Rabu, 17 Juli 2019

Alangkah Indahnya Politik Itu

Minggu 14 Juli 2019, 12:08 WIB

Alangkah Indahnya Politik Itu

Mumu Aloha - detikNews

Jadi, apakah politik itu?

Kalau gigimu sakit, dan kau harus pergi ke dokter untuk mencabutnya, salahkan negara, dan itu artinya urusan politik. Masyarakat Jakarta sekarang bisa menikmati sore yang indah dengan bermain skate board di trotoar jalanan yang luas dan nyaman, itu tak terlepas dari keputusan politik. Kita bisa saja (tetap) mengeluh, untuk sekadar punya trotoar yang luas dan 'manusiawi' saja kita mesti menunggu berpuluh-puluh tahun, memangnya apa yang dikerjakan oleh para penguasa kota sebelum ini?

Tapi, sekali lagi, itu(lah) politik. Atau, lebih tepatnya kalau kita katakan, itulah indahnya politik.

Politik memberi kita harapan, mewujudkan kebaruan-kebaruan, dan pada akhirnya menciptakan kondisi-kondisi yang mengarahkan kita untuk perlahan-lahan semakin dekat dengan kehidupan yang kita impikan, kebahagiaan yang kita angankan, dan keinginan-keinginan lainnya. Pendek kata, kita tak bisa hidup tanpa politik. Udara yang kita hirup setiap bangun tidur pada pagi hari adalah politik, angin semilir yang membelai pipi kita saat berlibur di pantai adalah politik.

Langit yang memayungi kita, bumi yang kita pijak, dan ruang tempat kita bergerak ke sana ke mari semua adalah politik.

Ada suatu cerita dari khasanah pelajaran zen. Seekor ikan kecil bertanya kepada ikan besar. "Aku sering mendengar pembicaraan tentang laut. Laut itu apa?" Jawab ikan besar, "Segala yang di sekelilingmu itu adalah laut." Mendengar penjelasan itu, ikan kecil pun menyahut, "Kok aku tak bisa lihat?"

Kata ikan besar, "Kamu hidup, bergerak, dan keberadaanmu dalam laut. Laut ada di dalam dan di luar dirimu. Laut memberimu kehidupan dan saat kematian tiba kamu kembali ke asalmu. Laut di sekelilingmu seperti dirimu sendiri."

Demikianlah, sebagaimana ikan, kadang kita tidak menyadari "tempat hidup" kita. Ikan hidup di sungai, danau, rawa-rawa, empang, kolam, blumbang, hingga laut, dan mereka tidak menyadarinya. Demikian pula kita, warga negara, hidup dalam politik, dan sering melupakannya.

Politik itu sederhana. Ketika kau mengulek cabai menjadi sambel kesukaanmu, ingatlah bahwa itu semua urusan politik. Apa kau lupa, pernah marah karena harga cabai melambung tinggi? Kemarin, belum lama, harga daging ayam di pasaran anjlok, masyarakat konsumen girang, tetapi peternak dan penjual ayam naik pitam hingga protes dengan cara membagi-bagikan ayam mereka secara gratis. Kejadian serupa pernah menimpa petani tomat, ketika mereka membuang hasil panennya ke jalanan sebagai protes karena harga tomat rendah sekali.

Begitulah, bahkan untuk urusan jumlah uang yang harus kita keluarkan dari kantong untuk membeli barang-barang pun, ada keputusan politik di belakangnya, yang kadang rumit, sampai bisa membuat seorang menteri jadi kurang tidur. Sekali lagi, alangkah indahnya politik itu.

Bahkan, misalnya kau seorang laki-laki dan menyukai (sesama) laki-laki, atau perempuan yang hanya bisa jatuh cinta pada perempuan juga, lalu orang-orang menyebutmu LGBT, dan kau merasa dikucilkan, diperlakukan tidak adil di masyarakat, karena hak-hakmu tidak setara dengan warga negara lain pada umumnya, tenang, ada politik yang bisa membelamu. Kalau kau buruh, atau guru honorer, atau karyawan kontrak, dan merasa upahmu rendah, tenang, politik bisa memperjuangkan tuntutanmu.

Politik adalah jawaban bagi setiap persoalan kita.

Seorang pakar akan berkata begini: politik adalah upaya untuk membuka celah kemungkinan bahwa sesuatu yang tidak dihitung menjadi dihitung dalam tatanan sosial serta memiliki kesinambungan yang kontingen pada beberapa subjek-subjek lainnya. Terdengar agak memusingkan?

Lupakan, dan bayangkan saja ini: dengan politik, kita memilih pemimpin-pemimpin yang kita dukung, kita percaya, kita cintai, lewat sebuah hajatan besar pesta demokrasi yang gegap gempita --bahkan pada hari itu kita diberi libur (terima kasih, politik!) khusus untuk mencoblos, memberikan suara kita dengan bebas. Alangkah indahnya demokrasi. Lalu, setelah suara kita dihitung, dan pemimpin yang kita pilih kalah, kita masih bisa menggugatnya dan membawanya ke sidang perselisihan hasil pemilu ke sebuah mahkamah yang nantinya akan memberikan keputusannya. Apa yang lebih indah dari demokrasi di dunia ini?

Seorang pakar akan berkata begini: perhatian utama demokrasi bukanlah pada formulasi kesepakatan atau penjaminan tatanan, namun juga mendorong dan memberi tempat pada "ketaksetujuan". Apa ini juga terdengar agak memusingkan? Baik, baik, bagaimana kalau kita bayangkan saja sebuah pertunjukan. Panggungnya adalah gerbong MRT yang kini menjadi kebanggaan warga Jakarta. Terlihat dua orang aktor, bukan, tokoh bangsa, ya pemimpin-pemimpin yang kemarin kita coblos dalam pemilu yang demokratis itu.

Entah janjian atau bagaimana, keduanya sama-sama memakai kemeja warna putih, duduk berdampingan, intim, mesra. Seperti tampak pada foto-foto yang kemudian beredar di media massa dan lini massa media sosial kita, Pak Prabowo begitu semringah, tak lepas menatap Pak Jokowi yang seperti biasa agak "malu-malu", dan "tak berani membalas" tatapan yang mengarah kepadanya. Itulah pertunjukan politik yang terjadi Sabtu (13/7) pagi kemarin.

Media massa dan para netizen pun seolah bersorak: akhirnya! Seperti ada perasaan lega yang membuncah. Seperti ada beban tak tertanggungkan yang telah sekian lama memberati pundak, dan mendadak sontak terlepas. Plong. Semua senang. Ringan dan riang gembira.

Tapi, ternyata ada juga yang #kecewa. Lagi-lagi, ingat, inilah politik, inilah demokrasi. Kita boleh sepakat untuk tidak sepakat. Kita boleh kecewa di tengah banyak orang yang menyambut pertemuan itu sebagai "merajut kembali tali persaudaraan bangsa yang terkoyak", atau apalah ungkapan yang semacam itu. Yang kecewa mungkin berpikir, lho, sudah didukung "mati-matian", sampai titik darah penghabisan, menguras seluruh emosi, lha kok akhirnya berangkulan tertawa-tawa dan makan sate bersama. Apa-apaan ini!

Seorang netizen berkata: Nggak akan lupa kerusuhan 22 Mei dan semua energi negatif yang dibuat selama ini. Nggak akan!

Netizen lain meratap: Hancur sehancurnya hati ini bila kalian bisa merasakan apa yang berkecamuk dalam jiwaku.

Netizen lainnya lagi menambahi: Foto Pak Prabowo yang sudah berbulan-bulan saya pajang di rumah dengan penuh kebanggaan...dengan penuh kekecewaan, dengan perasaan sedih hari ini saya turunkan... 

Netizen lain pula menyahut: Jangankan yang berjuang siang malam mengorbankan tenaga, pikiran dan harta, saya yang hanya berjuang di medsos dengan sedikit uang saja merasa marah.

Ada juga yang perih tapi lucu karena mengingatkan kita pada lagu dangdut: Tega-teganya Prabowo menyakiti kami. Ya Allah.

Yang kemudian diisengi dengan sahutan yang tak kalah lucu, dan kali ini benar-benar bikin kita tertawa, melupakan bagian "perih"-nya tadi: Kalau pakai perasaan jangan berpolitik, mending pacaran saja.

Adapun yang merasa lega dan gembira, agaknya lebih realistis dan paham bahwa ya, inilah politik. Apalagi yang kamu harapkan? Apakah terlalu sulit untuk memahaminya? Jadi, apakah politik itu? Apakah masih perlu penjelasan? **
*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar