Vietnam, Taiwan, Bangladesh, dan Korea Selatan dinilai sebagai ”pemenang” perang dagang AS-China. Perang dagang tidak membuat kalangan bisnis AS membeli dari produsen AS, tetapi justru mencari pengganti pasokan dari China ke negara-negara dengan tarif rendah.

Data Biro Sensus AS sejak awal tahun ini menunjukkan, impor AS dari China turun 12 persen dan impor dari Vietnam naik hingga 36 persen, Taiwan 23 persen, Bangladesh 14 persen, dan Korsel 12 persen. Di sisi lain, Vietnam, Korsel, dan  Taiwan masuk daftar negara-negara pembuat defisit perdagangan AS. Vietnam, Korsel, dan Taiwan menduduki peringkat ke-6, 8 dan 14.
Indonesia sendiri yang berada dalam peringkat 15 negara pembuat defisit perdagangan dengan AS ternyata mengalami penurunan ekspor secara menyeluruh. BPS melaporkan nilai ekspor April 2019 turun 13,1 persen secara tahunan dan turun 10,80 persen secara bulanan.
Selain relokasi pabrik pakaian dan elektronik dari China ke Vietnam yang sudah berjalan sebelum Trump masuk Gedung Putih, Vietnam memiliki keunggulan upah buruh yang kompetitif sehingga produk yang sama dengan produk asal China menjadi lebih murah, sedangkan Korsel dan Taiwan memiliki keunggulan kompetitif di industri semikonduktor sehingga produk yang sama dengan buatan China juga menjadi lebih kompetitif.
Survei Mei oleh Kamar Dagang AS menunjukkan, 40 persen perusahaan AS anggota mereka tengah mempertimbangkan relokasi pabrik dari China karena tarif. Hanya 6 persen akan relokasi ke AS dan sekitar seperempatnya relokasi ke Asia Tenggara. Sisanya ke Asia Selatan atau Amerika Latin. Negara dengan upah buruh kompetitif, seperti Vietnam dan Kamboja, menjadi tujuan relokasi utama.
Peluang ”menang”
Mencuri kesempatan dan menjadi ”pemenang” perang dagang AS-China yang pada dasarnya bukan perang tarif atau masalah defisit perdagangan AS (tapi geopolitik) bagi Indonesia merupakan tantangan tersendiri.  Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dengan keberadaan ratusan serikat pekerja sehingga penentuan upah yang kompetitif dan mampu bersaing dengan negara bersistem politik satu partai atau otoriter menjadi sulit.
Fitch Solutions Group  pada Mei lalu bahkan menyatakan, kenaikan upah pekerja menjadi faktor utama dalam industri manufaktur yang kompetitif.
Selain itu, Indonesia sebagai negara anggota G-20 kehilangan status penerima GSP+ atau bahkan GSP sehingga dikenai tarif yang lumayan tinggi. Produk perikanan Indonesia, misalnya, dikenai tarif impor oleh Uni Eropa (UE) sementara kompetitor Indonesia dalam ekspor seafoodke UE, seperti Vietnam dan Filipina, tak dikenai tarif. Filipina bahkan masih dapat menarik keuntungan GSP+.
Ekspor nanas Indonesia ke UE pun mengalami nasib sama.  Indonesia masih menikmati fasilitas GSP dengan AS, sekitar 1,9 miliar dollar AS atau sekitar 9 persen total ekspor ke AS. Penerima GSP utama di Indonesia adalah produk elektronik dan mesin, kimia, plastik, karet, dan aluminium.
Relokasi industri dari China ke Asia Tenggara tak akan memberikan tambahan investasi signifikan ke Indonesia karena Indonesia bukan bagian dari rantai pasokan industri elektronik, mesin dan komponen, serta peralatan optik, seperti televisi, dari China ke AS. Vietnam, Filipina, dan Kamboja yang selama ini menjadi bagian pemasok ke China sudah jelas pilihan relokasi yang lebih menguntungkan.
Dari 10 negara Asia Timur dan Tenggara yang berpotensi mengganti ekspor China ke AS atas produk yang sama terkena tarif, Indonesia hanya menduduki peringkat ke-9, satu tingkat lebih tinggi dari Myanmar. Peringkat pertama Taiwan, disusul Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Filipina (Analisis M Cali, ekonom senior Bank Dunia).
Upaya Indonesia dalam mendapatkan pengecualian peningkatan tarif dengan AS pun mengalami sejumlah tantangan yang bersumber dari pendekatan stick and carrot secara bilateral oleh AS. AS memiliki sejumlah kepentingan dengan berbagai negara di kawasan Asia dan permintaan negara-negara tersebut ditanggapi AS secara khusus.
Terhadap Indonesia, AS tampaknya masih mempermasalahkan produk pertanian dan peternakan, hak kekayaan intelektual (kekalahan DC Comics dalam kasus Superman adalah contoh terkini), gerbang pembayaran nasional oleh BI. Lokasi pusat data yang diatur dalam PP No 82/2012 pun sempat dipermasalahkan AS.
Upaya Indonesia meningkatkan ekspor ke AS dalam konteks administrasi Trump secara bilateral memiliki risiko tinggi. Alih-alih dapat akses pasar, Indonesia justru bisa saja harus mengubah kepentingan strategisnya dengan nilai tukar yang mungkin tak berimbang.
AS sendiri telah menggunakan isu keamanan nasional dalam menerapkan tarif produk tertentu terhadap China.  Langkah ini juga telah diikuti Rusia. WTO pun telah memberikan pengecualian terhadap aturan WTO terhadap keamanan nasional dalam kasus Rusia-Ukraina. Yurisprudensi mulai terbentuk.

Perang dagang AS-China bukan masalah ekonomi semata, melainkan berakar pada geopolitik. Arah hubungan AS dengan China di kawasan kita yang belum terlihat stabil menjadi satu faktor utama. The rising of Chinadan the existing dominant American power di Asia masih belum menemukan titik ekuilibrium yang tepat. Analoginya adalah hubungan trans-Atlantik meskipun terdapat ketegangan dalam perdagangan, tetapi karena persamaan budaya dan kuatnya aliansi geopolitik, eskalasi konflik dagang dapat diredam.
Bahkan, politisi UE yang melarang biofuel sawit dengan alasan lingkungan hidup, demi hubungan dengan AS yang keluar dari Paris Agreement, telah membeli minyak nabati AS dalam jumlah sangat besar. Sawit kita pun dapat disingkirkan oleh minyak nabati AS. Ekspor minyak nabati AS ke UE melonjak 75 persen pada 2019.
Trisula diplomasi komersial
Peraihan ”kemenangan” dalam perang dagang AS-China memang tak mudah karena berbagai faktor di atas. Gambaran besar yang perlu dikembangkan sebenarnya adalah peningkatan performa perdagangan internasional Indonesia secara signifikan dalam suatu kerangka multilateralisme yang berdasarkan aturan internasional yang disepakati dan ditaati bersama. Tak mudah memang, apalagi dalam konteks multilateralisme ini.
Sebagai analogi di hukum laut, China adalah Negara Pihak UNCLOS 1982 tetapi tak mengakui hasil arbitrasi yang dibentuk aturan UNCLOS, sementara AS menyatakan menjunjung tinggi hukum laut internasional, tetapi masih menolak ratifikasi UNCLOS.
Indonesia perlu mengembangkan strategi trisula, yaitu pendekatan komprehensif tiga lini: nasional, bilateral-regional, dan multilateral.  Pada tingkat nasional, secara kelembagaan perlu adanya sinergi untuk perancangan strategi dalam promosi perdagangan, penetrasi pasar, identifikasi anti-dumping dan aksi solusinya, penambahan kekuatan negosiator perdagangan, dan penyelesaian sengketa melalui WTO atau forum lainnya. Faktor penting lain dalam perdagangan internasional adalah investasi perusahaan Indonesia ke luar negeri.
Beberapa negara memiliki Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan, seperti Australia. Namun, tantangannya berbeda. Australia tak perlu menangani peliknya harga cabai dan stok beras seperti yang harus dilakukan Indonesia. Di UE pun, perdagangan internasional diurus Komisi Perdagangan dan terlepas dari Kantor European External Action Services (EEAS) yang mengurusi politik luar negeri dan pertahanan UE.
AS memiliki lembaga perwakilan dagang (US Trade Representative/USTR) yang terlepas dari Kementerian Luar Negerinya.  Komisi Perdagangan UE dan USTR menempatkan tim perunding perdagangan dengan antidumping dalam satu kerangka kerja yang sama. Ini penting karena dua hal ini tak dapat dipisahkan.
Masih terpisahnya dana promosi perdagangan di berbagai kementerian dan lembaga (K/L) juga perlu mendapat perhatian khusus. Suksesnya Kementerian Pariwisata (Kemenpar) meningkatkan wisatawan mancanegara masuk Indonesia tak terlepas dari fokus pembiayaan dan strategi promosi yang menyatu. Strategi advertising, branding and selling Kemenpar dapat direplikasi dalam strategi perdagangan internasional.
UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebenarnya mencerminkan sikap inferior di mana kita sebagai bangsa mendefinisikan penanaman modal hanya dalam konteks melakukan usaha di wilayah Indonesia. Indonesia perlu mempromosikan dan melindungi investasi perusahaan Indonesia ke luar negeri. Bukti kemampuan sudah ada, seperti terlihat dalam investasi Indonesia di Eropa, di Afrika, dan juga Asia.
Melihat nama-nama bank China di berbagai kota Jerman selalu mengingatkan saya kepada tak adanya nama-nama bank Indonesia di Eropa ataupun Asia Tenggara lainnya. Kita melihat banyak bank Malaysia dan Singapura di pelosok kota Indonesia, tetapi jarang sekali hal yang sama di Malaysia atau Singapura. Kekuatan 2 juta pelaku umrah serta 300.000 haji Indonesia seyogianya dapat dimaksimalkan dalam bentuk penetrasi keuangan Indonesia di Timur Tengah.
Indonesia juga perlu melakukan reformasi yang membuat Indonesia kian kompetitif. Kasus Superman perlu menjadi perhatian utama kita semua. Kita sering kali merasa marah terhadap klaim-klaim asing terhadap batik atau kekayaan budaya kita lainnya, tetapi ironisnya membenarkan gagasan bangsa lain dicaplok di dalam negeri Indonesia. Bayangkan apabila negara lain memiliki produk makanan dengan merek ”Prabu Siliwangi” atau ”Jaka Tingkir” dan tokoh-tokoh ini diklaim sebagai milik mereka.
Pada sisi bilateral-regional, Indonesia perlu terus mendorong keterbukaan pasar dengan penurunan tarif sebagai salah satu elemen pokoknya dengan mitra bilateral, baik negara maupun kelompok negara, seperti UE, serta kian memperkuat keterbukaan pasar bagi Indonesia di kawasan Asia (dengan atau tanpa AS).
Pada sisi multilateral, dunia dinilai mengalami krisis kepemimpinan. Perluasan konflik di Timur Tengah, ketegangan trans-Atlantik, dan hubungan AS-China telah dinilai menciptakan kekosongan kepemimpinan dalam berbagai fora, termasuk di WTO.
Kekosongan ini kiranya perlu diisi gabungan berbagai kekuatan negara middle power guna menghindari pelebaran kekacauan di berbagai kawasan. Indonesia sebagai negara paling besar di ASEAN dan juga negara anggota G-20 harus memainkan peran yang aktif sesuai fitrahnya sebagai negara berprinsip bebas dan aktif.
Indonesia perlu merumuskan diplomasi komersial (commercial diplomacy) yang memiliki elemen-elemen penting perdagangan internasional, promosi investasi Indonesia di luar negeri, pendanaan yang mendukung kegiatan akses pasar dan promosi, serta keterkaitannya dengan aspek geopolitik dan keamanan yang kuat.
Diplomasi komersial ini juga dapat terkait secara sinergi dengan diplomasi maritim yang kental elemen kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.  Pada akhirnya, keamanan nasional Indonesia sebagai negara kepulauan juga sangat dipengaruhi keamanan ekonomi nasional kita.
Arif Havas Oegroseno, Dubes RI untuk Jerman dan Wakil Ketua Perunding Indonesia-EU CEPA