Mayoritas diam (“silent majority”) (mayoritas diam) di Indonesia kini sudah bergeser. Umat Islam berpandangan keislaman moderat—dari sisi jumlah adalah mayoritas— yang dulu lebih banyak ‘diam’, kini mulai ‘keluar’ dan lebih divergen menyampaikan kontra narasi atas wacana keislaman eksklusif. 

Eksklusif artinya tertutup dan ‘merasa benar sendiri’. Pada praktiknya, belakangan ini, keislaman eksklusif diinstrumentasi sebagai ‘alat’ politik identitas, politisasi agama.
Gejala kebangkitan
Sejak 2017, terjadi fenomena yang menandai geliat kelompok mayoritas diam tersebut. Lebaran lalu, misalnya, saat salat Id 1440 Hijriah di Desa Gaden, Kecamatan Trucuk, Klaten, jemaah yang semula khidmat menyimak, bubar sebelum khotbah tuntas. Ini gara-gara khotbah bermuatan politik, provokasi, dan ujaran kebencian.
Tidak hanya membubarkan diri, beberapa orang yang menggunakan kendaraan bermotor terus menerus membunyikan klakson dan memainkan gas sepeda motor. Singkat kata, mereka protes atas ‘politisasi mimbar khotbah Id’.
Contoh peristiwa lain, juga saat salat Id 1440 Hijriah, kali ini di masjid Istiqamah, Bandung.  Disebut dalam akun Facebook Pura Krisnamurti, khatib salat Id menyampaikan orasi politik dengan tuduhan bahwa KPU tidak jujur, pemilu curang, dan pemerintah harus bertanggung jawab atas korban kerusuhan tanggal 22 Mei. Merespons tuduhan provokatif oleh sang khatib, banyak sekali jemaah yang langsung berdiri meninggalkan shaf jemaah, sebelum khotbah selesai.
Gejala kebangkitan kelompok Islam moderat makin nyata setelah Pilkada DKI Jakarta 2017 memanfaatkan masjid dan mimbar kegiatan keagamaan demi kepentingan elektoral. Kebangkitan serupa juga marak di kampus-kampus. Menurut penelitian terbaru Setara Institute di 10 perguruan tinggi negeri, mulai muncul inisiatif untuk merestorasi wacana keislaman rahmat, yang terbuka dan penyebar kasih untuk semua (rahmatan lil alamin).
Beberapa kampus area riset telah berinisiatif mencegah dan memitigasi radikalisme dan gerakan keislaman eksklusif. Prakarsa meng-counter narasi itu ditemukan antara lain di Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Indonesia.
Secara umum, dengan tidak bermaksud mengecilkan inisiatif-inisiatif lain, kampus-kampus tersebut telah me-reclaiming masjid dari kelompok eksklusif serta ‘membuka’ masjid untuk seluruh kelompok keislaman, inklusivisasi UKM Kerohanian Islam, heterogenisasi wacana keislaman multi-mazhab dan lintas organisasi keagamaan, serta revitalisasi program mentoring pendidikan agama Islam yang jadi simpul rekrutmen dan diseminasi wacana keislaman eksklusif.
Mereka mulai memasifkan pembinaan Pancasila dan narasi kebinekaan, menjamin pemenuhan hak-hak mahasiswa dari kelompok minoritas, pembangunan iklim kampus yang multikultural, dan seterusnya.
Memang kemudian muncul fight back atas inisiatif-inisiatif deradikalisasi ini dengan narasi playing victim: bahwa telah terjadi ‘pengkerdilan Islam’ di kampus-kampus tersebut. Padahal yang sesungguhnya adalah restorasi wacana dan gerakan keislaman yang semestinya menjadi rahmat bagi semua sesuai karakter ‘Bhinneka Tunggal Ika’ ala Indonesia.
Narasi teologis-politis
Berdasarkan hasil riset kualitatif Setara Institute di 10 perguruan tinggi, narasi teologis-politis kelompok-kelompok keislaman eksklusif dominan di kalangan mahasiswa. Ajarannya antara lain, pertama, mewajibkan umat Islam untuk menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat, sesuai Alquran dan Alhadits secara skripturalistik sementara pada praktiknya sesuai dengan interpretasi tokoh kelompok tertentu yang resisten terhadap tafsir kelompok keislaman lain.
Keselamatan umat diprasyaratkan melalui implementasi Islam secara total (kaffah), didoktrinkan secara eksklusif, formalis, dan resisten atas tafsir tokoh dan kelompok keislaman lain, serta tidak ramah pada liyan atau kelompok minoritas di luar Islam.
Kedua, ancaman masif dan sistemik terhadap Islam yang datang dari musuh-musuh Islam. Narasi yang direproduksi adalah perlunya umat Islam bersatu melawan penindasan terhadap Islam yang terus berkembang secara berkelanjutan oleh kaum kafir atau musuh-musuh Islam. Kejahatan global atas Palestina direproduksi secara konstan untuk menguatkan narasi ini.
Ketiga, narasi bahwa era sekarang merupakan era perang pemikiran (ghazwul fikr). Narasi yang diutamakan adalah bahwa Islam ditaklukkan oleh Barat karena penguasaan pemikiran dan kebudayaan. Dalam konteks itu, doktrinnya adalah mewaspadai tokoh-tokoh Islam di luar kelompok mereka.
Mereka tidak mengonsumsi dan mendiskusikan pemikiran-pemikiran dari kaum Islam pluralis dan pembaharu di Indonesia seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid (Cak Nur), dan Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii), kecuali dalam konteks indoktrinasi bahaya ancaman pemikiran liberal terhadap Islam. Dalam konteks yang sama, tulisan tokoh-tokoh lain dengan kepakaran agama sangat mumpuni seperti M Quraish Shihab, Mustofa Bisri (Gus Mus), dan M Zainul Majdi (Tuan Guru Bajang/TGB) tidak mendapat tempat dalam forum-forum tertutup kelompok mereka.
Divergensi kaum moderat
Kombinasi dari ketiga narasi tersebut mengidealkan terbangunnya sebuah komunitas solid yang tertutup, kewaspadaan tinggi, curiga, merasa terancam dan memusuhi eksistensi liyan, baik dalam identitas keagamaan lain maupun kelompok keislaman yang berbeda.
Narasi-narasi keislaman demikian sesungguhnya menentang narasi sekaligus mendestruksi aksiologi Islam sebagai rahmat bagi semesta raya, terutama yang diijtihadkan dalam perspektif kenusantaraan sejak zaman Wali Songo.
Secara internal, narasi-narasi teologis dan politis kelompok keislaman eksklusif tersebut sebenarnya problematik, terutama dalam perspektif keindonesiaan. Narasi keagamaan semacam itu membangun basis sosial baru untuk mempersoalkan tata politik profan.
Dalam konteks itu, dinamika politik elektoral dan kebijakan pemerintahan negara yang dinarasikan tidak islami kemudian diinstrumentasi sebagai impetus eksternal untuk konsolidasi organisasi dan jaringan mereka.
Jadi, divergensi mayoritas muslim moderat atau kaum muslim nasionalis  belakangan ini sejatinya merupakan kontra narasi sekaligus kontra gerakan keislaman eksklusif yang berkembang secara sistematis.
Dalam dua puluh tahun terakhir, kelompok-kelompok eksklusif tersebut mendiseminasikan narasi dan gerakan keislaman mereka melalui lembaga-lembaga pendidikan, kementerian dan lembaga negara, BUMN, dan institusi sosial strategis. Mereka juga menyusup sebagai free rider dalam politik elektoral.
Singkatnya, mayoritas muslim Indonesia sedang bertransformasi.
Mereka yang selama ini lebih memilih diam dan mengambil jalan sunyi mulai berani keluar untuk merestorasi ‘wajah asli’ Islam, sesuai QS Al-Anbiya: 107, yang secara aksiologis merupakan rahmat bagi seluruh semesta raya. ***