Requiem Senja Arswendo
Oleh : Muhidin M. Dahlan *)
SAAT tirai senja 19 Juli turun dari langit Jakarta bagian selatan, drama hidup yang penuh onak dari penulis prolifik Arswendo Atmowiloto berakhir selamanya.
—
Jika kamu selalu bilang senja itu begitu romantik, yang saya ingat dari Arswendo adalah cerpennya yang justru menampik semua romansa itu. Sebagaimana duka dan air mata di senja Jumat, inilah, pinjam judul cerpen Wendo yang dimuat di mingguan Mahasiswa Indonesia edisi 25 Januari 1970, hlm VIII, ’’Sendja jg. Paling Tidak Menarik”.
’’Masih sendja, aku membawa beberapa naskah komik, duduk dimedja seorang penerbit”.
Itu paragraf pembuka cerita pendek tersebut. Dan, tahukah kamu, cerita itu adalah biografi penulisnya sendiri yang berjibaku menggambar dan oleh redaktur penerbit ’’dipaksa” menulis prosa.
Bahkan, tulisan yang dianggap si penulis sebagai yang terbaik pun ditolak. Baca akhir cerita ’’Sendja” yang justru tidak menarik itu: ’’Ini hanja mentjeritakan diri sendiri. Semuanja kok mengenai penulisnja”.
Cerita itu adalah permulaan dari peneguhan keras kepala seorang penulis belia menghadapi benteng karang dari hati seorang redaktur koran dan penerbitan.
Menulis buat Wendo –sapaan akrab Arswendo– sesungguhnya adalah pemadatan dari biografinya. Ia melewati semua proses panjang bagaimana seorang penulis menggapai kesuksesan lewat jalan makadam dan berlubang.
Terbentur oleh penolakan, ia meyakinkan dirinya, menulis adalah jalan yang mestinya memakmurkan penulisnya. Bukan sebaliknya. Maka, seluruh daya budi yang dipunyainya lewat jalan otodidak mesti dikerahkan hingga titik renggangnya paling maksimal.
Kata-katanya yang legendaris, ’’mengarang itu gampang”, adalah siasat-ke-dalam untuk meyakinkan kepada dirinya sendiri bahwa menulis mesti dijalankan secara profesional. Karena ditempuh secara profesional, mestinya gampang. Sekali lagi, gampang dan bukan gampangan. Kenyataannya, memang tidak pernah gampang.
Karena itu, ia tak pernah membatasi diri hanya menulis jenis tulisan ’’adiluhung” lewat permenungan berbulan-bulan di atas Lawu. Atau, melulu sastra. Semua yang membutuhkan tulisan, pastilah Wendo selami. Ke-49 karya Wendo adalah bukti ikhtiar besar itu.
Ia selami dunia prosa dengan berbagai genre (komedi, cerita keluarga, cerita anak, silat, roman, novelet), sebagaimana ia intim menggarap sandiwara dan skenario film dan televisi. Atau, mengubah naskah skenario menjadi novel. Ada nama tebal Arswendo Atmowiloto van Surakarta, misalnya, di balik pembukuan skenario film legendaris sepanjang masa: Pengkhianatan G30S/PKI. Di balik tak lekangnya ’’sinetron” Keluarga Cemara, cap nama Arswendo juga terpacak.
Tumbuh dari bawah sebagai penulis membawanya menjadi jurnalis. Terutama sekali, nah ini dia, jurnalis lheeer.
Dunia jurnalistik tidak saja menempatkan Wendo semata penulis, tapi juga penanggung jawab. Pada tangannya, ada rajah kesuksesan. Ia menjadi arsitek dari cerita sukses majalah remaja, Hai. Juga, di tangannyalah cerita tabloid Monitor yang hampir limbung bisa terkerek kembali. Di tangan si raja midas media lheeer itu, Monitor nyaris menembus oplah satu juta eksemplar.
Justru, di situ titik baliknya. Tabloid Monitor yang dikereknya habis-habisan itu pada awal ’90 justru mengempaskannya ke dalam dinginnya bui setelah melewati drama amarah jalanan yang mengutuknya sebagai wajah jelaga penghina Islam.
Monitor mati, Wendo tidak. Media bisa sangsai, jurnalisnya yang berkeyakinan bahwa menulis adalah anugerah yang tak bisa dibatasi oleh media tetap tegak. Penjara, bagi Wendo, adalah pengalaman biografis yang justru memperkaya dan bukan memiskinkannya. Bahkan, penjara memberinya bahan-bahan baru yang memikat yang kemudian melahirkan buku Khotbah di Penjara.
Saya kerap dibekap iri berlarat-larat atas sosok yang tumbuh dari kota literer yang melahirkan banyak koran dan penulis ini, Surakarta. Sebagaimana mazhab menulisnya, ’’mengarang itu gampang”, ia tak punya beban menyelami dunia tema yang bahkan jauh dari ideologi tertentu. Wendo adalah anak kandung dari dunia populer; dari sastra hingga sandiwara; dari budaya jurnalistik populer (tabloid dan majalah) hingga film dan televisi (sinetron). Tulisannya ringan, lucu, tapi punya gereget. Juga, bisa sangat tebal, seperti cerita silat Senopati Pamungkas.
Sebagaimana buku tebal yang sambung-menyambung di koran harian maupun majalah dan tabloid, jalan hidup Arswendo juga menemukan titik pemungkasnya. Senopati dunia tulis-menulis dari Surakarta ini berhenti di usia yang ke-70 pada senja di Jumat Kliwon, 16 Sela 1952, pada kalender Jawa. (*)
*) Pendiri @radiobuku dan @warungarsip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar