Rabu 17 Juli 2019, 10:26 WIB
Residu Politik Kebencian
Di akhir pekan yang tenang, ketika sebagian besar masyarakat menikmati istirahat, sebuah momen politik besar terjadi. Peristiwa yang dinanti-nantikan publik selama lebih kurang dua bulan ini pun akhirnya terlaksana. Presiden terpilih Joko Widodo dan Prabowo Subianto bertemu, berjabat tangan, menaiki kereta MRT bersama, menemui wartawan, dan makan siang dengan penuh keakraban.
Banyak orang bilang dunia politik adalah dunia penuh simbol. Hal itu pula yang tampak dalam pertemuan Jokowi dan Prabowo. Sama-sama mengenakan baju putih, naik kereta MRT, lalu makan di restoran dengan hiasan dinding tokoh-tokoh pewayangan lengkap dengan gunungannya. Dalam tafsir yang sederhana, kedua tokoh politik nasional itu barangkali tengah mengirim pesan pada khalayak.
Baju putih bisa dimaknai sebagai sebuah sikap ikhlas, bahwa keduanya telah saling memaafkan atas semua persoalan yang terjadi selama perhelatan Pemililah Presiden (Pilpres) 2019. Menaiki MRT bersama bisa dimaknai bahwa keduanya kini berada dalam satu gerbong politik yang sama. Sedangkan hiasan dinding tokoh pewayangan yang terpacak tepat di belakang keduanya saat bersantap siang seolah mengirimkan pernyataan bahwa mereka berdua sejatinya hanyalah wayang-wayang dalam dunia politik yang berusaha melayani tuannya, yakni rakyat Indonesia.
Pertemuan Jokowi-Prabowo boleh dikatakan sebagai momentum berakhirnya perseteruan Pilpres di level elite. Meski publik tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi di panggung belakang, namun pemandangan di panggung depan cukup membuat sebagian publik yakin bahwa mereka berdua, terutama Prabowo telah move on dari segala ihwal urusan Pilpres 2019.
Ironisnya, ketika sebagian publik mengalami semacam euforia atas pertemuan Jokowi dan Prabowo yang disiarkan secara langsung oleh sejumlah kanal stasiun TV, sebagian publik lainnya justru mengecam pertemuan tersebut. Tagar "kecewa" dan "pengkhianat" pun segera menjadi trending topic di media sosial Twitter. Para pendukung fanatik Prabowo mengekspresikan kekecewaannya melihat sang junjungan bersanding mesra dengan Jokowi. Sebagian pendukung Prabowo bahkan menyebutnya sebagai pengkhianat lantaran bersedia bertemu dengan Jokowi.
Ekspresi para pendukung fanatik Prabowo di media sosial yang cenderung vulgar ini menjadi semacam bukti bahwa di level akar rumput, rekonsiliasi adalah jalan panjang, berliku dan banyak sekali hambatan. Di level elite, terminologi rekonsiliasi tentu bisa dimaknai bermacam-macam, tidak hanya sekadar kembali rukun, saling memaafkan dan tidak menyimpan dendam. Di level elite, rekonsiliasi dapat dilakukan dengan saling tukar konsesi kepentingan, entah itu kepentingan politik, ekonomi atau malah hukum. Mereka, para elite, akan dengan mudah melakukan rekonsiliasi di muka publik sembari melakukan kesepakatan di bawah meja yang mustahil dijangkau khalayak.
Tanpa mengecilkan arti penting pertemuan Jokowi dan Prabowo, Sabtu lalu, agaknya harus diakui bahwa pertemuan itu tidak berarti banyak pada kondisi yang terjadi di level akar rumput. Seruan Prabowo agar masyarakat Indonesia, terlebih para pendukungnya untuk melupakan perbedaan politik pada Pilpres dan kembali bersatu tampaknya tidak digubris oleh para pendukungnya (atau mantan pendukungnya?).
Ini tentu pukulan telak bagi Prabowo. Seorang purnawiranan Jenderal TNI, mantan Komandan Kopassus, ketua umum partai Gerindra, ternyata gagal menjinakkan kemarahan para pendukung dan simpatisannya.
Terlepas dari itu semua, hal ini idealnya menjadi semacam momentum bagi Prabowo untuk kembali belajar dan menyadari bahwa corak politik yang dia dan kelompoknya mainkan justru mengancam demokrasi yang susah payah dibangun selama dua dasawarsa terakhir.
Politik kebencian dan eksploitasi sentimen identitas yang dimainkan oleh Prabowo bersama para eksponen pendukungnya tidak hanya gagal mengantarkan ia ke tampuk kekuasaan, namun juga menyisakan residu persoalan yang sampai sekarang sulit dicarikan solusinya.
Narasi politik kebencian dan eksploitasi sentimen identitas yang dibangun dengan semburan berita palsu adalah pendidikan politik terburuk. Bagi Prabowo dan Gerindra, model politik yang demikian itu gagal menciptakan simpatisan yang loyal, alih-alih pendukung fanatik yang kerap kali menunjukkan dukungannya dengan membabi-buta.
Miris sekali menyaksikan akun media sosial partai Gerindra dirisak dengan kata-kata kasar oleh akun-akun yang sebelumnya dikenal paling getol mendukung Prabowo. Barangkali inilah momentum yang paling tepat bagi Prabowo dan Gerindra untuk melakukan konsolidasi internal. Inilah saatnya Prabowo dan Gerindra mengidentifikasi mana pendukung loyal dan mana simpatisan fanatik yang berlaku layaknya penumpang gelap.
Ini penting bagi arah politik Prabowo dan Gerindra ke depan. Partai besar membutuhkan basis massa yang loyal, pendukung berkarakter kritis-rasional, bukan anasir penumpang gelap yang cuma mengandalkan fanatisme belaka.
Ke depan, arah karier politik Prabowo dan Gerindra akan ditentukan oleh sejauh mana keduanya mampu memposisikan diri di tengah demokrasi Indonesia yang dinamis dan cair. Politik kebencian dan eksploitasi sentimen identitas terbukti gagal menarik simpati sebagian besar pemilih. Lima tahun tersisa sebelum kontestasi politik 2024 idealnya dimanfaatkan betul oleh Prabowo dan Gerindra untuk menegaskan posisi politiknya dan membangun basis massa pemilih yang loyal (bukan fanatik).
Fanatisme sudah terbukti buruk, tidak hanya bagi Prabowo dan Gerindra, namun juga bagi demokrasi Indonesia.
Siti Nurul Hidayah ; Peneliti pada Center for the Study of Society and Transformation
Banyak orang bilang dunia politik adalah dunia penuh simbol. Hal itu pula yang tampak dalam pertemuan Jokowi dan Prabowo. Sama-sama mengenakan baju putih, naik kereta MRT, lalu makan di restoran dengan hiasan dinding tokoh-tokoh pewayangan lengkap dengan gunungannya. Dalam tafsir yang sederhana, kedua tokoh politik nasional itu barangkali tengah mengirim pesan pada khalayak.
Baju putih bisa dimaknai sebagai sebuah sikap ikhlas, bahwa keduanya telah saling memaafkan atas semua persoalan yang terjadi selama perhelatan Pemililah Presiden (Pilpres) 2019. Menaiki MRT bersama bisa dimaknai bahwa keduanya kini berada dalam satu gerbong politik yang sama. Sedangkan hiasan dinding tokoh pewayangan yang terpacak tepat di belakang keduanya saat bersantap siang seolah mengirimkan pernyataan bahwa mereka berdua sejatinya hanyalah wayang-wayang dalam dunia politik yang berusaha melayani tuannya, yakni rakyat Indonesia.
Pertemuan Jokowi-Prabowo boleh dikatakan sebagai momentum berakhirnya perseteruan Pilpres di level elite. Meski publik tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi di panggung belakang, namun pemandangan di panggung depan cukup membuat sebagian publik yakin bahwa mereka berdua, terutama Prabowo telah move on dari segala ihwal urusan Pilpres 2019.
Ironisnya, ketika sebagian publik mengalami semacam euforia atas pertemuan Jokowi dan Prabowo yang disiarkan secara langsung oleh sejumlah kanal stasiun TV, sebagian publik lainnya justru mengecam pertemuan tersebut. Tagar "kecewa" dan "pengkhianat" pun segera menjadi trending topic di media sosial Twitter. Para pendukung fanatik Prabowo mengekspresikan kekecewaannya melihat sang junjungan bersanding mesra dengan Jokowi. Sebagian pendukung Prabowo bahkan menyebutnya sebagai pengkhianat lantaran bersedia bertemu dengan Jokowi.
Ekspresi para pendukung fanatik Prabowo di media sosial yang cenderung vulgar ini menjadi semacam bukti bahwa di level akar rumput, rekonsiliasi adalah jalan panjang, berliku dan banyak sekali hambatan. Di level elite, terminologi rekonsiliasi tentu bisa dimaknai bermacam-macam, tidak hanya sekadar kembali rukun, saling memaafkan dan tidak menyimpan dendam. Di level elite, rekonsiliasi dapat dilakukan dengan saling tukar konsesi kepentingan, entah itu kepentingan politik, ekonomi atau malah hukum. Mereka, para elite, akan dengan mudah melakukan rekonsiliasi di muka publik sembari melakukan kesepakatan di bawah meja yang mustahil dijangkau khalayak.
Tanpa mengecilkan arti penting pertemuan Jokowi dan Prabowo, Sabtu lalu, agaknya harus diakui bahwa pertemuan itu tidak berarti banyak pada kondisi yang terjadi di level akar rumput. Seruan Prabowo agar masyarakat Indonesia, terlebih para pendukungnya untuk melupakan perbedaan politik pada Pilpres dan kembali bersatu tampaknya tidak digubris oleh para pendukungnya (atau mantan pendukungnya?).
Ini tentu pukulan telak bagi Prabowo. Seorang purnawiranan Jenderal TNI, mantan Komandan Kopassus, ketua umum partai Gerindra, ternyata gagal menjinakkan kemarahan para pendukung dan simpatisannya.
Terlepas dari itu semua, hal ini idealnya menjadi semacam momentum bagi Prabowo untuk kembali belajar dan menyadari bahwa corak politik yang dia dan kelompoknya mainkan justru mengancam demokrasi yang susah payah dibangun selama dua dasawarsa terakhir.
Politik kebencian dan eksploitasi sentimen identitas yang dimainkan oleh Prabowo bersama para eksponen pendukungnya tidak hanya gagal mengantarkan ia ke tampuk kekuasaan, namun juga menyisakan residu persoalan yang sampai sekarang sulit dicarikan solusinya.
Narasi politik kebencian dan eksploitasi sentimen identitas yang dibangun dengan semburan berita palsu adalah pendidikan politik terburuk. Bagi Prabowo dan Gerindra, model politik yang demikian itu gagal menciptakan simpatisan yang loyal, alih-alih pendukung fanatik yang kerap kali menunjukkan dukungannya dengan membabi-buta.
Miris sekali menyaksikan akun media sosial partai Gerindra dirisak dengan kata-kata kasar oleh akun-akun yang sebelumnya dikenal paling getol mendukung Prabowo. Barangkali inilah momentum yang paling tepat bagi Prabowo dan Gerindra untuk melakukan konsolidasi internal. Inilah saatnya Prabowo dan Gerindra mengidentifikasi mana pendukung loyal dan mana simpatisan fanatik yang berlaku layaknya penumpang gelap.
Ini penting bagi arah politik Prabowo dan Gerindra ke depan. Partai besar membutuhkan basis massa yang loyal, pendukung berkarakter kritis-rasional, bukan anasir penumpang gelap yang cuma mengandalkan fanatisme belaka.
Ke depan, arah karier politik Prabowo dan Gerindra akan ditentukan oleh sejauh mana keduanya mampu memposisikan diri di tengah demokrasi Indonesia yang dinamis dan cair. Politik kebencian dan eksploitasi sentimen identitas terbukti gagal menarik simpati sebagian besar pemilih. Lima tahun tersisa sebelum kontestasi politik 2024 idealnya dimanfaatkan betul oleh Prabowo dan Gerindra untuk menegaskan posisi politiknya dan membangun basis massa pemilih yang loyal (bukan fanatik).
Fanatisme sudah terbukti buruk, tidak hanya bagi Prabowo dan Gerindra, namun juga bagi demokrasi Indonesia.
Siti Nurul Hidayah ; Peneliti pada Center for the Study of Society and Transformation
Tidak ada komentar:
Posting Komentar