PERDAGANGAN AYAM
Digitalisasi dan Korporatisasi Pasar Ayam
Gonjang-ganjing harga ayam hidup memuncak pada akhir Juni lalu dengan jatuhnya harga daging ayam sampai hanya sekitar Rp 5.000 per kilogram, sementara harga pokok produksi sekitar Rp 16.000 per kilogram. Sampai-sampai peternak di Solo dan Yogyakarta melakukan aksi bagi-bagi ayam gratis.
Rantai pasok daging ayam memiliki karakteristik yang khas. Proses produksinya dimulai dari induk ayam (grand parent stock/GPS) yang akan menghasilkan indukan produsen telur dan anak ayam (day old chicken/DOC). Selama ini, GPS dimiliki oleh perusahaan besar. Sebagian besar peternak hanya menerima pasokan anak ayam (DOC), memeliharanya selama 35 hari, dan kemudian siap untuk dijual.
Peternak dengan berbagai skala produksi memperoleh DOC, baik lewat pembelian putus maupun berintegrasi dengan perusahaan besar melalui kontrak (integrator). Mereka yang beli putus menjual ayam hidup langsung ke pasar ataupun memasok ke produsen daging ayam. Sementara peternak yang mengikat kontrak penjualan ayam hidup tergantung bentuk kontraknya.
Kementerian Pertanian melakukan kontrol terhadap sistem pasar daging ayam ini. Melalui koordinasi dan pertemuan bulanan, tim pemantau harga yang juga terdiri atas perusahaan penghasil DOC menentukan jumlah produksi DOC yang nantinya berpengaruh menentukan harga ayam hidup di pasar (dan daging).
Kontrol ini cukup efektif mengingat jumlah DOC yang diproduksi serta yang nantinya menjadi ayam hidup dan akan diproses tidak akan jauh meleset dari kapasitas pengolahan daging ayam.
Meski demikian, ada desakan untuk membuka impor GPS supaya pasar DOC tidak terkonsentrasi sehingga persaingan di pasar ayam (dan daging) ayam menjadi lebih kompetitif.
Tidak ada salahnya dengan upaya ini, tetapi kapasitas pemrosesan belum menyesuaikan dengan jumlah produsen DOC. Akibatnya, pasokan ayam hidup melampaui kapasitas pemrosesan. Harga ayam hidup jatuh di bawah harga pokok produksi, tidak terserap pengolah karena belum ada perubahan kapasitas pemrosesan sehingga pasokan daging (carcass) relatif tidak berubah.
Digitalisasi dan korporatisasi
Membuka peluang usaha dan mengurangi konsentrasi DOC pada beberapa pengusaha besar diyakini bisa mendorong harga turun. Namun, jika ada simpul rantai pasokan yang tidak diurai (pemrosesan, dalam hal ini), upaya tersebut tidak akan berhasil.
Selain itu, kontrol terhadap pasokan masih perlu dilakukan. Ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan akan menyebabkan harga jatuh atau melambung tinggi. Peningkatan kompetisi di pasar berarti bertambahnya pelaku yang harus dikontrol pemerintah.
Di era digital sekarang, informasi pasokan bisa mudah diperoleh dan mudah dikontrol, sebagaimana perdagangan daring yang berkembang selama ini. Bahkan, warung sudah masuk dalam radar digital. Teknologi informasi (TI) bisa diterapkan untuk memantau produsen DOC, peternak, dan pemrosesan jika semakin banyak jumlahnya.
Setiap peternak dan penghasil DOC terhubung dengan pusat server di Kementerian Pertanian sehingga setiap saat bisa dihitung produksinya. Kalau pemerintah sudah bisa memprediksi fluktuasi konsumsi sepanjang tahun, sudah saatnya menggunakan TI untuk menghitung sisi pasokan sehingga keseimbangan pasar terjamin. Dengan model seperti ini, pemerintah bisa mengawasi dan mengatur jumlah produksi untuk menyesuaikan konsumsi agar harga tidak anjlok.
Bagaimana jika ada peternak atau pengusaha yang melakukan penyimpangan atau penyembunyian informasi sehingga tidak masuk dalam sistem? Pemerintah bisa memberikan hukuman tegas, meniru apa yang dilakukan perusahaan besar, yaitu jika ada peternak yang menyimpang dari perjanjian yang sudah disepakati, dia akan dikeluarkan dari kontrak serta konduitenya tidak bagus sehingga sulit untuk menjadi integrator perusahaan lain.
Dalam hal ini, peran penyuluh pertanian yang disiapkan perusahaan besar sangat kuat untuk mengontrol kinerja peternak.
Selain pengawasan yang ketat, pemecahan konsentrasi prosesor ayam juga bisa mulai dirintis per daerah/wilayah. PT Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR) Pangan yang berada di Desa Sukaraja, Sukabumi, merupakan contoh sukses korporasi petani yang bisa dijadikan model.
Di daerah transmigrasi, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) merintis korporasi untuk kawasan perkotaan baru (KPB). Untuk sejumlah luas areal pertanian padi tertentu dibangun pemroses padi sehingga KPB menjadi penghasil beras dan tidak menjual gabah/padi ke luar daerah.
Dengan model ini, kabupaten kawasan peternak ayam (seperti Tasikmalaya, Blitar, dan Yogyakarta-Solo) bisa bekerja sama dengan pengolah daging setempat untuk menjadi pembeli utama (off-taker) bagi ayam yang dihasilkan di daerah setempat.
Ayam hidup tidak akan keluar daerah, tetapi diolah di daerah setempat, sementara yang keluar daerah sudah berupa karkas atau olahan daging lainnya. Ketergantungan peternak pada fluktuasi harga ayam hidup menjadi semakin berkurang dan kesejahteraan mereka lebih terjamin, sebagaimana petani anggota PT BUMR. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar