INDUSTRI PERBANKAN
Investasi dan Peran Perbankan
Pada Minggu (14/7) malam, Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pemilu Presiden 2019, menyampaikan pidato kemenangan dengan menyampaikan lima visi ekonomi utama Indonesia.
Kelima visi tersebut dapat diringkas sebagai berikut: 1) melanjutkan pembangunan infrastruktur untuk membuat konektivitas antara infrastruktur besar dengan sentra pembangunan ekonomi di daerah termasuk pedesaan; 2) pembangunan sumber daya manusia (SDM) dengan memperbaiki kualitas kesehatan sedini mungkin sejak ibu hamil dan pengembangan program vokasi.
Kemudian, 3) mengundang investasi untuk penciptaan lapangan kerja; 4) reformasi birokrasi dan perubahan pola pikir birokrasi yang ditunjukkan oleh kecepatan melayani untuk menciptakan Indonesia yang adaptif, produktif, inovatif dan kompetitif (“4Tif”); 5) APBN yang fokus dan tepat sasaran.
Kelima visi ini disampaikan dengan mengawali bahwa lingkungan global penuh perubahan, penuh risiko, penuh kompleksitas, dan penuh kejutan. Dari kelima visi tersebut, tulisan ini mencoba menyoroti investasi yang tentunya tak dapat dipisahkan dari peran perbankan Indonesia.
Data Bank Indonesia (BI) per Mei 2019 mencatat besarnya kredit perbankan mencapai Rp 5.451,8 triliun, dengan total simpanan Rp 5.483,7 triliun. Simpanan perbankan tumbuh lebih lambat dibandingkan pertumbuhan kredit terutama memasuki 2018.
Agresivitas pembangunan infrastruktur besar membuat pertumbuhan kredit melesat, namun tak demikian untuk pertumbuhan simpanan. Alhasil rasio kredit terhadap simpanan pihak ketiga (Loan to Deposit Ratio/LDR) di atas LDR batas atas 92 persen.
Data Mei 2019 mencatat pertumbuhan penyaluran kredit mencapai 11 persen (year on year/yoy), sedangkan pertumbuhan simpanan 6,7 persen yoy, jika dibandingkan dengan titik tertingginya sejak 2011 yang pernah tercatat 26 persen yoy untuk kredit dan 21 persen yoy untuk pertumbuhan simpanan.
Dengan kinerja perbankan belakangan ini, tampaknya kesenjangan simpanan dan kredit (saving-credit gap) ini semakin melebar, sehingga membuat kemampuan perbankan dalam negeri untuk mendukung investasi tidak maksimal.
Perbaikan iklim usaha
Investasi merupakan salah satu komponen domestik yang penting dalam membentuk Produk Domestik Bruto (PDB) selain konsumsi rumah tangga (KRT) dan pengeluaran pemerintah (PP). Pasca-lonjakan harga komoditas (commodity boom), KRT menjadi kontributor terbesar PDB, mencapai sekitar 56 persen dari total PDB nominal.
Di tengah ketidakpastian global yang meningkat akibat perang dagang AS-China, ekspor Indonesia semakin tertekan dalam menyumbangkan PDB. Dengan demikian, investasi menjadi harapan sebagai kontributor ekonomi kedua setelah KRT.
Bagaimana memikat investasi, termasuk investasi asing? Ada dua faktor penggerak investasi yang kita kenal sebagai push factors dan pull factors. Push factors adalah faktor-faktor eksternal yang mendukung masuknya investasi asing di Indonesia.
Faktor ini relatif sulit dikontrol oleh pemerintah karena sangat tergantung pada perekonomian global. Sementara pull factors lebih banyak bisa dintervensi pemerintah untuk mendongkrak daya pikat investasi di Indonesia.
Salah satu indikator untuk mengetahui seberapa besar daya pikat ini adalah survei Bank Dunia terkait kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EODB). Pada 2014, peringkat EODB Indonesia urutan 120 dari 189 negara, dan membaik jadi 73 dari 189 negara di 2018.
Terdapat beberapa indikator yang mendongkrak perbaikan peringkat ini, di antaranya kemudahan mendapatkan kredit dengan kenaikan tertinggi, diikuti izin memulai usaha, izin mendirikan bangunan, akses terhadap listrik, dan pembayaran pajak.
Namun dibalik prestasi tersebut, tampaknya kerja keras untuk memperbaiki peringkat EODB harus terus dilakukan mengingat negara-negara tetangga pesaing Indonesia seperti Vietnam sudah mencapai peringkat 69, dan negara ASEAN lain seperti Thailand peringkat ke-27, Malaysia ke-15, dan Singapura ke-2 dari 189 negara. Semua negara butuh investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.
Di antara indikator yang dinilai dalam EODB adalah akses mendapat kredit. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN pesaing Indonesia, peringkat untuk penilaian ini masih yang terendah yaitu 44 dibandingkan yang lain di peringkat 32.
Kesiapan perbankan
Di tengah semangat mendorong investasi sebagai motor penggerak perekonomian, terdapat beberapa kendala di sektor perbankan Indonesia, yakni: 1) ketatnya likuiditas, dan 2) mahalnya biaya pembiayaan di Indonesia.
Untuk mengatasi ketatnya likuiditas, BI mencoba menyiasati dengan menurunkan giro wajib minimum (GWM), dan sinyal turunnya suku bunga.
Untuk mengatasi ketatnya likuiditas, BI mencoba menyiasati dengan menurunkan giro wajib minimum (GWM), dan sinyal turunnya suku bunga.
Tetapi belum cukup karena pertumbuhan simpanan masyarakat terus melambat. Data BI untuk Mei 2019 mencatat pertumbuhan simpanan 6,7 persen yoy, setelah sempat mencapai titik tertinggi 21 persen di 2012.
Simpanan masyarakat sangat dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat. Pada periode yang sama, pertumbuhan ekonomi melambat dari 6,03 persen yoy pada 2012 menjadi 5,07 persen yoy pada kuartal I-2019.
Memasuki tahun 2019, data simpanan BI menunjukkan ada pengalihan dana dari giro menjadi deposito. Pengalihan ini bukan sinyal yang positif karena bisa menjadi indikasi ketidakyakinan pelaku usaha, yang kemudian menunda produksinya.
Kemungkinan penundaan ini karena adanya berbagai kegiatan politik di 2019. Alhasil kegiatan kredit korporasi melambat, sementara bank (terutama bank BUMN) juga fokus pada proyek-proyek aman yang terkait pemerintah.
Data BI untuk bulan Mei 2019, pertumbuhan kredit modal kerja tercatat 10 persen yoy, sementara pertumbuhan kredit untuk sektor konstruksi naik 20 persen yoy. Sedangkan kredit investasi tercatat tumbuh 14,6 persen yoy, dan kredit untuk sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih tumbuh 36,8 persen yoy.
Total kredit untuk Mei 2019 tumbuh 11 persen yoy. Dari periode 2012-2019 ini, pertumbuhan kredit tertinggi mencapai 21,2 persen yoy pada Mei 2012 menjadi 3,98 persen yoy pada Mei 2019.
Ada perebutan dana antara sektor swasta publik dengan sektor swasta non publik yang dikenal dengan istilah ‘crowding-out’. Merespons pidato Presiden, kemungkinan bank mulai akan menggeser alokasi kreditnya terkait prioritas pada pembangunan infrastruktur penghubung, bukan infrastruktur besar, sehingga kemungkinan alokasi pada sektor swasta non publik lebih besar, tentunya termasuk membiayai investasi swasta.
Kendala kedua terkait mahalnya biaya peminjaman di Indonesia. Ada empat faktor yang dipertimbangkan perbankan dalam menentukan suku bunga, yaitu: 1). overhead cost; 2) premi risiko; 3) margin keuntungan; 4) cost of fund.
Di antara keempat faktor, hanya cost of fund yang bisa dipengaruhi oleh kebijakan moneter. Ketika BI menurunkan suku bunga acuan, cost of fund cenderung akan turun, namun dalam praktiknya karena persaingan dalam mendapatkan simpanan sangat kompetitif, bank biasanya menawarkan spread yang tinggi dari suku bunga acuan, terutama untuk simpanan dengan nominal yang besar.
Sementara tiga faktor lain tergantung kondisi industri perbankan dan bagaimana bank melihat risiko dalam perekonomian. Ketiga faktor ini menjadi indikator tak efisiennya perbankan di Indonesia. Mau tak mau untuk semakin efisien, bank wajib menggunakan teknologi. Terlebih lagi dengan kegiatan perbankan yang semakin digital, migrasi menjadi digital banking sudah menjadi kewajiban.
Tak kalah penting, ke depan diperlukan bank yang kreatif dalam menyalurkan kredit yang non tradisional, seperti misalnya kredit untuk para sineas dalam industri perfilman atau pelaku industri kreatif lainnya. Untuk itu diperlukan bank dengan SDM yang memahami bisnis kreatif.
Beberapa bank besar menyiasati pemenuhan SDM ini dengan membuat lembaga SDM yang indepeden agar lebih leluasa dalam menciptakan SDM-nya. Tentunya kurikulum pengajaran SDM-nya juga perlu disesuaikan dengan standar internasional yang bisa menumbuhkan kreativitas dan adaptif terhadap perubahan global yang sangat cepat.
Besar harapan Indonesia mempunyai industri perbankan yang mampu merespons “4Tif” sebagaimana disampaikan oleh Presiden Jokowi.
(Lana Soelistianingsih, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar