Mantra dalam susastra Indonesia menjadi perbincangan tahun 1973 dan beberapa tahun seterusnya setelah Sutardji Calzoum Bachri (1941) melayangkan ”Kredo Puisi”.

Pokok-pokoknya: Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian / Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri / Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera. 

Seperti apakah puisi Sutardji? Tengok saja gambar terlampir pada tulisan ini.
Mantra atau puisi mantra?
Menanggapi kredo Sutardji, Umar Junus membedakan antara mantra dan puisi yang mantra: ”Berdasarkan keterangan tadi, ini mesti diartikan ia menulis puisi yang mantra. Pada hakikatnya ia menulis puisi, bukan mantra atau genre lain. Tapi, puisinya mempunyai sifat mantra karena dalam menciptakannya memang menggunakan hakikat yang ada dalam mantra.”
Adapun yang dimaksud Junus dengan ”hakikat mantra” adalah (1) rayuan dan perintah; (2) menggunakan satuan ungkapan; (3) mengandalkan permainan bunyi; (4) keutuhan tidak bisa dipahami dari bagian-bagiannya; (5) tidak dapat dipahami manusia, misterius; (6) terdapat tendensi esoterik atau terhubungkan secara esoterik dari kata-katanya; (7) terasa hanya seperti permainan bunyi (Junus, 1983: 135).
Apakah puisi yang mantra mungkin menjadi mantra tanpa makna, hanya menyisakan teknik dan gaya? Menurut A Teeuw, betapapun kata tanpa pengertian tidak mungkin, tetapi mengakui adanya puisi yang mendekati musik karena pembermaknaannya melalui bunyi dan bukan makna—dan itu tidak akan memuaskan.
Namun, puisi tetap harus membedakan diri, bahkan batas terakhir terlampaui ketika tak seorang pun dari khalayak semasa bisa mengerti. Toh sajak Sutardji sendiri dianggapnya masih bermakna karena penyimpangan hanya mungkin berkat kode bahasa yang diberontakinya, seperti ngiau yang melepaskan diri—sekaligus termaknai—dari kucing (Teeuw, 1983: 147-56).
Kedua tanggapan ini ditanggapi lagi oleh Dami N Toda, yang mengingatkan bahwa kredo adalah tindakan prakreatif, bersifat perjanjian yang masih harus diuji, dan penyair bisa saja belum mampu mewujudkan perjanjiannya sendiri. Betapapun proses kreatif adalah proses pencarian dan penemuan yang tidak selalu terduga.
Menilai sajak-sajak Sutardji tanpa pemahaman itu, dengan pendekatan konvensional bahasa pula, berisiko luput menangkap puisi yang bukan obyek linguistik, melainkan subyek yang hukum-hukumnya justru harus ditemukan oleh kreativitas penyair. Dicatat pula bahwa selain aspek bunyi, sajak Sutardji juga bicara dengan aspek rupa, menjadikannya puisi total: kata sudah otonom sebagai lambang arbitrer dari pengertian yang konkret (Toda, 1984: 123-4, 134).
Mantra itu ”positif”?
Dengan begitu, orang bukan hanya berbincang tentang sajak-sajak, tetapi juga tentang kredo puisi Sutardji. Apabila Teeuw mengatakannya ”mengandung beberapa ketakjelasan” dan ”tak perlu kita perhatikan” dalam interpretasi sajak, bagi Dami ”keterangan penyair” itu meski boleh ”dinetralkan” tetap ”dihadapi dengan kewaspadaan” karena kelahiran karya susastra disebutnya tidak otomatis.
Adapun Junus menilai, jika modernisasi tidaklah mesti mencari ke Barat, mengembangkan secara kreatif sesuatu dari tradisi dan bukan membawa tradisi seutuhnya ”tak ada salahnya”. Begitulah selama 42 tahun kredo puisi ini tidak terlampaui. Susastra Indonesia memang berkembang, tetapi secara tersurat maupun tersirat tetaplah mengandalkan arti, makna, gagasan, dan ”beban pengertian”—termasuk sajak-sajak Sutardji sendiri.
Bisa larik sajak ”Hemat” (1977) seperti … maut menabungKu / segobang segobang … dibaca dengan mengabaikan makna? Betapapun sampai 2015 kredonya masih berada di baris terdepan. Pernyataan Sutardji bahwa menulis puisi baginya adalah mengembalikan kata kepada mantra, dapatlah dipastikan memaknai gagasan tentang mantra sebagai ”positif”.
Muncul mantra ”negatif”
Pada 2015 terbitlah buku puisi berlin proposal sebagai hasil pengendonan Afrizal Malna (1957) tahun 2012 di Berlin selama sebulan, untuk bersambung setahun antara 2014-2015. Dalam ”catatan moabit” yang seperti pengantar, disebutnya betapa ia ”mengalami aspek materialisme dari bahasa ketika tinggal di daerah di mana bahasa yang saya pakai tidak berlaku/seperti cermin yang kembali ke materi dasarnya sebagai kaca”.
Ini membuatnya, ”mulai memasuki ruang grafis dalam bahasa. Membuat kata seperti material cat yang bisa dicampur sebagai suara maupun sebagai gambar / (mengalami) sedang berubahnya bahasa seni menjadi bahasa media melalui material yang digunakan, baik di seni rupa, film, maupun musik. Tidak ada lagi bahasa seni pada dirinya sendiri, kecuali materi maupun data yang digunakan”.
Tengoklah puisi Afrizal terlampir.
Bagaimana makna dipikirkan? Menurut Afrizal, ”Ini merupakan jalan keluar untuk memecahkan masalah bahasa sebagai representasi yang tidak bertemu dengan referen maknanya / pengalaman sangat mendasar untuk retreat makna dari bahasa. Ketika makna memasuki bahasa dan menguasai kata, maka kata berubah menjadi ”mantra” (seperti darah yang disiramkan kepada tanda untuk menjadi ikon atau mitos)” (Malna, 2015: 7-9).
Jadi yang bagi Sutardji itu positif, kata yang dibebaskan dari maknanya adalah mantra; bagi Afrizal adalah negatif, justru karena mantra dikuasai makna, sehingga perlu ”retreat makna dari bahasa”. Namun, Afrizal menuliskan mantra sebagai ”mantra” yang bisa berarti bukan-mantra.
Mungkinkah (termasuk) puisi yang mantra? Yang jelas kedua sajak ini sama-sama menunjukkan keberangkatan dari abjad. Kredo puisi 1973 memang belum terlampaui, tetapi pada 2015 sudah tertandingi, sehingga susastra Indonesia kini memiliki konsep mantra positif maupun negatif. ***