usaha (Laporan OECD: 41-42).
Sementara itu, Pilar Kedua tidak secara spesifik menyasar perusahaan layanan digital, tetapi merupakan bagian dari rencana aksi untuk memitigasi praktik pengalihan laba usaha ke negara dengan tarif pajak rendah (Laporan OECD: 47), dengan atau tanpa platform digital. Mitigasi tersebut dilakukan dengan pertama-tama menetapkan tarif pajak minimum yang akan dikenakan terhadap perusahaan multinasional.
Selanjutnya, dengan metode tertentu, suatu negara pihak P3B akan diberikan hak pemajakan atas laba usaha jika negara mitranya dalam P3B memungut pajak dengan tarif yang lebih rendah dari tarif pajak minimum tersebut (Laporan OECD: 47 et seq).
Jika dibandingkan dengan Pilar Kesatu, Pilar Kedua memiliki cakupan yang lebih luas dan relatif lebih sulit diterapkan. Selain itu, penerapan Pilar Kedua juga mengganggu keseimbangan hak pemajakan antarnegara yang sudah tercipta melalui ketentuan-ketentuan yang terdapat pada P3B. Namun, solusi yang diperoleh dari Pilar Kedua dapat menghindari diskriminasi akibat pengenaan pajak khusus terhadap perusahaan layanan digital yang berasal dari AS (misal: Google).
Dukungan negara-negara G-20 untuk Laporan OECD secara eksplisit dituangkan dalam G-20 Osaka Leaders’ Declaration (29 Juni 2019), dan Communique G-20 Finance Ministers and Central Banks Governors Meeting (8-9 Juni 2019).
Tidak sejalan
Sebagai anggota G-20, Indonesia terikat secara moral pada komitmen untuk mengembangkan program kerja yang disusun berdasarkan Pilar Kesatu dan Pilar Kedua. Namun, rencana kebijakan pajak dalam negeri tidak sejalan dengan komitmen itu.
Pertama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan tegas mengatakan, pemerintah akan memungut pajak digital terhadap perusahaan layanan digital yang memperoleh penghasilan di Indonesia, dengan atau tanpa BUT (Kompas, 13/6/2019).
Rencana pemungutan pajak layanan digital secara unilateral ini meresonansikan rencana pemungutan pajak layanan digital di Inggris Raya (lihat: HMRC Digital Services Tax: Consultation, November 2018) dan Perancis (cari: Google Apple Facebook Amazon/GAFA tax).
Rencana kebijakan unilateral seperti ini jelas bertentangan dengan solusi berbasis konsensus yang sedang diupayakan oleh G-20. Eksistensinya mengganggu relevansi dan keberlangsungan kerangka kerja sama perpajakan internasional, dan berdampak pada investasi dan pertumbuhan global (Laporan OECD: 31).
Kedua, alih-alih memformulasikan kebijakan hulu pajak layanan digital, pemerintah fokus pada kebijakan hilirnya. Pada 1 April 2019, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap (PMK BUT). Pasal 2 juncto Pasal 3 PMK BUT mengatur tentang kewajiban orang atau badan asing untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak dan dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
Dalam Laporan OECD, registration-based collection mechanism seperti ini adalah bagian dari implementasi Pilar Kesatu (Laporan OECD: 44), yang dibahas setelah aturan tentang alokasi laba usaha dan tautan (nexus) dirumuskan.
Ketiga, dalam rangka menarik investasi asing, Indonesia masih menerapkan berbagai kebijakan insentif pajak. Kebijakan ini termasuk tapi tak terbatas pada tax holiday, insentif pajak di bidang properti, dan yang sedang santer diembuskan, super tax deduction (Kompas.com, 13/6/2019).
Kebijakan ini kontradiktif dengan Pilar Kedua, yang justru ingin menghapus distorsi terhadap investasi akibat penerapan insentif pajak (Laporan OECD: 47).
OECD berpendapat bahwa penerimaan negara yang hilang akibat insentif pajak akan mengurangi kemampuan fiskal negara dalam membangun infrastruktur dan menyelenggarakan layanan publik (Laporan OECD: 47).
Keempat, masih dalam rangka menarik investasi asing, pemerintah berencana menurunkan tarif pajak, khususnya tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan (Kompas.com, 21 Juni 2019). Rencana ini bertentangan dengan Pilar Kedua, yang justru menargetkan adanya tarif pajak minimum bagi perusahaan multinasional.
Tergantung dari selisih antara tarif yang dirumuskan pada Pilar Kedua dan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan yang akan diterapkan di Indonesia, Indonesia dapat jatuh ke dalam persaingan pajak yang berbahaya (harmful tax competition), yang justru kontraproduktif terhadap pelaksanaan BEPS Action Plan.
Membebani unicorn
Kelima, terlepas dari permasalahan itu, partisipasi Indonesia dalam kerja sama perumusan pajak layanan digital dapat dipersandingkan dengan kebijakan fiskal dan non-fiskal dalam negeri yang mendukung terbentuknya unicorn baru.
Di satu sisi, unicorn yang ada di Indonesia saat ini menyelenggarakan layanan digital bagi konsumen di Indonesia, dan diharapkan dapat berekspansi untuk menjangkau konsumen di luar negeri. Di sisi lain, arsitektur pajak digital dibangun berdasarkan keinginan untuk memberikan hak pemajakan bagi negara tempat konsumen berada.
Artinya, pajak layanan digital yang dirumuskan berdasarkan Pilar Kesatu dan Pilar Kedua pada saatnya justru akan menempatkan unicorn Indonesia sebagai pihak yang dibebani dengan pembayaran pajak tersebut. Lebih jauh lagi, insentif fiskal (misalnya, pembebasan pajak) yang diberikan oleh pemerintah kepada unicorn menjadi tidak berarti karena negara tempat konsumen berada akan memungut pajak sesuai dengan tarif minimum yang diformulasikan pada Pilar Kedua.
Dari sisi pemerintah, hak pemajakan eksklusif atas unicorn Indonesia yang sekarang dimiliki akibat ketiadaan BUT di negara tempat konsumen berada pada saatnya akan menjadi tidak eksklusif karena unicorn tersebut juga akan dipajaki di negara tempat konsumen berada berdasarkan konsep pembagian hak pemajakan atas laba usaha baru yang dirumuskan pada Pilar Kesatu.
Akhirnya, seluruh kerja sama perpajakan internasional mempropagandakan penghindaran dan pengelakan pajak sebagai penyebab menurunnya penerimaan negara. Kerja sama tersebut juga selalu disisipkan dengan iming-iming peningkatan efisiensi dan transparansi dalam pemungutan pajak. Kedua faktor ini serta-merta mendorong suatu negara, khususnya negara berkembang, untuk berpartisipasi tanpa menghiraukan dampak sistematisnya terhadap kebijakan-kebijakan nasional lainnya.
Perlu dicatat bahwa kerja sama perpajakan internasional selalu mengutamakan kepentingan negara-negara maju sehingga manfaatnya bagi negara berkembang perlu ditinjau secara saksama. ***