Secara politik, Pemilihan Presiden 2019 berakhir melalui pertemuan kedua kontestan pada 13 Juli lalu, yang menandai penerimaan (“concession”) dari Prabowo Subianto atas terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden terpilih periode 2019-2024.

Maka, dimulailah proses politik baru, yakni pembentukan kabinet yang nanti akan menjadi lokomotif dalam menjalankan pemerintahan periode kedua presiden Jokowi.
Pertanyaannya kini, apakah ada keperluan anggota koalisi Jokowi ditambah atau tidak, mengingat jumlah kursi DPR yang dikuasai sudah mencapai lebih dari 60 persen dengan jumlah partai lebih dari separuh (lima partai) dari partai-partai yang lolos ke Senayan.
Karena soliditas koalisi presidensial biasanya tak sekuat koalisi sistem parlementer, ada setidaknya tiga alasan yang membuat koalisi Jokowi mungkin perlu ditambah. Ketiga alasan itu presidensialisasi koalisi, presidensialisasi parpol di parlemen, dan alasan lain.
Pada saat yang sama, ada alasan untuk membatasi jumlah anggota koalisi pemerintahan demi lebih sehatnya demokrasi ke depan. Oposisi yang signifikan tetap diperlukan agar pemerintahan berjalan efektif.
Presidensialisasi koalisi dan presidensialisasi parpol
Isu koalisi mengemuka dalam sistem presidensial karena adanya sistem multipartai. Presiden terpilih biasanya didukung partai yang memiliki kursi minoritas di parlemen, meskipun partai itu menjadi pemenang pemilu. Selama 15 tahun terakhir sistem pemerintahan Indonesia, hal inilah yang berlaku.
Di periode pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), partai presiden hanya memiliki sekitar 10 persen kursi DPR. Di periode kedua SBY, Partai Demokrat, meski jadi pemenang pemilu, hanya memiliki 26 persen kursi DPR.
Partai Presiden Jokowi (PDI-P) di periode 2014-2019 hanya memiliki kekuatan 19 persen kursi DPR meski menjadi pemenang pemilu. Agar dukungan terhadap Presiden menjadi mayoritas di DPR, diperlukan koalisi.
Isu koalisi juga mengemuka dalam sistem parlementer bila memiliki sistem multipartai. Jadi koalisi itu bukanlah pembeda sistem presidensial dengan sistem parlementer. Isu koalisi ada karena adanya sistem multipartai, apapun sistem pemerintahannya.
Dalam sistem parlementer, koalisi diperlukan untuk membentuk pemerintahan. Konsekuensinya bila koalisi pecah, pemerintahan juga pecah. Kalau partai membelot, dia juga kena getahnya. Karenanya soliditas koalisi lebih kuat.
Dalam sistem presidensial, koalisi diperlukan bukan untuk membentuk pemerintahan, tapi untuk menjalankan pemerintahan. Presiden, tetap dapat membentuk pemerintahan walaupun dia tidak punya dukungan mayoritas di lembaga legislatif/parlemen.
Tapi Presiden memerlukan dukungan mayoritas anggota parlemen untuk menjalankan agenda-agenda pemerintahan karena fungsi-fungsi pemerintahan seperti membuat undang-undang, membuat anggaran negara (APBN), mengawasi jalannya program pemerintah, dan lainnya, semuanya melibatkan parlemen.
Dengan berkoalisi, ada semacam jaminan bagi Presiden bahwa agenda pemerintahannya akan berjalan tanpa banyak rintangan. Jadi koalisi presidensial fungsinya bukan untuk membentuk pemerintahan, tapi untuk menjalankan pemerintahan.
Konsekuensinya, soliditas koalisi presidensial tidak sekuat koalisi parlementer. Bila ada anggota koalisi yang membelot, dalam isu atau kebijakan tertentu, pemerintahan tidak bubar seperti dalam koalisi parlementer.
Maka, potensi anggota koalisi untuk tidak seratus persen mendukung Presiden, sangat mungkin. Kalau membelot, anggota koalisi paling-paling menerima sanksi dan pemerintahan tetap berjalan.
Anggota koalisi yang membelot dalam satu kebijakan, mungkin tetap diperlukan Presiden untuk kebijakan lainnya, sehingga biasanya tidak dihukum dengan cara didepak keluar.
Mengapa mungkin membelot atau tidak seratus persen bersama Presiden? Pertama, karena ada fenomena presidensialisasi koalisi. Prinsip dasar sistem presidensial adalah keterpisahan eksekutif dan legislatif. Dalam koalisi banyak partai, Presiden berasal dari partai lain, sementara sebagian besar pendukungnya di parlemen berasal dari partai yang lain pula.
Maka sulit untuk selalu mengontrol anggota partai-partai itu untuk selalu bersama Presiden. Atau sebaliknya, sulit bagi partai-partai itu untuk selalu memengaruhi atau bahkan mengontrol Presiden. Maka sangat mungkin terjadi ketidakcocokan kepentingan dan agenda politik. Apalagi bila kepentingan tersebut terkait dengan eksistensi partai.
Misalnya, kalau Presiden ingin dengan keras memenjarakan siapa saja tokoh-tokoh penting yang korup, bila sang tokoh adalah penyumbang utama dana partai tertentu, partai yang bersangkutan tentu akan melawan. Biasanya masalah ini diatasi dengan menempatkan orang penting partai di kabinet.
Akan lebih kuat lagi kalau ketua umum partai yang memegang posisi tersebut. Akan terjadi saling kontrol secara mutualistis. Presiden mengontrol partai melalui anggota kabinet tersebut, sebaliknya partai bisa mempengaruhi dan mengontrol Presiden melalui orang yang sama.
Namun ini tidak seratus persen memecahkan masalah. Akan sulit bagi Presiden untuk membentuk kabinet yang hanya terdiri dari orang-orang partai. Ada banyak profesional non-partai yang menjadi anggota kabinet, seperti sudah kita alami sejak periode pertama SBY.
Potensi ketidakcocokan Presiden dengan partai anggota koalisi tetap tinggi, sehingga potensi pembelotanpun tetap tinggi. Pengalaman kabinet presidensial selama 15 tahun terakhir dengan gamblang menunjukkan hal ini.
Faktor kedua yang membuat soliditas koalisi presidensial tidak sekuat koalisi parlementer adalah fenomena presidensialisasi partai politik di parlemen. Karena prinsip dasar sistem presidensial adalah keterpisahan eksekutif dan legislatif, maka potensi ketidakcocokan antara presiden bahkan dengan partainya sendiri juga tetap ada.
Potensi ini bisa menjadi lebih tinggi bila presiden bukan figur utama partai (ketua umum) atau bukan pengambil keputusan utama di partai. Tidak mudah bagi presiden untuk seratus persen meminta partainya mendukung dia terus.
Sebaliknya partai sang presiden bisa tidak setuju atau bahkan berbeda dengan presiden terutama bila ada anggota kabinet dari luar partai tersebut yang tidak disukai oleh partai karena berbagai alasan.
Contoh presidensialisasi partai ini sudah terjadi di periode pertama Presiden Jokowi. Meskipun tidak sampai berujung pada pembelotan, sangat jelas ada ketidakcocokan antara PDIP dan presiden mengenai Menteri BUMN Rini Sumarno, seperti banyak diberitakan media massa.
Dilaporkan oleh situs online Detik pada 13 Juli 2017 misalnya, PDIP meminta Menteri Rini dicopot dari jabatannya. Presiden, seperti kita tahu tetap mempertahankan yang bersangkutan hingga kini.
Menyelesaikan masalah tidak solidnya koalisi presidensial melalui penempatan orang partai di kabinet, tidak sepenuhnya tuntas. Menempatkan seratus persen orang partai di kabinet tampaknya juga bukan solusi yang masuk akal. Akibatnya, solusi umum yang dipakai adalah membuat koalisi menjadi oversized (bisa mencapai sampai 70%), bukan koalisi ramping (minimum winning coalition).
Inilah yang juga terjadi selama limabelas tahun terakhir pemerintahan presidensial di negara kita. Dengan koalisi besar, maka bila ada satu atau dua anggota koalisi membelot dalam kebijakan tertentu, presiden tetap bisa meloloskan agendanya dengan jumlah anggota koalisi yang tersisa.
Dari hasil Pemilu 2019, partai-partai yang mendukung Jokowi diperkirakan memiliki kursi lebih dari 60 persen di DPR. Tapi, jumlah partainya hanya lima dari sembilan yang lolos ke Senayan. Dari segi jumlah partai, koalisi Jokowi adalah koalisi ramping. Bila satu saja dari partai-partai ini membelot dalam kebijakan tertentu, sulit baginya untuk tetap melaju.
Menghitung jumlah partai juga penting di DPR, karena jumlah fraksi (partai di DPR) juga ikut memengaruhi proses pengambilan keputusan, bukan hanya berdasarkan jumlah anggota. Dalam tata tertib DPR, misalnya, ditentukan bahwa rapat-rapat di DPR dapat dilaksanakan bila dihadiri lebih dari separuh anggota yang terdiri lebih dari separuh fraksi. Fraksi adalah nama lain dari partai di DPR.
Inilah alasan mengapa, sangat mungkin Jokowi ingin atau perlu menambah jumlah partai anggota koalisinya. Tambahan partai menjadi misalnya enam atau tujuh, akan memungkinkan Presiden berjaga-jaga kalau ada partai yang membelot dalam kebijakan tertentu. Dengan kata lain, berjaga-jaga dari kemungkinan tidak kuatnya soliditas koalisi.
Mungkin ada alasan lain yang membuat Jokowi akan berpikir menambah anggota koalisi. Ada spirit menjalankan negara secara gotong royong. Yang lebih kontekstual lagi, ada semacam keperluan untuk menyatukan kembali bangsa ini setelah terpolarisasi melalui pilpres selama lebih dari empat tahun terakhir.
Mengajak partai yang selama pilpres menjadi lawan untuk bergabung dalam kabinet bisa menjadi pilihan. Ia akan memberikan simbol yang cukup kuat akan adanya upaya penyatuan kembali tersebut. Tapi, secara keseluruhan, karena fungsinya untuk menjalankan pemerintahan, koalisi presidensial adalah pilihan, tergantung kepada gaya kepemimpinan presiden.
Ekstremnya, bisa saja Presiden tidak membentuk koalisi. Bila ini yang dipilih, maka Presiden harus bekerja cukup keras untuk mendapatkan dukungan atas berbagai kebijakannya di parlemen dengan cara mengupayakan dukungan tersebut kasus per kasus. Ini bisa disebut sebagai koalisi ad hoc, atau koalisi eceran. Berdasarkan pengalaman sistem presidensial di banyak negara, model koalisi ad hoc ini jarang dipilih.
Oposisi harus ada
Bila koalisi sebetulnya adalah pilihan, karena kita menganut sistem demokrasi, maka oposisi harus ada. Kekuatannya harus cukup signifikan. Ini bukan soal istilah oposisi ada dalam konstitusi atau tidak. Dalam demokrasi, ada fungsi oposisi.
Oposisi diperlukan agar presiden mendapatkan kritik yang substantif dan kuat dalam mengusulkan kebijakan-kebijakannya. Bila oposisi lemah, apalagi tidak ada, maka akan terjadi imperial president, yang bisa melakukan apa saja karena kemungkinan besar didukung parlemen, atau dilawan oleh oposisi yang mudah diabaikan.
Selain itu, oposisi juga melambangkan suara-suara kritis di masyarakat. Aspirasi kritis ini perlu mendapatkan saluran resmi di parlemen. Ini untuk memastikan bahwa presiden bekerja untuk seluruh rakyat, bukan hanya untuk pendukungnya.
Berdasarkan data survei SMRC selama empat tahun terakhir, ada sekitar rata-rata 30 persen warga menyatakan tidak puas dengan kinerja presiden. Dengan kata lain, ada potensi oposisi sekitar 30 persen kurang lebih di masyarakat. Kekuatan oposisi, paling tidak menggambarkan potensi suara oposisi di masyarakat tersebut.
(Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif SMRC; Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina)