TATA KELOLA GURU
Sentralisasi Tata Kelola Guru
Sejak desentralisasi digulirkan tahun 2001, kita melihat banyak inisiatif daerah yang bermunculan dalam mengelola pendidikan.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang diubah dengan UU No 23/2014, tujuan desentralisasi adalah meningkatkan otonomi daerah dan otonomi sekolah. Otonomi daerah adalah kemampuan untuk mengatur, mengelola, dan memfasilitasi pendidikan di daerah, sedangkan otonomi sekolah adalah kemampuan mengelola dan melaksanakan pembelajaran yang bermutu.
Ketergantungan daerah
Dari pengalaman 18 tahun, mengurus guru secara otonom tak semudah yang dibayangkan, bahkan ditengarai kian rumit karena kapasitas daerah masih bervariasi. Ketergantungan pemda terhadap pusat dalam tata kelola guru masih cukup dominan, khususnya dalam penanganan teknis permasalahan profesional guru.
Kompleksitas tata kelola guru dihadapkan pada problem lama yang belum terpecahkan, ditambah problem baru yang muncul akibat kebijakan baru. Berbagai masalah lama tak kunjung selesai, seperti sekolah kekurangan guru, timpangnya sebaran guru antarsekolah, perpindahan guru antarwilayah, bahkan soal data jumlah guru yang berbeda-beda antar-institusi sering ditemui.
Tata kelola guru semakin sulit karena timbul masalah baru, seperti mutu profesi, sertifikasi, pelatihan, bahkan pengurusan gaji dan tunjangan profesi guru, sebagai konsekuensi logis dari kebijakan baru, juga sering bermasalah. Selain karena kapasitas daerah yang masih belum memungkinkan, juga karena Indonesia menganut desentralisasi belanja yang belum berhasil diimbangi desentralisasi fiskalnya.
Statistik rasio siswa/ guru (RSG) lingkup nasional sangat kecil (1 : 15), mendekati rasio di negara-negara OECD. Namun, RSG di lapangan tidak seindah angka statistiknya karena RSG menghitung guru honorer yang berjumlah besar di dalamnya, yaitu 34 persen di sekolah negeri dan 16 persen di swasta. Padahal, jika dihitung hanya guru tetap, RSG-nya 1 : 22, relatif lebih besar dan masih memadai untuk negara berkembang, seperti Indonesia. Bandingkan dengan China, 1 : 51, dan Korsel (US Education Statistics, 2016)
1 : 31.
1 : 31.
Jadi, jumlah guru tetap nasional sebenarnya tak terlalu buruk. Yang jadi masalah adalah sebaran guru yang timpang antarprovinsi, antarkabupaten, dan antarsekolah. Sebaran guru di sekolah perkotaan umumnya jauh lebih baik daripada sebaran guru di perdesaan. Banyak sekolah yang tak hanya kekurangan, tetapi juga mengalami kekosongan guru.
Sebaran guru yang timpang boleh jadi hanya satu dari sekian banyak masalah yang mungkin daerah dapat menanganinya secara lebih baik, seperti masalah rendahnya angka partisipasi murni/angka partisipasi kasar (APM/APK), putus sekolah, skor UN rendah, rusaknya gedung dan sarana belajar, serta masih banyak lagi.
Pemda boleh jadi jauh lebih paham mengingat lingkup wilayahnya yang lebih kecil. Mereka dapat menyisir dan mencari tahu sebab musabab setiap masalah yang muncul di daerahnya. Hanya dengan kemampuan mengolah data dan membaca angka statistik, aparat pemda dapat lebih peka terhadap apa pun masalah pendidikan yang terjadi di wilayah kewenangannya. Namun, sebagian besar daerah belum punya kepekaan itu.
Setiap daerah memang punya statistik pendidikan, tetapi baru sebatas buku yang diterbitkan. Yang belum banyak dilakukan adalah mengolah dan membaca data statistik untuk membuat kebijakan dan program pendidikan guna menangani masalah di daerahnya sendiri.
Desentralisasi pendidikan cenderung ambivalen, di satu pihak harus memecahkan masalah di wilayahnya, tapi di lain pihak daerah masih bergantung pada kebijakan pusat. Lain daerah lain pula masalahnya, tetapi inisiatif kebijakan dan program daerah belum banyak mewarnai. Pemda terpaksa masih harus ”menjiplak” kebijakan dan program pusat secara yang sentralistis itu.
Adalah kemustahilan jika permasalahan daerah yang sangat bervariasi itu ditangani secara seragam oleh satu kebijakan pusat. Jadi, tak heran jika masih banyak masalah pendidikan di daerah pendidikan yang akut dan belum dapat ditangani hingga sekarang.
Banyak masalah terkait guru yang dapat ditangani oleh daerah—seperti sebaran guru di wilayahnya, penilaian kerja sehari-hari, dan pelatihan guru di sekolah. Sekolah masih tetap milik daerah dan dibina oleh daerah hingga memenuhi standar mutu nasional, bahkan internasional.
Daerah tetap berperan dalam tata kelola guru, terutama dalam analisis kebutuhan guru yang berbasis data, mengusulkan guru baru secara akurat, dan penempatan guru secara merata di wilayahnya. Pemda masih dapat menggunakan taringnya dalam mengatur gaji pokok yang bersumber dari transfer pusat atau maslahat tambahan guru yang bersumber dari APBD, yang dapat gunakan sebagai insentif untuk menaikkan kinerja guru di wilayahnya.
Transfer dana alokasi khusus nonfisik ke daerah justru banyak mudarat ketimbang maslahatnya ketika kapasitas daerah masih bervariasi. Padahal, mereka diberikan kepercayaan untuk mengelola dana transfer daerah yang sangat besar jumlahnya.
Dana yang disalurkan lewat birokrasi di daerah justru banyak berakibat fatal karena rawan penyimpangan dan memancing para pemburu rente akibat maraknya politisasi sekolah dan guru. Keterlibatan kepala sekolah, pengawas, dan guru dalam pilkada cenderung dianggap lumrah karena menguntungkan mereka sebagai sarana promosi dan kelangsungan jabatan.
Sesungguhnya politisasi ini sangat merugikan dalam pengembangan mutu guru secara berkelanjutan. Masalahnya, peran daerah atau sekolah dalam menangani berbagai masalah guru yang bersifat teknis edukatif kurang menarik dan tersisihkan.
Kini, mutu kompetensi dan kinerja guru masih sangat mendasar dan hampir sama di setiap daerah yang, untuk sementara, masih harus ditangani secara terpusat. Namun, tanpa disadari, posisi tawar pusat berkurang dan seolah tak berdaya menangani masalah guru yang mendasar itu.
Pusat jadi kurang bergigi ketika berupaya menaikkan kompetensi dan kinerja guru yang ditengarai banyak tantangannya. Tunjangan profesi guru (TPG) atau biaya operasional sekolah (BOS) yang telanjur diserahkan kepada daerah tak dapat digunakan pusat sebagai instrumen peningkatan kapasitas guru.
Contoh, pusat tidak dapat ”memaksa” daerah untuk pelatihan guru yang ditengarai sangat minim dan tidak menjadi prioritas, padahal pusat tidak lagi memiliki program itu. Dana transfer dari pusat (TPG, BOS, DAK fisik) tidak berfungsi sebagai senjata ampuh untuk memacu kinerja profesi guru.
Daerah hanya menyalurkan dana transfer itu, setidaknya menurut juklak dan juknis yang lebih banyak mengatur prosedur administratif pencairan dan peng-”spj” (surat perintah jalan)-an anggaran ketimbang mengatur aspek edukatifnya.
Masalah tersebut juga menjadi bumerang dalam mewujudkan otonomi sekolah, padahal itu penting dalam konteks desentralisasi. Sekolah harus menjadi satuan pendidikan profesional yang dipimpin kepala sekolah sebagai academic leader. Sebagai profesional, kepala sekolah adalah pemimpin dalam manajemen berbasis sekolah (MBS), tugasnya memfasilitasi guru-guru agar tugas harian mereka lancar dan tidak terkendala.
Dalam konteks MBS, kepala sekolah jauh lebih paham akan kondisi sekolahnya sehingga dinas perlu memberikan kebebasan yang luas untuk mengatur sekolahnya. Fungsi dinas seharusnya lebih banyak sebagai fasilitator dan motivator ketimbang sebagai ”atasan” agar sekolah-sekolah semakin mandiri, profesional, dan bermutu.
Penyelenggaraan pendidikan sehari-hari dilakukan guru yang profesional. Sebagai profesional, guru harus memiliki wawasan luas, inovatif, dan pembelajar, serta menjadi fasilitator dan mentor bagi siswa-siswa untuk belajar optimal dan mengasyikkan.
Dalam melaksanakan tugas profesionalnya, guru harus memiliki kebebasan berinovasi melaksanakan fungsi fasilitator dan motivator (performance applauder) bagi siswa untuk belajar optimal. Tugas guru tak boleh diintervensi oleh kepala sekolah sebagai birokrat.
Sebagai pemimpin profesional, kepala sekolah berperan untuk memfasilitasi melalui kegiatan, seperti pelatihan guru sejenis, focus group discussion (FGD), tukar-menukar best practices, memberikan insentif dan disinsentif atas prestasi guru, dan sejenisnya.
Transformasi tata kelola
Tata kelola guru secara nasional adalah problem struktural yang tak dapat dipecahkan dengan upaya tambal sulam, tapi perlu upaya besar yang patut disebut transformasi. Jika guru kunci sukses memasuki pendidikan unggul, tata kelola guru adalah instrumen intinya.
Untuk itu, diperlukan kesepahaman serta kerja sama aparat eksekutif dan legislatif di pusat dan daerah untuk mewujudkan tata kelola guru yang paling efektif, yaitu yang mampu melahirkan insentif guru agar dapat meningkatkan kinerja guru-guru secara terus-menerus sepanjang kariernya. Komponen yang paling inti dalam tata kelola guru yang paling urgen untuk ditransformasi di antaranya ialah perekrutan, penempatan, dan peningkatan profesi secara berkelanjutan.
Pengalaman tiga tahun membagi urusan menurut jenjang pendidikan cukup bermasalah, antara lain fragmentasi tanggung jawab antarpemda hanya terkait dengan jenjang yang diurusnya. Transformasi tata kelola guru adalah sebuah keniscayaan, tetapi kajian yang cermat perlu dilakukan untuk menemukan pola yang paling efektif terkait pembagian urusan antara pusat, daerah, dan lembaga profesional.
Daerah perlu diberikan peran untuk mengatasi persoalan guru yang khas daerahnya yang tak mungkin dilakukan pusat—seperti redistribusi guru di wilayahnya, pelatihan guru daerah, dan pelatihan guru di sekolah. Pusat perlu membuat pedoman teknis edukatif, bukan administratif, antara lain dengan menggunakan gaji pokok guru sebagai instrumen yang ”memaksa” guru mengikuti pedoman tersebut.
Dalam desentralisasi, sekolah adalah milik daerah; provinsi dan kabupaten/ kota bertanggung jawab atas semua jenis dan jenjang pendidikan. Namun, beberapa urusan tata kelola guru (misalnya pengembangan dan update standar guru, perekrutan guru baru, penempatan, sertifikasi dan promosi guru, serta redistribusi guru antardaerah) masih harus ditangani secara terpusat hingga model tata kelola yang paling efektif ditemukan.
(Unifah Rosyidi, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta; Ketua Umum Pengurus Besar PGRI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar