Rabu 17 Juli 2019, 16:42 WIB
Membangun Oposisi Alternatif
Pasca Komisi Pemilihan Umum menetapkan pasangan Joko Widodo-Maruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2019-2014 pada 29 Juni 2019 lalu, muncul dua wacana tentang koalisi dan oposisi. Meskipun oposisi tidak dikenal dalam sistem politik kita, namun kekuatan pengontrol sebagai check and balance harus ada untuk terus menyehatkan kehidupan demokrasi kita.
Pasca kemenangan dalam pilpres, Jokowi-Maruf bersama parpol koalisinya akan membentuk pemerintahan baru dengan kabinetnya. Secara politik, pemerintahan Jokowi-Maruf lima tahun ke depan akan cukup kuat karena minimal akan didukung dengan koalisi parpol di parlemen sebesar 60%. Jika PAN dan Demokrat bergabung dengan koalisi PDI-P dan kawan-kawan, maka pemerintahan Jokowi-Maruf akan semakin kuat.
Berdasarkan persentase hasil Pileg 2019, kekuatan dukungan parlemen terhadap pemerintah menjadi 78 persen (448 kursi), dan oposisi hanya memiliki kekuatan sebesar 22 persen. Dengan dukungan kekuatan parlemen yang superjumbo, maka pemerintahan Jokowi-Maruf akan sangat mudah untuk membuat dan mengeksekusi kebijakan-kebijakannya.
Sebaliknya bagi kekuatan oposisi tidak akan berimbang dan efektif dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Dengan persentase sebesar 22 persen sulit diharapkan akan menjadi kekuatan oposisi yang kuat dan berkualitas. Besarnya kekuatan koalisi dan minimnya jumlah kekuatan oposisi di parlemen akan berpotensi besar terhadap hadirnya pemerintahan otoritarianisme. Pemerintahan tanpa kontrol dan kritik.
Dengan modal dukungan parlemen yang sangat besar tersebut, Jokowi-Maruf bisa saja membuat dan mengeksekusi kebijakan-kebijakan "semau gue". Inilah yang sangat dikhawatirkan oleh kelompok pro demokrasi. Pemerintahan "Orde Baru" akan lahir dengan wajah baru. Dan dampaknya lanjutannya, ini sangat berbahaya dan akan mengancam kehidupan demokrasi Indonesia.
Lalu, bagaimana agar kekuatan oposisi tetap ada dan terus berkembang mengontrol jalannya pemerintahan, dan kelompok-kelompok mana yang sebaiknya menjadi kekuatan oposisi alternatif agar check and balance tetap berjalan sehingga kehidupan demokrasi tetap sehat dan bahkan semakin sehat?
Pasca kemenangan dalam pilpres, Jokowi-Maruf bersama parpol koalisinya akan membentuk pemerintahan baru dengan kabinetnya. Secara politik, pemerintahan Jokowi-Maruf lima tahun ke depan akan cukup kuat karena minimal akan didukung dengan koalisi parpol di parlemen sebesar 60%. Jika PAN dan Demokrat bergabung dengan koalisi PDI-P dan kawan-kawan, maka pemerintahan Jokowi-Maruf akan semakin kuat.
Berdasarkan persentase hasil Pileg 2019, kekuatan dukungan parlemen terhadap pemerintah menjadi 78 persen (448 kursi), dan oposisi hanya memiliki kekuatan sebesar 22 persen. Dengan dukungan kekuatan parlemen yang superjumbo, maka pemerintahan Jokowi-Maruf akan sangat mudah untuk membuat dan mengeksekusi kebijakan-kebijakannya.
Sebaliknya bagi kekuatan oposisi tidak akan berimbang dan efektif dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Dengan persentase sebesar 22 persen sulit diharapkan akan menjadi kekuatan oposisi yang kuat dan berkualitas. Besarnya kekuatan koalisi dan minimnya jumlah kekuatan oposisi di parlemen akan berpotensi besar terhadap hadirnya pemerintahan otoritarianisme. Pemerintahan tanpa kontrol dan kritik.
Dengan modal dukungan parlemen yang sangat besar tersebut, Jokowi-Maruf bisa saja membuat dan mengeksekusi kebijakan-kebijakan "semau gue". Inilah yang sangat dikhawatirkan oleh kelompok pro demokrasi. Pemerintahan "Orde Baru" akan lahir dengan wajah baru. Dan dampaknya lanjutannya, ini sangat berbahaya dan akan mengancam kehidupan demokrasi Indonesia.
Lalu, bagaimana agar kekuatan oposisi tetap ada dan terus berkembang mengontrol jalannya pemerintahan, dan kelompok-kelompok mana yang sebaiknya menjadi kekuatan oposisi alternatif agar check and balance tetap berjalan sehingga kehidupan demokrasi tetap sehat dan bahkan semakin sehat?
Oposisi Alternatif
Di samping sebagai kekuatan pengimbang dan pengontrol, oposisi juga memiliki peran dalam upaya memberdayakan dan mendidik secara politik potensi masyarakat. Praktik depolitisasi dan deparpolisasi yang berlangsung selama 32 tahun yang dijalankan Orde Baru telah menjadikan rakyat tidak berdaya secara intelektual dan politik, dan demokrasi tak bisa berkembang dengan baik dan sehat.
Kekuatan rakyat hanya dimanfaatkan dan dipermainkan oleh rezim berkuasa untuk memproduksi dan mempertahankan kekuasaannya. Ini yang kemudian memunculkan performance pemerintahan yang otoriter dan sentralistik.
Kekuatan oposisi jangan sampai menyusut, karena jika hal itu terjadi akan dapat menguburkan demokrasi, memunculkan otoritarianimse baru. Ketika tidak ada kekuatan kontrol, negara akan semakin kuat. Sejarah Orde Baru kiranya bisa dijadikan sebagai pelajaran. Ketiadaan oposisi menjadikan negara menjadi kuat, kekuasaan semakin mengerucut pada satu orang atau sekelompok elite.
Dengan sikap dan peran oposisi Gerindra dan PKS, setidaknya bisa menyelamatkan bangsa ini jatuh pada jurang demokrasi yang lebih dalam. Dalam negara demokratis, secara fatsun politik, parpol yang kalah dalam pemilu otomatis menjadi partai oposisi atau menjadi kekuatan kontrol dan penyeimbang atas parpol penguasa. Dalam konteks ini, langkah politik Gerindra dan PKS sangat elegan dan lebih bermartabat daripada berkoalisi.
Namun demikian, oposisi Gerindra dan PKS, secara kuantitas sangat lemah sehingga akan kurang efektif untuk mengontrol kekuasaan presiden dan jalannya pemerintahan lima tahun ke depan. Karena itu, perlu dibangun dan dikembangkan kekuatan oposisi alternatif, yakni oposisi ekstra-palementer, yakni kekuatan yang berasal dari masyarakat yang memiliki komitmen demokrasi dan secara konsisten mengontrol dan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah secara objektif.
Kelompok masyarakat yang sangat diharapkan menjadi kekuatan oposisi alternatif atau ekstra-parlementer di antaranya adalah para intelektual organik, mahasiswa, kelompok masyarakat yang tergabung dalam NGO, kelompok buruh, tani, nelayan, dan kelompok civil society lainya. Dengan kemampuan intelektualitas dan dukungan masyarakat yang luas, kelompok ini akan menjadi kekuatan oposisi alternatif yang kritis dan konstruktif.
Kita berharap dengan munculnya kekuatan oposisi alternatif atau ekstra-parlementer yang dijalankan kelompok masyarakat atau civil society, sehingga check and balance akan tetap berjalan dengan baik. Dengan demikian, kehidupan demokrasi pun akan berjalan lebih sehat. Langkah oposisi alternatif ini diharapkan akan memberikan kontribusi positif bagi pengembangan dan pematangan demokrasi Indonesia ke depan. Kekhawatiran munculnya wajah pemerintahan otoritarianisme gaya baru pun akan dapat dihindari.
Di samping sebagai kekuatan pengimbang dan pengontrol, oposisi juga memiliki peran dalam upaya memberdayakan dan mendidik secara politik potensi masyarakat. Praktik depolitisasi dan deparpolisasi yang berlangsung selama 32 tahun yang dijalankan Orde Baru telah menjadikan rakyat tidak berdaya secara intelektual dan politik, dan demokrasi tak bisa berkembang dengan baik dan sehat.
Kekuatan rakyat hanya dimanfaatkan dan dipermainkan oleh rezim berkuasa untuk memproduksi dan mempertahankan kekuasaannya. Ini yang kemudian memunculkan performance pemerintahan yang otoriter dan sentralistik.
Kekuatan oposisi jangan sampai menyusut, karena jika hal itu terjadi akan dapat menguburkan demokrasi, memunculkan otoritarianimse baru. Ketika tidak ada kekuatan kontrol, negara akan semakin kuat. Sejarah Orde Baru kiranya bisa dijadikan sebagai pelajaran. Ketiadaan oposisi menjadikan negara menjadi kuat, kekuasaan semakin mengerucut pada satu orang atau sekelompok elite.
Dengan sikap dan peran oposisi Gerindra dan PKS, setidaknya bisa menyelamatkan bangsa ini jatuh pada jurang demokrasi yang lebih dalam. Dalam negara demokratis, secara fatsun politik, parpol yang kalah dalam pemilu otomatis menjadi partai oposisi atau menjadi kekuatan kontrol dan penyeimbang atas parpol penguasa. Dalam konteks ini, langkah politik Gerindra dan PKS sangat elegan dan lebih bermartabat daripada berkoalisi.
Namun demikian, oposisi Gerindra dan PKS, secara kuantitas sangat lemah sehingga akan kurang efektif untuk mengontrol kekuasaan presiden dan jalannya pemerintahan lima tahun ke depan. Karena itu, perlu dibangun dan dikembangkan kekuatan oposisi alternatif, yakni oposisi ekstra-palementer, yakni kekuatan yang berasal dari masyarakat yang memiliki komitmen demokrasi dan secara konsisten mengontrol dan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah secara objektif.
Kelompok masyarakat yang sangat diharapkan menjadi kekuatan oposisi alternatif atau ekstra-parlementer di antaranya adalah para intelektual organik, mahasiswa, kelompok masyarakat yang tergabung dalam NGO, kelompok buruh, tani, nelayan, dan kelompok civil society lainya. Dengan kemampuan intelektualitas dan dukungan masyarakat yang luas, kelompok ini akan menjadi kekuatan oposisi alternatif yang kritis dan konstruktif.
Kita berharap dengan munculnya kekuatan oposisi alternatif atau ekstra-parlementer yang dijalankan kelompok masyarakat atau civil society, sehingga check and balance akan tetap berjalan dengan baik. Dengan demikian, kehidupan demokrasi pun akan berjalan lebih sehat. Langkah oposisi alternatif ini diharapkan akan memberikan kontribusi positif bagi pengembangan dan pematangan demokrasi Indonesia ke depan. Kekhawatiran munculnya wajah pemerintahan otoritarianisme gaya baru pun akan dapat dihindari.
Umar Sholahudin ; Koordinator Parliament Wacth Jatim, dosen FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar