Jeratan Kemiskinan Anak
Penurunan angka kemiskinan pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla cukup signifikan. Berdasarkan publikasi BPS, angka kemiskinan turun dari 10,96 persen pada September 2014 menjadi 9,66 persen pada September 2018.
Penurunan angka kemiskinan akan semakin baik dampaknya jika ditujukan pada anak. Untuk itu, perlu data tentang kemiskinan anak. Unicef (2014) menyebutkan, ketidaktersediaan data kemiskinan anak membuat sebagian anak miskin tidak terdata dan berpotensi tidak tercakup dalam program pembangunan kesejahteraan anak.
Tanpa program, mereka akan terus terjerat kemiskinan dan bahkan dapat turun pada generasi berikutnya (the intergenerational transmission of poverty).
Maka, dalam periode pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin mendatang amat diharapkan program pengentasan orang miskin yang tidak hanya bertumpu pada penurunan kemiskinan penduduk, tetapi juga program khusus untuk mengentaskan anak dari kemiskinan.
Kebutuhan berbeda
Pemilahan data kemiskinan anak dan penduduk perlu karena kebutuhan dasar antara orang dewasa dan anak berbeda. Kemiskinan pada orang dewasa (adult poverty) umumnya akibat tidak terpenuhinya kebutuhan pangan, pakaian, dan tempat tinggal. Sementara kemiskinan pada anak (child poverty), selain ketiga aspek di atas, juga mencakup aspek tidak terpenuhinya kebutuhan pendidikan dan kesehatan.
Gordon et al (2003) menyebutkan bahwa kemiskinan anak terjadi karena tidak terpenuhinya minimal satu dari delapan dimensi kesejahteraan anak: pangan, air bersih, sanitasi, kesehatan, perumahan, pendidikan, serta akses terhadap informasi dan layanan publik.
Namun, kontribusi penurunan angka kemiskinan umumnya hanya berdampak sepertiga terhadap penurunan angka kemiskinan anak (Heidel, 2004).
Di sisi lain, anak rentan jatuh miskin ketika daya beli masyarakat menurun, terutama akibat krisis ekonomi, program tidak populis, dan bencana. Secara faktual, ketika daya beli menurun, sebagian kebutuhan dasar anak dikorbankan.
Saat krisis ekonomi 1997, misalnya, pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan turun dari 1,71 persen sebelum krisis (1997), menjadi 1,63 persen setelah krisis (1998). Pengeluaran untuk kesehatan juga turun dari 2,53 persen (1997) menjadi 2,16 persen (1998) (Susenas, 1998).
Selain mengorbankan kebutuhan anak, sebagian anak juga terpaksa bekerja. Hasil Susenas (1998) menunjukkan, seperlima dari penduduk miskin anaknya bekerja. Akibatnya, pendidikan anak terganggu bahkan putus sekolah. Tingkat partisipasi sekolah anak usia 13-15 tahun turun dari 77,5 persen (1997) menjadi 75,8 persen (1998).
Ketidaklengkapan data kemiskinan anak pada gilirannya memengaruhi besaran dana untuk program pembangunan kesejahteraan anak. Padahal, dana program kesejahteraan anak perlu dipertahankan dalam kondisi apa pun agar tumbuh kembang anak tidak terdistorsi.
Proporsi kecil
Sayang, proporsi dana masih tergolong kecil, terutama untuk kesehatan dan pendidikan. UNDP (Statistical Update, 2018) menyebutkan bahwa anggaran kesehatan di Tanah Air 3,3 persen, di bawah rata-rata global 9,9 persen produk domestik bruto (PDB).
Bahkan, anggaran kesehatan di Tanah Air lebih rendah dibandingkan dengan kawasan ASEAN: Vietnam (5,7 persen PDB), Filipina (4,8 persen), Singapura (4,3 persen), Malaysia (4,0 persen), dan Thailand (3,8 persen).
Alokasi dana pendidikan juga masih rendah terhadap PDB, 3,6 persen. Anggaran itu masih di bawah anggaran pendidikan global 4,8 persen dan kawasan ASEAN: Vietnam (5,7 persen), Malaysia (4,8), dan Thailand (4,1).
Karena itu, pemerintahan Jokowi-Amin diharapkan dapat menyesuaikan alokasi dana untuk peningkatan kesejahteraan anak. Pemerintah jangan sampai lengah karena kemiskinan dapat diwariskan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar