ANALISIS POLITIK
Menolak ”Presiden-Sial”
Pertarungan dalam Pemilu Presiden 2019 amat keras dan penuh nuansa hidup-mati karena ideologisasi politik identitas. Banyak kalangan merasa, amat lengkara (muskil) rekonsiliasi di antara dua kubu yang berkompetisi. Namun, setelah Komisi Pemilihan Umum menetapkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, kebekuan semakin lumer, terutama setelah persuaan antara Jokowi dan Prabowo Subianto.
Sayangnya, keberhasilan Jokowi-Amin dalam kompetisi politik mulai memicu persaingan internal untuk mendapat pengakuan siapa yang paling berjasa. Ibarat pepatah klasik, keberhasilan mempunyai banyak bapak, kegagalan adalah yatim piatu (success has many fathers, failure is an orphan). Setiap parpol pengusung pemenang Pilpres 2019 merasa paling berjasa. Publik merasakan gairah politisi yang terangsang keseksian jabatan menteri atau jabatan lain yang dianggap strategis; guna menjamin survivalitas politik yang tercemari politik uang. Kendati selalu dinarasikan jabatan menteri hak prerogatif presiden, hampir bisa dipastikan, presiden akan mendapat tekanan maksimum dari para elite parpol agar menerima calon menteri yang diusulkan.
Pragmatisme politik juga menggetarkan kubu Prabowo dan Sandiaga Uno yang menafsirkan narasi persatuan serta kesatuan sebagai sinyal bergabung dalam kabinet pemerintahan mendatang. Hal itu mendapat signifikansinya setelah ada pertemuan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo (Rabu, 24 Juli 2019). Agenda itu tak urung menimbulkan spekulasi ada keretakan di kubu Jokowi-Amin. Ini karena beberapa hari sebelumnya, partai lain dalam koalisi, yakni Nasdem, PKB, Golkar, dan PPP, bertemu. Mereka diduga kurang nyaman jika Prabowo bergabung dalam koalisi.
Sementara itu, dari perspektif rakyat, serangkaian pertemuan itu punya dua kepentingan mendasar. Pertama, memperkukuh semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang telah diobrak-abrik kepentingan kekuasaan beberapa tahun terakhir ini. Kedua, menghasilkan konsensus politik sehingga Jokowi-Amin dapat mewujudkan mimpi rakyat, yakni memiliki pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan efektif.
Harapan publik bangkit setelah mendengar orasi Presiden Jokowi pada pertengahan bulan ini di Bogor. Pidatonya di luar kebiasaan; tenang, datar, dan tak menggebu-gebu. Meskipun cukup ringkas, publik menangkap gereget, tekad, serta keteguhan hati Presiden Jokowi dalam menuntaskan berbagai masalah kronis yang membikin rakyat prihatin dan geregetan. Kata-katanya bertenaga dan menjadi lebih digdaya karena komitmennya disertai gertakan berintonasi tinggi terhadap para pemungli (pemungut liar), kelambanan pelayanan birokrasi, dan intoleransi. Ia berikrar mengontrol, memangkas, bahkan membubarkan lembaga yang masih menggunakan pola pikir birokrasi yang lamban dalam melayani publik. Bahkan, ia akan mengejar dan menghajar mereka yang menghambat investasi. Presiden juga menegaskan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi bangsa serta ia tidak menoleransi sedikit pun mereka yang mengganggu Pancasila.
Ia tampaknya ingin mengingatkan rakyat, terutama elite politik, makna terdalam kemenangan Pilpres 2019 adalah penguatan institusi kepresidenan. Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi sesuai konstitusi. Ia mengalami sendiri dalil tersebut hanya menjadi jampi-jampi karena proses elektoral saja ternyata tidak menjamin terwujudnya pemerintahan efektif. Oleh karena itu, ia secara kategoris menolak sekadar menjadi ”presiden-sial” yang hanya boneka elite politik. Ia merasa saatnya bertiwikrama untuk menyatakan diri sebagai ”panglima perang” terhadap perusak negara. Rakyat juga berhak menolak ”presiden-sial”.
Dukungan publik terhadap Jokowi seusai orasi dibuktikan dengan hasil jajak pendapat Kompas, 22 Juli 2019. Responden setuju terhadap beberapa pernyataan keras Presiden, yakni penghambat investasi harus dihajar (71,5 persen), pencopotan dan pembubaran birokrasi yang tidak efisien dan efektif (85,7 persen), lembaga yang tidak bermanfaat harus dibubarkan (87,4 persen), serta menteri pemberani (92 persen).
Dukungan rakyat amat penting agar bisa merelativisasi tekanan elite politik dan memberikan keleluasaan presiden memilih menteri yang punya kemampuan manajerial, pemahaman bidang tugas, serta kompetensi moral. Pertaruhan politik amat mahal jika kabinet sangat terkontaminasi kepentingan kekuasaan. Jika begitu, lima tahun mendatang, pemerintah tak akan mampu meletakkan fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa; mewujudkan kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar