Rasa keadilan publik terusik saat mendengar putusan kasasi yang dijatuhkan Mahkamah Agung (MA) terhadap mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram, NTB, Baiq Nuril Maknun. Baiq dinyatakan bersalah telah menyebarkan rekaman bermuatan pelanggaran kesusilaan dan dihukum enam bulan penjara dan denda Rp. 500 juta dalam putusan kasasi  MA No. 574K/Pid.Sus/2018.

Baiq sungguh merasa diperlakukan tak adil lantaran dirinya sejatinya korban pelecehan yang dilakukan oknum atasannya. Baiq dilaporkan oknum atasannya dengan menggunakan dasar Pasal 27 Ayat (1) UU No 11 Tahun 2008 jo UU No 19 Tahun 2016  Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Beredarnya rekaman bermuatan pelanggaran kesusilaan itu dibebankan kepada Baiq. Padahal, rekaman itu disebarkan oleh rekannya IM, namun justru Baiq yang dilaporkan oleh mantan atasannya.
Ditinjau dari sudut subyek pelaku, tindakan yang didakwakan berdasarkan Pasal 27 Ayat (1) UU ITE itu sudah memerlihatkan dengan kasat mata terjadinya kesalahan subyek pelaku tindakan pidana (error in persona) jika dihubungkan dengan obyek perbuatan “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Memang, dalam kasus ini, ada pandangan kritis terhadap putusan MA itu. Seharusnya, majelis hakim MA berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Pasal 3 huruf b mengatur  bahwa hakim mengidentifikasi situasi perlakuan tak setara yang diterima perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Putusan atas Baiq secara filosofis memperlihatkan kondisi adanya kekurangan/ketidakcukupan yang ada dalam diri putusan hukum itu (non est propter defectum vel insufficientiam eius). Positivisme hukum sangat sering mengedepankan sisi prosedural dalam penegakan hukum yang dalam beberapa hal tak jarang menyebabkan apa yang pernah dikatakan Thomas Aquinas dalam bukunya Summa Theologiae, “apa yang dalam dirinya lebih jelas (quod est certius secundum naturam), bisa jadi menjadi kurang jelas (esse quod nos minus certum) karena kelemahan daya tangkap manusiawi (propter debilitatem intelectus nostri).
Membingungkan
Jika hanya mengandalkan proses formal ketiadaan laporan formal kepada penegak hukum oleh Baiq mengenai peristiwa hukum yang jadi esensi materi rekaman dan yang ada justru laporan dari oknum pelaku yang direkam, bisa menyebabkan situasi membingungkan (dubitatio).
Di sisi lain, cara hukum mengukur tindakan Baiq di ranah positivisme hukum telah menyentak rasa keadilan dan nalar publik bahwa ada sesuatu yang terlihat kurang dipertimbangkan dalam kasus yang menimpa Baiq.
Meski rangkaian proses penegakan hukum sejak penyidikan, penuntutan hingga pengadilan yang berujung pada penghukuman dinilai telah memenuhi nalar UU (legal reasoning), namun tak berhasil memenuhi “kebenaran” dari suatu natural human reason atau kebenaran logis.
Rasionalitas hukum pada titik ini justru bertentangan dengan rasionalitas akal budi meski telah dibingkai dalam kerangka norma-norma hukum yang menjadi dasar putusan kasasi MA itu.
Jika berkaca pada irah-irah putusan pengadilan yang menggunakan terminologi “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka putusan pengadilan dalam kasus Baiq sesungguhnya harus mampu melampaui batasan positivisme hukum yang membuka diri terhadap “pewahyuan” akan akal budi (par naturalem rationem). Di situlah sesungguhnya “ruang kosong” yang seharusnya diisi dengan keadilan hakiki.
Ketika putusan pengadilan itu diteropong dari kaca mata hukum kodrat (natural law) terlihat justru contra reason, sesungguhnya yang terjadi justru contra lex naturalis yang bisa berlanjut pada titik kronis contra terhadap etika dan moral.
Di sinilah sesungguhnya yang sedang dirasakan oleh publik atas kasus Baiq sebagai lonceng kematian rasionalitas dan keadilan substantif atas putusan pengadilan yang justru merasa sedang mempertahankan koherensi silogisme nalar dalam positivisme hukum dengan ketat.
Kini kian terasa keterbatasan gaung dari teori hukum yang selama ini menyatakan bahwa hakim hanyalah corong UU (bouche de la loi). ***