Organisasi Pangan dan Pertanian dalam publikasi terbarunya “The State of World Fisheries and Aquaculture 2018” memperkirakan dunia akan mengalami ketimpangan pasokan ikan sebesar 28 juta ton di awal 2020. Sementara harga ikan pada 2030 akan naik 25 persen dibanding 2016. Tantangan ini sekaligus peluang bagi Indonesia untuk memajukan industri perikanan lima tahun ke depan.

Dalam lanskap ekonomi perikanan global, Indonesia masih tertinggal 10 hingga 15 tahun dari Norwegia, Amerika Serikat, bahkan dari negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam sekalipun. Thailand menempati peringkat keempat eksportir ikan terbesar di dunia. Adapun Vietnam berada pada posisi ketiga setelah China dan Norwegia.
Minus inovasi
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia belum ditemukan dalam daftar 10 besar eksportir ikan di dunia.
Apakah karena luas laut Indonesia terlalu kecil? Tidak. Luas perairan Indonesia lebih dari 17 kali total luas wilayah darat dan perairan Vietnam. Apakah panjang garis pantai Indonesia lebih pendek? Tentu tidak. Panjang garis pantai Indonesia 30 kali lebih panjang dari Thailand.
Lalu, apakah karena jumlah nelayan Indonesia lebih sedikit? Juga tidak. Justru, Indonesia salah satu negara dengan populasi nelayan terbesar di dunia—setelah China.
Jangkar kekuatan dunia terus bergeser. Tiap-tiap negara tak cukup (lagi) hanya mengandalkan kekayaan sumber daya alamnya. Untuk menjadi unggul, dunia mensyaratkan pentingnya penguasaan inovasi, ilmu, dan teknologi. Di sini, sektor perikanan di Tanah Air mendapati tantangan teramat besar.
Pengelolaan perikanan (selama ini) masih mengedepankan strategi berburu ketimbang memanen. Padahal, negara-negara yang menguasai ekonomi perikanan dunia telah lama mengembangkan berbagai inovasi di subsektor perikanan budidaya.
Sebut saja Norwegia, menjadi negara eksportir perikanan terbesar kedua di dunia hanya dengan menguasai teknologi keramba jaring apung dan ikan salmon sebagai komoditas utamanya. Begitupun Vietnam dan Thailand di urutan ketiga dan keempat dunia dengan udang sebagai salah satu komoditas unggulannya.
Indonesia sendiri memiliki beragam komoditas perikanan budidaya. Mulai dari udang, kepiting, kerapu, serta berbagai jenis ikan air tawar hingga rumput laut. Celakanya, belum tergarap secara optimal. Saat ini, dari total 17,9 juta hektar potensi lahan perikanan budidaya di Indonesia—baik itu di perairan tawar, payau, maupun asin—baru 1,3 juta hektar saja yang termanfaatkan (KKP, 2018).
Sebagian lahan yang sudah dimanfaatkan juga belum sepenuhnya menghasilkan produk unggul karena terkendala minimnya inovasi pakan dan benih hingga terbatasnya infrastruktur dan sumber daya manusia.
Tantangan lainnya adalah memulihkan citra negatif perikanan nasional. Dalam 4,5 tahun terakhir, masyarakat dunia telah menyaksikan ketegasan Indonesia memberantas praktik perikanan ilegal tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUUF). Menenggelamkan lebih dari 400 kapal pencuri ikan. Melarang penggunaan alat tangkap merusak.

Menghentikan perdagangan kepiting bertelur dan benih lobster. Bahkan, membatasi penggunaan kapal ikan dan kapal angkut dengan bobot tertentu. Selain berdampak positif terhadap keberlanjutan sumber daya perikanan, keteladanan ini juga menyisakan persoalan.
Strategi monoton dan tidak seimbang antara pendekatan hukum dan pendekatan kesejahteraan telah menyebabkan sektor perikanan masih saja terkesan buruk: banyak pencuri ikan, banyak pengemplang pajak, banyak perusak lingkungan, banyak antek asing, dan puncaknya banyak ketidakpastian.
Tak heran, sebagian besar mahasiswa lulusan perikanan dan kelautan lebih memilih menjadi pegawai negeri sipil atau profesi swasta lainnya ketimbang berwirausaha di sekitar perikanan.
Peluang
Pada 2024, Indonesia sudah selayaknya menjadi negara industri perikanan ketiga terbesar di dunia. Indikatornya jelas: pendapatan tiap-tiap keluarga nelayan meningkat dengan batas terbawah tidak kurang dari Rp 3 juta per bulan. Konsumsi ikan warga di timur, tengah, dan barat Indonesia merata sekurang-kurangnya di angka 40 kilogram per kapita per tahun.

Nilai ekspor produk perikanan lompat ke 10 miliar dollar AS. Menyerap sedikitnya 2,5 juta tenaga kerja baru. Terakhir, rasio antara jumlah produksi dan potensi perikanan tangkap ataupun budidaya kian mendekati titik optimum.
Pekerjaan besar ini mustahil dilakukan hanya oleh pemerintah atau satu-dua asosiasi nelayan. Ke depan, peran utama pemerintah adalah memastikan terselenggaranya kolaborasi lintas sektor (25 kementerian/lembaga), lintas skala (kecil, sedang, besar), dan lintas proses (hulu-hilir).
Instruksi Presiden Joko Widodo No 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional sudah lebih dari cukup untuk mewadahi kerja kolaboratif ini. Ikhtiar lain juga dibutuhkan untuk memperkuat citra positif laut Indonesia.
Masyarakat dunia harus mengetahui bahwa aktivitas perikanan di Indonesia saat ini telah hijrah: dari ilegal menjadi legal. Dari sebelumnya tidak dilaporkan menjadi dilaporkan. Dari yang tidak diatur menjadi diatur.
Selain untuk mendukung diplomasi ekonomi ke negara-negara konsumen, kampanye positif ini sekaligus menjadi ”penanda” kepada generasi muda di dalam negeri—bahwa berwirausaha di laut adalah profesi yang menjanjikan. Terakhir, pengayaan inovasi.
Inovasi tidak harus berbiaya tinggi atau menggunakan teknologi impor. Sejumlah inovasi telah dikembangkan di Tanah Air. Mulai dari teknologi digital pemberian pakan ikan, skema online pasar ikan, hingga teknologi jaring apung lepas pantai sekelas Norwegia. Kesemuanya itu tinggal dieksekusi menjadi massal di pelosok negeri.
M Riza Damanik, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia