Meski tercantum di konstitusi sebagai badan usaha yang diharapkan jadi tulang punggung ekonomi nasional, peran koperasi jauh panggang dari api.
Memang jumlah koperasi di Indonesia terbesar di dunia, sekitar 150.000, tetapi hingga 2017 kontribusi ke PDB masih kecil, 4,99 persen (Kemenkop, 2018). 

Koperasi tak akan bisa jadi tulang punggung karena prasyarat tak diadakan dan komitmen politik negara ke arah sana hampir tak ada.
Dampak buruknya nyata: pembangunan tumbuh tanpa pemerataan, jurang miskin-kaya kian menganga. Indeks rasio Gini 0,389 dan kondisi ketimpangan 2017, yaitu 10 persen populasi menguasai 77 persen kekayaan nasional (BPS 2018), adalah fakta untuk dicari terobosan solusi.
Pada 1 Juni 1945, Bung Karno sudah menyuarakan kerisauan dan kegeraman terhadap fakta demokrasi politik yang tak membawa dampak kemakmuran bagi rakyat kebanyakan. Dia mengajukan tesis perlunya demokrasi ekonomi untuk menghindarkan kondisi kaya makin kaya, miskin kian tertinggal.
Solusinya disebut sosio-demokrasi, demokrasi politik dan demokrasi ekonomi berjalan beriringan, saling memperkuat sebagaimana dikonsepkan jadi sila 4 dan 5 Pancasila. Sayangnya, salah satu alat perjuangan, yaitu koperasi, tak berkembang sepesat BUMN dan swasta.
Ada desain politik sehingga koperasi tetap marginal, tak berkembang dan (di)gagalkan jadi penguasa perekonomian nasional. Koperasi terkunci di sektor simpan pinjam, tak bisa masuk ke sektor-sektor penting, seperti perbankan, produksi, distribusi, retail, dan energi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Koperasi Indonesia tak bisa mendirikan bank seperti di Jerman atau mengendalikan BUMN, misalnya mengurusi penyediaan energi listrik perdesaan seperti koperasi National Rural Electricity Co-operative Association atau mengelola rumah sakit, seperti Group Health Co-operative (GHC). Kedua koperasi itu ada di AS.
Jika kondisi saat ini diteruskan, koperasi di Indonesia tak akan bisa besar karena ada subordinasi dan marginalisasi koperasi dibandingkan BUMN dan perseroan/swasta yang tak mengalami pembatasan-pembatasan. Jika negara serius ingin mewujudkan pemerataan, keadilan sosial, kedaulatan energi, pangan, keuangan dan perbankan, koperasi harus dibesarkan untuk ”ikut” mengontrol perekonomian nasional.
Demokrasi ekonomi
Kita ingin setiap rakyat berdaulat, secara politik, sosial, dan ekonomi. Di situ tercapai kesejahteraan (Soekarno, 1 Juni 1945). Soekarno menekankan nilai keadilan (justice) di sila kelima dioperasionalkan dalam konsep demokrasi ekonomi sehingga berdampak pada pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Dalam konsep ini ada jaminan persamaan hak bagi setiap warga untuk turut terlibat secara partisipatif dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, maupun konsumsi.
Pembatasan ruang usaha oleh koperasi di berbagai UU mengindikasikan demokrasi ekonomi belum dinikmati warga yang memperjuangkan kesejahteraannya lewat koperasi. Partisipasi yang bermakna dari koperasi bisa diukur dari kekuatan kontrol atas sumber daya ekonomi yang ada.
Asas koperasi ”one man one vote” itulah yang memungkinkan prinsip ”satu untuk semua, semua untuk semua” sebagaimana dipidatokan Soekarno pada 1 Juni 1945 bisa diwujudkan.
Analog dengan pemikiran di atas, koperasi harus dibebaskan dari pembatasan, pengucilan, diskriminasi, dan alienasi melalui revolusi berdasarkan Pancasila sehingga keadilan sosial bisa diwujudkan (Soekarno, 1945).
Revolusi untuk memperkuat koperasi agar bisa jadi soko guru perekonomian adalah melalui perombakan berbagai UU yang selama ini membentuk sistem yang menekan koperasi.
Di Jerman, koperasi bisa ”mengontrol” sektor perbankan hingga 72 persen karena ada 17 UU yang memberikan penguatan dan pemberdayaan kepada koperasi, termasuk di perbankan. Sementara di UU Perbankan kita (yang dihadapkan pada isu kedaulatan keuangan), koperasi hanya diposisikan sebagai penerima CSR dan tak diperkenankan mendirikan bank sebagaimana di Jerman.
Di Jepang, koperasi ”dikuatkan” oleh tujuh UU yang memungkinkan ia berada di arus utama perekonomian, misalkan dengan ”mengontrol” tata kelola beras. Kunci kesejahteraan petani beras yang tinggi di Jepang karena ”kedaulatan” memang di tangan para petani lewat koperasi produksi di sektor beras, bukan di tangan tengkulak yang berpraktik seperti mafia seperti di Indonesia.
Koperasi konsumen di Singapura mampu mengontrol hampir 63 persen bisnis retail sehingga mampu menghalau mafia pangan yang mempermainkan harga di pasar. Singapura tak mengenakan pajak ke koperasi konsumen karena misi badan usaha ini memang bukan mengejar keuntungan semata, tapi memberikan pelayanan kemakmuran bagi anggota.
Kebijakan afirmasi ke koperasi juga diberikan Pemerintah Filipina yang selain membebaskan pajak koperasi, juga membebaskan bea masuk barang-barang modal yang diperlukan para anggotanya untuk menjalankan usaha (Suroto, 2019).
UU tak memadai
Koperasi Indonesia bagaikan hidup segan, tapi mati dilarang konstitusi akibat tak punya UU yang memadai yang dibutuhkan untuk jadi soko guru. Dinamika pembahasan revisi UU Koperasi di DPR saat ini justru mendatangkan pesimisme para idealis aktivis dan penggerak koperasi yang progresif.
Draf awal dari pemerintah yang dipandang relatif ideal banyak berubah dalam pembahasan di pansus dan ada potensi digugat kembali ke MK. Tiga alasan pembatalan oleh MK yang lalu tampaknya masih akan jadi kelemahan di draf revisi yang sedang dibahas di panja, yaitu tiadanya rekognisi koperasi sebagai organisasi otonom, tiadanya penekanan kekhususan koperasi selain sekadar badan usaha (yang mengejar profit semata), dan tiadanya proteksi negara terhadap prinsip dan nilai koperasi.
Penguatan koperasi hal mutlak karena amanat konstitusi mengingat koperasi adalah alat mewujudkan sila kelima, keadilan sosial. Salah satu cara revolusioner untuk mencapai tujuan itu adalah mengambil alih proses pembahasan RUU di DPR dan menjadikannya sebagai RUU pengganti UU kecuali panja bisa menjamin isi UU-nya mendukung tujuan di atas.
Cara revolusioner kedua, tak perlu ada UU sekalian kalau keberadaannya bersifat kontra faktual sehingga pengaturan koperasi bisa menggunakan keppres. Ini mungkin lebih efektif mengingat penguatan koperasi memang urusan banyak sektor dan pihak sehingga perlu sistem koordinasi untuk menggerakkan para pihak itu.
(Eva Kusuma Sundari , Anggota Komisi XI Fraksi PDI-P; Anggota Pengawas International Cooperative Alliance )