KOALISI PASCA PEMILU
Opsi-opsi Koalisi Pemerintahan
Penetapan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilu anggota legislatif oleh Komisi pemilihan Umum pada 21 Mei 2019 membawa tahapan pemilu serentak 2019 pada babak akhir. Keunggulan pasangan Joko Widodo- Ma’ruf Amin (55,50 persen) atas pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (44,50 persen) menunjukkan gambaran koalisi pemerintahan (2019-2024) yang akan dibentuk.
Dalam Pilpres 2019, pasangan pemenang didukung sembilan parpol dengan perolehan gabungan suara Pileg 2019 sebesar 62,01 persen, termasuk empat parpol tak lolos ambang batas nasional.
Sejumlah prestasi pemerintahan sebelumnya (2014-2019) menjadi modal positif kinerja pemerintahan lanjutan (2019-2024). Adapun beberapa tantangan siap menyambut Kabinet Kerja II. Salah satunya, penurunan kinerja pembangunan manusia pemerintahan Jokowi-Kalla (2014-2018) dibandingkan sebelumnya (2009-2013).
Empat tahun pertama pemerintahan SBY-Boediono berkontribusi mendorong perbaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) hingga 2,51 poin. Sementara capaian IPM dalam kurun empat tahun pemerintahan Jokowi-Kalla lebih rendah 0,02 poin.
Selain itu, hingga 2018 jumlah provinsi dengan IPM lebih rendah dari IPM nasional bertambah dua provinsi (26) dibandingkan 2013 (24). Dengan kata lain, kesenjangan kinerja pembangunan antardaerah merupakan tantangan serius lainnya. Tantangan serupa tampak dalam kinerja penanganan kemiskinan, pemberdayaan perempuan, dan disparitas pendapatan.
Arah kerja sama
Literatur ilmu politik menjelaskan praktik koalisi pemerintahan di negara-negara demokrasi tak lepas dari motivasi kekuasaan, yaitu berbagi kepentingan. Insentif pembentukan koalisi sebelum dan pasca-pemilu adalah kepentingan kolektif dan kepentingan individu tiap-tiap parpol.
Saat kepentingan terwadahi, koalisi berjalan stabil. Itulah arah pertama dan paling klasik dari sebuah koalisi pemerintahan. Parpol secara kolektif menjadi aktor-aktor peraih jabatan (office-seeking actors). Kerja bersama koalisi bertujuan mendistribusikan ”upah” jabatan di antara anggota. Pembagian manfaat koalisi juga merupakan langkah pragmatis untuk menjaga stabilitas pemerintahan.
Arah kedua terkait preferensi kebijakan sebagai penjaga stabilitas koalisi. Pembentukan koalisi didasarkan pada kedekatan kepentingan dalam pilihan kebijakan. Konflik kepentingan yang kecil antaranggota koalisi menjamin kuatnya kerja sama dan stabilitas pemerintahan. Haluan preferensi kebijakan koalisi tampaknya lebih rasional ketimbang arah pertama.
Parpol anggota koalisi tak hanya mengedepankan motif kekuasaan, tetapi juga pilihan kebijakan. Meski demikian, tak ada jaminan kecilnya konflik kepentingan melahirkan koalisi yang produktif. Ukuran obyektivitas kebijakan terletak pada jarak antara preferensi koalisi dan nilai manfaatnya. Pilihan-pilihan kebijakan yang berorientasi menyelesaikan masalah publik dan mewujudkan kesejahteraan menunjukkan kedekatan jarak kebijakan itu.
Haluan ketiga, pembentukan koalisi ditentukan faktor-faktor institusional, khususnya terkait pengaturan pemilu dan sistem kepartaian. Pilihan sistem pemilu akan melahirkan pola-pola kerja sama antarparpol. Begitu pula dengan pilihan jumlah partai dalam kontestasi pemilu menentukan format koalisi pemerintahan.
Terakhir, kohesi ideologi. Jarak ideologi antarparpol menentukan keberlanjutan kerja sama pemerintahan. Kedekatan cita-cita moral dan tujuan ideal tiap-tiap parpol merekatkan koalisi. Mirip dengan arah kedua, perpaduan ideologi berkaitan dengan posisi kebijakan para anggota koalisi atas isu-isu publik tertentu. Maka, cita-cita yang sama akan merekatkan koalisi dan menjamin stabilitas jalannya pemerintahan.
Selain motivasi idealis kesamaan ideologi, faktanya, parpol sulit lepas dari motivasi elektoral (suara). Posisi kebijakan yang selaras ideologi dan kepentingan memenuhi permintaan konstituen menjadi penentu keeratan koalisi. Dalam praktiknya, empat pilihan koalisi itu sejatinya tak berdiri sendiri.
Perbedaan konteks kompetisi politik di setiap negara menyebabkan pilihan arah koalisi berbeda pada setiap pemerintahan. Satu keniscayaan yang relatif sama, setiap koalisi bisa memiliki lebih dari satu opsi demi stabilitas pemerintahan.
Kabinet inovatif
Satu pertanyaan yang relevan dengan hasil Pemilu Serentak 2019 terkait opsi koalisi yang layak dipilih pemerintahan terpilih. Untuk kondisi saat ini, jawabannya tak cukup hanya mempertimbangkan stabilitas pemerintahan sebagai target arah koalisi, tetapi lebih penting mempertimbangkan efektivitas koalisi.
Alasan terpenting memilih efektivitas daripada stabilitas karena beratnya tantangan domestik, terutama kesenjangan antardaerah dalam capaian kinerja pembangunan, pengurangan tingkat kemiskinan, ketertinggalan, dan disparitas pendapatan.
Lebih berat lagi, koalisi pemerintahan harus berhadapan dengan tantangan perubahan teknologi, globalisasi, dan turbulensi ekonomi dunia yang berpengaruh langsung kepada masyarakat dan pemerintah. Karena itu, stabilitas koalisi saja tak cukup menjawab persoalan domestik dan perubahan global. Untuk mencapai koalisi efektif, koalisi pemerintahan terpilih sebaiknya mengedepankan prinsip dan nilai inovasi dalam pembentukan kabinet.
Pertama, kriteria pembentukan kabinet diperuntukkan bagi individu (politisi atau profesional) yang mampu mendorong gagasan baru, mendefinisikan masalah publik, mendorong alternatif kebijakan inovatif, mempertemukan berbagai ide dari beragam pemangku kepentingan, serta menjaga keseimbangan antara dinamika politik dan profesionalitas. Selain itu, pemahaman konteks spesifik dan lokalitas Indonesia yang beragam juga sangat krusial.
Kedua, kepemimpinan koalisi pemerintahan sebaiknya merujuk pada karakter wirausaha politik (political entrepreneur), bukan sekadar sebagai pembina. Kepemimpinan berpegang pada prinsip-prinsip yang selalu berupaya melahirkan public value (kemanfaatan publik). Atau pemimpin selalu berusaha mendorong kemanfaatan optimal bagi masyarakat melalui berbagai terobosan kebijakan.
Ketiga, tetap memperhatikan etika politik. Memenangi pemilu bukan berarti pemerintahan terpilih boleh mengambil kebijakan tanpa pertimbangan etis. Etika politik harus dipedomani untuk menghindari konflik kepentingan pemimpin dan tidak mendistorsi kepentingan publik. Perilaku kebijakan pemimpin harus berorientasi public value, bukan individual value atau group value. Pemimpin publik juga tidak boleh tersandera kepentingan parsial konstituen.
Langkah strategis berikutnya, koalisi pemerintahan menyiapkan elemen yang mendukung (enabling factors) bekerjanya kabinet inovatif. Belajar dari studi OECD (2017) tentang inovasi sektor publik, empat faktor pendukung relevan untuk didorong.
Pertama, menyiapkan kebijakan yang menjamin kemampuan, motivasi, dan kesempatan aparatur negara untuk melahirkan inovasi kebijakan. Berikutnya, berani melakukan revolusi penganggaran agar inovasi tumbuh, bukan sekadar menuntut kepatuhan pengelolaan anggaran.
Selanjutnya, membentuk unit-unit atau institusi khusus di setiap kementerian/lembaga dalam mengembangkan berbagai inovasi kebijakan. Terakhir, memberikan kelonggaran secukupnya dalam menoleransi kegagalan berinovasi.
Kelima, memperluas kategori aktor. Koalisi tak hanya berpangku tangan pada kekuatan politik, tetapi juga memperkuat legitimasi dan dukungan melalui pelibatan aktor di luar koalisi.
Kabinet inovatif legawa menyediakan ruang partisipasi aktor lain, yaitu dunia usaha, masyarakat sipil, dan perguruan tinggi, dalam membangun, mengonsultasikan, dan menegosiasikan gagasan-gagasan inovasi kebijakan. Saatnya pemimpin terpilih mengambil langkah politik dan kebijakan inovatif dalam memimpin koalisi pemerintahan 2019-2024. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar