Menggagas Perbaikan Sistem Pemilu
Ada banyak alasan untuk memuji Indonesia atas pemilu yang sukses diselenggarakan April lalu. Ini adalah pemilu dalam satu hari terbesar di dunia. Meski ada beberapa gangguan dan perselisihan, pelaksanaan pemilu berjalan relatif baik. Pemilu ini menunjukkan bahwa dukungan untuk demokrasi kuat di Indonesia.
Saat di banyak tempat demokrasi mengalami kemunduruan, ini sesuatu yang pantas dirayakan. Namun pemilu ini juga menghasilkan catatan tentang pentingnya melakukan perbaikan sistem pemilu. Salah satu alasannya, meninggalnya lebih dari 500 penyelenggara pemilu di level paling bawah.
Sebagian besar akibat kelelahan karena kompleksnya penghitungan perolehan suara lima pemilu secara serentak: untuk presiden, tiga parlemen dan DPD. Ini memicu diskusi tentang apakah semua pemilihan ini harus diadakan secara bersamaan, dan apakah pemilihan elektronik harus dilaksanakan.
Ada sejarah panjang perubahan sistem pemilihan di Indonesia. Beberapa yang paling penting di antaranya: adopsi pemilihan langsung untuk presiden (2001) dan untuk bupati dan gubernur (2004), pergeseran dari daftar terbuka ke daftar tertutup sebagai cara mengalokasikan kursi parlemen pada 2009, peningkatan ambang batas secara bertahap bagi partai untuk mendapatkan kursi di parlemen hingga, saat ini, 4 persen.
Perubahan-perubahan itu tak selalu merupakan hal buruk. Masuk akal untuk belajar dari pengalaman, terutama untuk demokrasi baru seperti Indonesia.
Namun upaya perubahan ini meninggalkan masalah penting yang sampai saat ini tak masuk dalam agenda. Sejauh ini perbaikan yang berlangsung belum berfokus pada pengurangan biaya kampanye pemilu.
Mereka fokus pada tujuan lain seperti memberikan lebih banyak kekuatan pada pemilih dan membatasi jumlah partai di parlemen. Akibatnya perubahan ini benar-benar meningkatkan biaya kampanye pemilu.
Selama enam tahun terakhir saya mempelajari pemilu Indonesia untuk buku yang saya publikasikan bersama Edward Aspinall, Democracy for Sale: Pemilu, Klientelisme dan Negara di Indonesia, kami menemukan bahwa biaya kampanye sekarang ini telah mencapai tingkat yang secara serius memengaruhi kualitas pemerintah dan demokrasi.
Dalam pandangan saya, diskusi tentang pembenahan sistem pemilu di Indonesia perlu diperluas. Reformasi pemilu juga harus berupaya mengurangi peran uang dalam demokrasi Indonesia.
Mengapa uang masalah?
Masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pemilu berbiaya tinggi di Indonesia menjadi semakin jelas. Saya bertemu banyak politisi yang mengeluh tentang tantangan kontradiktif yang mereka hadapi: “Orang-orang mengatakan kepada kami, Anda tidak bisa korup, Anda harus bersih. Tetapi di sisi lain, mereka selalu meminta kami uang, tanpa memikirkan bagaimana pemimpin akan mendapatkan uang. Dan jika pemimpin mendapat uang dari praktik korupsi, mereka akan marah”.
Politisi dituntut untuk mau dan mampu membagikan uang dan hadiah. Praktik ‘pembelian suara’ atau sering disebut “serangan fajar” ini kian intensif dan menyebar luas, khususnya dalam pemilihan anggota parlemen dan bupati.
Dalam bukunya tentang praktik jual beli suara di Indonesia baru-baru ini, Burhan Muhtadi lewat jajak pendapat menemukan bahwa sekitar 33 persen pemilih Indonesia mengalami pembelian suara pada 2014. Angka yang menempatkan Indonesia di antara yang tertinggi di dunia.
Kita bisa bayangkan betapa banyaknya uang yang beredar pada pemilu serentak lalu, saat sebagian besar dari 245.000 kandidat membagikan uang kepada 33 persen dari 192 juta pemilih di Indonesia!
Membeli suara hanyalah salah satu dari banyak pengeluaran kampanye. Politisi umumnya juga harus membayar mahar politik yang lumayan besar. Kandidat membayar partai untuk mendapatkan dukungan mereka. Seorang kandidat juga harus mengeluarkan uang untuk membangun tim sukses, mengatur acara kampanye dan membayar saksi di tempat pemungutan suara.
Kami menyurvei lebih dari 500 pakar politik dari seluruh Indonesia untuk memberikan perkiraan pengeluaran kampanye. Dengan variasi regional yang besar, mereka memperkirakan rata-rata seorang bupati yang menang menghabiskan sekitar Rp 28 miliar, dan seorang gubernur terpilih sekitar Rp 166 miliar.
Karena telah mengeluarkan begitu banyak uang, para kandidat yang terpilih tentu akan mencoba segala cara untuk mengembalikan modalnya. Dengan kata lain, tingginya biaya kampanye pemilu memicu korupsi. Sangat sulit bagi politisi untuk tidak mencuri uang negara.
Sebagai konsekuensinya, pencurian uang negara ini membatasi anggaran yang tersedia untuk meningkatkan layanan publik, kesejahteraan, infrastruktur dan lain-lain. Pemilu berbiaya tinggi tidak hanya memastikan bahwa banyak politisi berakhir di penjara, mereka juga merusak kualitas kehidupan orang Indonesia biasa.
Efek negatif kedua dari tingginya biaya pemilu adalah bahwa hal itu mengarah pada ketidaksetaraan politik. Jika Anda tak memiliki banyak uang atau pendukung kaya, Anda memiliki sedikit peluang untuk menang pemilihan. Inilah sebabnya mengapa demokrasi Indonesia sering dilabeli sebagai oligarkis: tingginya biaya pemilu memungkinkan elite ekonomi untuk mendominasi politik.
Alasan ketiga untuk khawatir tentang biaya kampanye adalah karena hal itu memicu kekecewaan terhadap demokrasi. Politik berisiko dipandang sebagai perselingkuhan bagi orang-orang rakus dan korup. Lingkaran setan saat ini sedang bekerja: ketika orang-orang menganggap politisi mereka korup, mereka menuntut lebih banyak pembelian suara selama pemilihan, yang pada gilirannya memaksa politisi untuk menjadi lebih korup.
Kekecewaan pada demokrasi ini bisa memicu kemunculan pemimpin otoriter seperti Payuth Chan-Ocha atau Duterte, yang membajak demokrasi dengan dalih demi meminimalkan korupsi.
Apa yang bisa dilakukan?
Situasi ini bisa diubah. Kampanye pemilu tak harus mahal. Memang, pembelian suara yang berakar pada kondisi budaya dan ekonomi ini tak dapat diubah dengan mudah atau cepat. Tetapi pemilu berbiaya tinggi saat ini juga berakar pada sistem pemilu Indonesia.
Konsensus berkembang bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2009 untuk menggunakan sistem pemilihan proporsional daftar terbuka untuk pemilihan parlemen sangat meningkatkan pembelian suara.
Di bawah sistem ini, kursi parlemen tak dialokasikan berdasarkan posisi kandidat pada daftar kandidat partai (seperti dalam ‘sistem daftar tertutup’) tetapi murni berdasarkan jumlah suara yang diterima kandidat.
Meskipun bermaksud baik, efek dari reformasi ini adalah bahwa para kandidat dari partai yang sama sekarang bersaing di antara mereka sendiri. Calon dari partai yang sama berusaha saling mengalahkan.
Masalah kedua dengan sistem pemilihan Indonesia adalah bahwa hal itu melemahkan parpol secara signifikan. Sifat sistem pemilu yang berpusat pada kandidat memaksa kandidat menjalankan kampanye pribadi daripada terlibat dalam upaya kolaboratif yang dipimpin partai — sesuatu yang dapat mengurangi biaya kampanye.
Selain itu, Bawaslu relatif tak berdaya untuk menangkap dan menuntut praktik pembelian suara. Dengan mandat hukum yang lebih kuat, Bawaslu dapat menjadi lebih efektif mencegah politisi membagikan uang.
Ini hanya tiga contoh bagaimana perubahan dalam sistem pemilu dapat mengurangi biaya kampanye. Dengan mengatasi masalah-masalah ini, reformasi pemilu dapat mengurangi peran uang dalam pemilu ke proporsi yang lebih sehat. Saya tak mengatakan bahwa reformasi seperti itu akan mudah.
Masalah-masalah ini rumit, dan mengubah sistem pemilihan bisa memiliki berbagai konsekuensi yang tak diinginkan. Ini butuh proses yang hati-hati dan bijaksana, sebuah proses yang harus membangun pemahaman rinci tentang struktur insentif yang dihadapi politisi saat ini.
Namun, kendatipun sulit, semua ikhtiar untuk mengurangi praktik politik uang dalam pemilu layak dicoba. Mewujudkan pemilihan yang berbiaya lebih rendah akan menjadi kemenangan yang sangat besar: kampanye pemilihan yang lebih murah dapat menyebabkan tingkat korupsi yang lebih rendah, anggaran yang lebih tinggi untuk meningkatkan layanan publik dan demokrasi yang lebih sehat dengan peluang yang sama bagi kandidat kaya maupun miskin. Itu layak menjadi prioritas utama. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar