REINDUSTRIALISASI
Indonesia Negara Maju 2045?
Tiga revolusi industri terdahulu mampu meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) dunia secara eksponensial. Contoh, Korea yang menjadi negara maju karena sektor manufakturnya mampu berkontribusi sekitar 30 persen terhadap ekonomi, padahal tahun 1960 hanya 16 persen.
Lepas dari krisis, industrialisasi kini tengah diarahkan untuk menghadapi tantangan era revolusi industri keempat. Walau tidak secepat sebelum krisis industri manufaktur mampu bangkit, peringkat dunianya kini menurut UNIDO (2017) naik dari posisi 18 (1990) menjadi 9 (2015).
Potensi untuk menjadi negara berpendapatan per kapita tinggi ditulangpunggungi industri bagi Indonesia sangatlah besar: ribuan pulau, 261 juta penduduk yang haus pembangunan, berikut sumber daya alam (SDA) yang beragam dan kaya dengan rangking dunia luar biasa.
Ribuan kilometer jalan, ribuan jembatan, perumahan perlu dibangun, belum dihitung kebutuhan akan alat transportasi, komunikasi, peralatan listrik, obat-obatan, alat kesehatan, hingga berbagai kebutuhan mesin-mesin industri, dan lain-lain, adalah modal tumbuhnya sektor manufaktur yang kuat. Diingatkan oleh para ahli, sektor manufaktur adalah faktor kunci bagi Indonesia untuk bisa lepas dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap) (Rodrick, 2010, dan McKinsey Global Institute, 2012).
Tantangan pengembangan
Pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun terakhir hanya 5,0 persen hingga 5,2 persen per tahun. Ini terjadi karena peran industri manufaktur yang awalnya masih mampu tumbuh sedikit di atas pertumbuhan ekonomi sebesar 5,45 persen, melorot hingga 4,27 persen tahun lalu. Perannya terhadap ekonomi yang pernah 29,6 persen (2001) terus turun hingga 19,9 persen tahun lalu. Indonesia disebut tengah mengalami de-industrialisasi dini.
Melambatnya pertumbuhan delapan cabang pendukung utama (inti) penyumbang hampir 80 persen PDB industri dari total 23 cabang industri manufaktur (2 digit Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia/KBLI) adalah penyebabnya.
Dalam lima tahun terakhir, lima cabang di antaranya selalu tumbuh di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi, jadi hanya tiga cabang pendukung sektor industri, yakni makanan, barang logam, serta logam dasar. Itupun dengan catatan bahwa dua cabang yang disebut terakhir tumbuhnya pas-pasan, sedikit di atas ekonomi, karena sesak napas melawan impor yang lebih besar dari total kapasitas nasional kedua industri itu.
Jadi penghela pertumbuhan hanyalah industri makanan dan minuman, yang mampu tumbuh konsisten rata-rata 8,8 persen selama lima tahun terakhir.
Ekspor sektor industri juga tak mampu tumbuh signifikan, tahun lalu hanya naik 6 persen dibanding sebelumnya. Dua puluh dua persen ekspor produk industri seperti tekstil, produk karet, kertas, dan elektronika tumbuh negatif, sedangkan lainnya tumbuh secara rata-rata tertimbang 11 persen.
Ekspor sektor industri juga tak mampu tumbuh signifikan, tahun lalu hanya naik 6 persen dibanding sebelumnya. Dua puluh dua persen ekspor produk industri seperti tekstil, produk karet, kertas, dan elektronika tumbuh negatif, sedangkan lainnya tumbuh secara rata-rata tertimbang 11 persen.
Melesunya ekonomi dunia, menurunnya harga migas, komoditas pertambangan dan perkebunan terutama sawit, juga menurunkan kinerja ekspor, sementara faktor-faktor penunjang daya saing industri, antara lain ketenagakerjaan, listrik dan gas, belum juga mendukung.
Sementara impor tumbuh lebih dari 20 persen di tahun 2018, dibandingkan dengan sebelumnya. Sembilan puluh persen impor produk industri tumbuh di atas 15 persen, dan 73 persen di antaranya tumbuh di atas 20 persen. Defisit ekspor terhadap impor produk industri tahun 2018 tercatat sebesar 17 miliar dollar AS, dan yang terbesar adalah dari China. Industri benar-benar tengah terjepit, bertumbuh marginal dihantam barang impor secara luar biasa.
Yang mengkhawatirkan adalah penguasaan teknologi industri. Pengukuran dengan metode ISIC Rev.3-2011 UNIDO di tahun 2014, gambarannya adalah struktur kemampuan penguasaan teknologi tinggi industri hanya 6 persen, teknologi menengah-tinggi 28 persen, teknologi menengah-rendah 23 persen, dan teknologi rendah 43 persen.
Jadi 65 persen output industri Indonesia berteknologi rendah, wajar kalau kandungan teknologi barang produk industri yang di ekspor 58 persennya berteknologi rendah, dan barang industri yang diimpor 72 persennya berteknologi tinggi. Dengan kondisi ini industri harus menghadapi era revolusi Industri 4.0, di mana justru faktor teknologi dan inovasi adalah penentu daya saing.
Sementara perlindungan terhadap investasi baru (infant industry) dengan memagari pasar domestik hampir mustahil dilakukan, karena rata-rata tarif bea masuk Indonesia tinggal 2,6 persen, seliberal Uni Eropa atau Amerika Serikat (AS), malah lebih rendah dari Korea (7,7 persen), China (3,5 persen) dan India (6,3 persen) (Bank Dunia, Dana Moneter Internasional). Oleh karena itu, terjadinya defisit neraca perdagangan pada mayoritas produk industri kita terhadap negara mitra Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Area/FTA)-nya tentunya bukan hal yang mengherankan.
Namun yang perlu lebih diwaspadai adalah kondisi yang terjadi pada pemanfaatan FTA yang baru di sekitar 25–30 persen. Dampak negatif liberalisasi terhadap sektor otomotif Australia, hingga tutupnya pabrik Mitsubishi (2008), Ford (2016), dan Toyota (2017), juga memberikan sinyal peringatan dini kehati-hatian untuk meliberalisasi perekonomian kita.
Investor industri sendiri belum merasakan angin segar peningkatan iklim investasi, walau sudah diluncurkan 16 paket kebijakan ekonomi. Bagi pedagang, bisnis impor lebih menarik karena rendah risikonya dibandingkan usaha industri, bak simalakama perbaikan dwelling time (bongkar muat barang di pelabuhan) malah rahmat bagi importir.
Ke mana industri Indonesia melangkah
Negara maju dunia telah mengarahkan pengembangan industrinya kepada teknologi yang kian tinggi, terlihat dari besarnya biaya riset dan pengembangan (R&D) yang dikeluarkan. Hampir separuh dari pengeluaran penelitian dunia, difokuskan pada enam cabang industri, yang tumbuh tinggi dan sarat inovasi, yang diyakini akan menjadi arah pengembangan industri dunia masa depan (R&D Magazine, 2016).
Cabang industri dimaksud yaitu (1) Life Science, (2) Aerospace dan Defence, (3) Otomotif dan Sistem Transportasi, (4) Sistem Energi, (5) Material Adi dan Kimia, (6) Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Jerman memilih industri keenergian, kesehatan, keamanan. China kereta api cepat, mesin numerik presisi tinggi, kendaraan listrik. Bahkan Singapura ke area teknologi ruang angkasa.
Dengan melihat modal, pengalaman, kondisi, serta kesempatan yang dimiliki, ke depan terdapat dua tahap program yang perlu dilakukan agar industri tumbuh tinggi, untuk mampu mengembalikan peran pentingnya terhadap perekonomian. Pertama, melaksanakan proses reindustrialisasi, dengan bersamaan mempercepat proses pengembangan industri teknologi tinggi untuk memproduksi produk bernilai tambah yang jauh lebih besar dibanding yang telah ada.
Reindustrialisasi dimaksudkan untuk mengembalikan kinerja cabang industri tertentu yang lesu, menambah kapasitas dan memperkuat kemampuan ekspor. Intinya, maksimal dalam dua tahun harus diselesaikan program sistematis yang terkonsolidasi untuk menghilangkan seluruh faktor penghambat daya tumbuh kinerja cabang industri inti, terutama agar mampu meredam impor produk ilegal, menekan biaya investasi, dan meningkatkan faktor-faktor daya saing investasi.
Fokus reindustrialisasi adalah cabang industri inti yang rata-rata lima tahun terakhir tumbuh di bawah ekonomi, bak kehabisan bensin, yakni industri Kimia, Kendaraan Bermotor, Barang Galian Bukan Logam, Elektronika, Logam Dasar, Tekstil dan Pakaian Jadi, dan Karet.
Kelompok ini menyumbang 40 persen dari PDB industri, dengan jumlah tenaga kerja yang besar, namun berkarakteristik berkandungan impor tinggi, rentan terhadap fluktuasi harga komoditas, serta terhadap fluktuasi kurs, sehingga kinerjanya sangat berkorelasi erat dengan kondisi global. Dibutuhkan investasi untuk memperkuat kemampuan R&D, melokalisasi komponen dan produk input penunjangnya, serta melindungi industri dari serbuan barang impor yang curang.
Dengan melihat perkembangan dunia, kebutuhan dan potensi Indonesia ke depan, maka diperlukan cabang-cabang Industri Prioritas 4.0 yang diyakini akan mampu mewujudkan cita-cita meningkatkan penguasaan teknologi dan melipat gandakan peningkatan nilai tambah, untuk mengejar target peran PDB industri minimal 30 persen terhadap ekonomi dicapai.
Cabang industri yang diperkirakan mampu, adalah industri Advance Material dan Kimia Adi, Otomotif dan Alat Transportasi, Elektronika Profesional dan Peralatan Kedokteran, Peralatan Penginderaan, Mesin Konstruksi dan Industri, Teknologi Informasi dan Smart Office System, Mikro Elektronika dan Elektronika Presisi, serta Kedirgantaraan. Adapun pola produksi harus hingga tingkat mampu “desain dan produksi mandiri”.
Untuk dapat memperkirakan postur Indonesia pada 2045, penulis membuat simulasi pengembangan tahun lalu. Dengan skenario pertumbuhan ekonomi 5,5- 7,0 persen untuk periode yang berbeda, pada 2045 PDB Indonesia mampu mencapai Rp 75.000 triliun. Nilai sebesar ini dapat dicapai bila industri dari 2019 hingga 2045 mampu tumbuh minimal 8,1 persen. Pada tahun target itu peran industri mencapai 32,5 persen, memenuhi peran ideal industri terhadap ekonomi bagi sebuah negara maju yang berdasar literatur minimal 30 persen.
Dengan asumsi pertumbuhan penduduk maksimal 1,18 persen per tahun, PDB per kapita pada 2045 akan mencapai 15,181, jumlah yang akan mengategorikan Indonesia negara maju dan berpenghasilan tinggi.
Prasyarat pembangunan
Agar Program Reindustrialisasi dan Pengembangan Industri Prioritas 4.0 sukses, prasyaratnya adalah dukungan total dari sektor-sektor terkait, dengan menghilangkan silo-silo kepentingan sektoral, dan harus fokus terhadap perbaikan serta pembangunan berbagai aspek pendukung industri.
Program hanya bisa berjalan bila tersedia memadai kawasan industri dengan infrastruktur penunjang investasi nyaman, khususnya insentif fiskal dan non fiskal yang bersaing dengan negara lain, yang harus mudah dan cepat memperolehnya.
Basis tenaga kerja profesional, faktor kunci tumbuhnya industri teknologi tinggi dengan latar belakang STEM (Science, Technology, Engineering dan Mathematics), tersedia baik jumlah, kualitas maupun keahliannya. Pusat-pusat pelatihan mampu menghasilkan tenaga kerja terampil di dunia digital, kontrol, dan mekanik presisi. Ditambah kerja sama R&D antara industri, akademisi serta institusi penelitian telah berjalan baik dan saling mengisi.
Menarik industri berteknologi tinggi adalah bersaing ketat dengan Singapura atau Malaysia, yang siap dengan kawasan-kawasan industri ultra-modernnya, dan agresif memberi insentif investasi yang kompetitif hingga biaya konstruksi, promosi, biaya bunga, bahkan insentif fiskal bila mendirikan kantor pusat bisnis, renovasi, ekspansi/modernisasi, R&D, hingga untuk akuisisi dan merger.
Logis kalau industri mikro-elektronika dunia ada di Singapura. Sembilan dari 15 perusahaan dunia terbaik fabless semiconductor, empat belas silicon integrated circuit (IC) wafer fabrication plants, termasuk tiga terbaik dunia wafer foundries, dan hard disc media manufaktur, berinvestasi di sana.
Di Indonesia, begitu hematnya terhadap insentif, sehingga meskipun tax holiday sudah digulirkan sejak delapan tahun yang lalu, baru 17 perusahaan memperolehnya, atau dua perusahaan per tahun. Padahal iklim berusaha Indonesia menurut Bank Dunia kondisinya kedua terendah peringkatnya di kawasan ASEAN.
Keinginan menjadi negara maju berpenghasilan tinggi hanya bisa dicapai bila memiliki industri manufaktur yang kuat sebelum industri jasa tampil. Untuk itu perlu langkah terobosan komprehensif, konsisten dan holistik untuk meningkatkan kinerja dan memperbaiki struktur yang saat ini 65 persen berteknologi rendah.
Program reindustrialisasi dan percepatan untuk menarik target investor bereputasi tinggi yang bersedia berbagi teknologi di industri teknologi tinggi adalah jawabannya. Tanpa dukungan sektor manufaktur, apalagi dengan tantangan yang lebih komplek kedepan, diragukan ekonomi Indonesia bisa tumbuh di atas rata-ratanya saat ini, dan lebih diragukan bahwa Indonesia dapat mencapai cita-citanya untuk menjadi sebuah negara berpenghasilan tinggi di dunia sekalipun pada tahun 2045.
(Agus Tjahajana Wirakusumah ; Mantan Sekjend Kementerian Perindustrian, Advisor Mineral and Metal Industry Institute PT Inalum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar