Selasa 16 Juli 2019, 11:50 WIB
Visi Jokowi 2019-2024: Tanpa Beban, Tapi Memperpanjang Konflik
Presiden Republik Indonesia telah terpilih dan Presiden Joko Widodo juga telah menyampaikan pidato visi Indonesia 2019-2024, Minggu (14/7) malam di SICC Bogor, Jawa Barat. Selama pidato presiden berlangsung, setidaknya telah terangkum cukup banyak hal mengenai peluang dan tantangan ihwal pembangunan Indonesia ke depan.
Presiden terpilih Joko Widodo membuka dengan pentingnya memahami dan menyadari kondisi global dengan perpindahan yang cepat, kompleks, dan sulit terkalkulasikan. Oleh sebab itu, Presiden mengungkapkan pentingnya model, cara, dan nilai yang baru. Hal ini demi mewujudkan Indonesia sebagai negara yang adaptif, produktif, inovatif, dan kompetitif.
Jokowi menyampaikan, dalam mendukung kebaruan model, cara ,dan juga nilai ini setidaknya ada lima tahapan besar yang akan ditempuh dalam lima tahun kepemimpinannya kelak. Pertama, pembangunan infrastruktur. Kedua, perbaikan sumber daya manusia (SDM). Ketiga, mempermudah laju investasi. Keempat, urgensi reformasi birokrasi. Kelima, APBN tepat sasaran.
Namun dalam pemaparan selama 23 menit tersebut, ada beberapa fakta yang muncul dan perlu diperhatikan berkaitan dengan lima tahapan Besar Visi Indonesia 2019.
Tak Ada Perubahan Berarti
Kelima tahapan tersebut bukanlah hal yang baru jika dibandingkan dengan Program Nawacita selama kepemimpinan periode 2014-2019. Secara implisit pemaparan visi Indonesia memang terdengar seperti upaya melanjuti program-program pembangunan pada periode sebelumnya.
Terbukti dari 5 tahapan yang dikemukakan Jokowi, hanya tahapan kelima yang belum tercantum dalam Program Nawacita. Tahapan pertama misalnya, pembangunan infrastruktur telah hadir dalam program Nawacita ketiga, yakni Pembangunan Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah. Lalu, perbaikan SDM sebagai kunci dalam menjawab tantangan kompetisi global juga telah tertuang dalam Program Nawacita kelima, perihal peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia.
Demikian pula dengan mempermudah laju investasi, sudah tertuang dalam Program Nawacita keenam, perihal meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Dan, urgensi reformasi birokrasi merupakan kelanjutan dari program Nawacita kedua perihal membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
Jadi, jika yang diharapkan adalah model, nilai, dan kebaruan cara. Sesungguhnya tak ada kebaruan berarti dalam tahapan yang akan dilakukan Jokowi dalam periode kepemimpinan berikutnya.
Kelugasan Soal Investasi
Hal yang sesungguhnya menjadi pembeda adalah pemaparan Jokowi terlihat tanpa beban dan secara blak-blakan malahan mengungkapkan satu poin penting yang ingin ia tingkatkan melalui kelima tahapan besar pada periode kedua kepemimpinannya, yakni investasi.
Meski secara terpisah dipaparkan pada tahapan ketiga, poin perihal investasi tetap ditekankan pada setiap tahapan yang dikemukakan oleh Jokowi dalam Pidato Visi Indonesia 2019-2024. Secara lugas Jokowi mengulang bagaimana urgensi dari upaya menciptakan atmosfer yang kondusif bagi iklim investasi di Indonesia. Bahkan secara tegas Jokowi mengungkapkan bahwa ia akan memangkas segala hal yang menghambat investasi.
Sebagai contoh pembangunan infrastruktur guna menyambungkan, kawasan produksi, industri kecil hingga ke kawasan pariwisata tidak lain adalah mempermudah produktivitas yang mengundang investor. Selain itu statementpemangkasan dalam setiap investasi juga akan diperkuat oleh tahapan reformasi birokrasi yang mempermudah perizinan investasi dalam segala ranah. Hal ini tersampaikan dalam Musrembang Nasional 2019 --"Kalau perlu nggak pakai izin, izinnya diberikan kemudian, jengkel saya, tidak bisa menyelesaikan yang sudah kelihatan."
Tahapan kedua mengenai SDM juga di menuangkan upaya Jokowi dalam menyiapkan berbagai lembaga pendidikan vokasi. Hal ini demi mempersiapkan pekerja terdidik, untuk melengkapi lapangan kerja yang hadir yang pasca meningkatnya angka investasi di Indonesia.
Kelugasan Jokowi dalam penyusunan tahapan ini sesungguhnya akan mempermudah program lima tahun ke depan. Tahapan-tahapan yang dipersiapkan Jokowi akan menghadirkan dampak yang dapat dikalkulasi secara materiil melalui indeks pembangunan, indeks pendidikan, indeks peningkatan lapangan kerja, indeks kesejahteraan hingga, indeks pertumbuhan ekonomi. Tak akan ada program yang tidak terkalkulasi secara materiil, seperti Program Nawacita yang lebih banyak berkutat di wilayah ideologi.
Pelanggaran HAM, Konflik Agraria, Krisis Ekologi
Hal yang tidak boleh kita lupakan adalah konflik yang pasti hadir dalam tahapan besar selama lima tahun ke depan. Narasi yang keras perihal upaya mendukung investasi ini tak akan berjalan tanpa tantangan. Seperti yang terjadi pada periode yang lalu, program pembangunan infrastruktur dan investasi akan menjadi tahapan yang paling krusial. Hal ini disebabkan banyaknya angka konflik yang melibatkan aktor negara dengan masyarakat sebagai korban, yang tentu berkemungkinan besar juga terulang kembali pada periode terakhir.
Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada awal kepemimpinan Jokowi telah tercatat rekor 215 konflik agraria yang disebabkan oleh pembangunan infrastruktur. Meski telah terjadi penurunan angka konflik agraria di sektor infrastruktur. Hal ini tidak disebabkan oleh penurunan konflik atau perubahan pendekatan yang ditempuh oleh pemerintah pada periode pertama Jokowi, melainkan di tahun lalu kebanyakan proyek telah menempuh tahap konstruksi.
Hal ini menjadikan persoalan infrastruktur,tidak lagi berkutat pada fase konflik pengadaan tanah dan pembebasan lahan, namun sekali lagi KPA mengungkapkan bahwa unsur pelanggaran HAM yang terjadi tidak juga hilang.
Tak hanya persoalan infrastruktur, persoalan investasi pun masih menimbulkan konflik berkepanjangan yang tak juga selesai. Sebagai contoh di sektor investasi perkebunan pada 2018 telah melahirkan 144 konflik agraria di Indonesia, disusul investasi di sektor properti sebanyak 137 konflik 53 sektor pertanian, lalu sisanya 77 konflik hadir dari sektor Pertambangan, kelautan, pertanian yang juga melibatkan investasi asing.
Selain pelanggaran HAM dan konflik agraria, krisis ekologi juga berpotensi meningkat dalam lima tahun ke depan. Salah satu krisis paling krusial adalah krisis air di daerah pariwisata. Sebagai contoh adalah data yang disampaikan oleh Bali Water Protection yang mengungkapkan pesatnya pembangunan pariwisata membuat Bali tidak akan bertahan hingga 10 tahun lagi.
Hal tersebut tergambar dari fakta mengeringnya 260 dari total 400 sungai yang ada di Bali, yang disebabkan oleh konsumsi air di sektor pariwisata yang mencapai 3 juta liter per hari. Hingga diperkirakan, jika pembangunan yang masif tanpa memerhatikan dampak ekologis ini terus berlanjut pada 2025 Bali berpotensi tidak akan memiliki ketersediaan air tawar untuk dikonsumsi.
Jika pembangunan di sektor pariwisata dan sektor industri berlanjut secara masif di tempat-tempat lain, tentu Bali tidak akan menjadi satu-satunya pulau yang akan menanggung dampak destruksi ekologis.
Persoalan ini menjadi tantangan yang tak boleh diabaikan, karena peningkatan ekonomi tak akan mampu memulihkan dampak kerusakan yang masif. Fakta-Fakta di atas sesungguhnya memberikan gambaran bahwa langkah Jokowi yang terlihat tanpa beban dalam pengembangan investasi dan pembangunan berpotensi memperpanjang deretan konflik dan krisis yang telah hadir dalam lima tahun belakangan. Untuk itu diperlukan kerja kolektif dan sistemik oleh para kabinet periode 2019-2024 kelak dalam mensukseskan visi presiden Jokowi ke depan sebagai bagian dari visi rakyat Indonesia bersama.
Kelima tahapan tersebut bukanlah hal yang baru jika dibandingkan dengan Program Nawacita selama kepemimpinan periode 2014-2019. Secara implisit pemaparan visi Indonesia memang terdengar seperti upaya melanjuti program-program pembangunan pada periode sebelumnya.
Terbukti dari 5 tahapan yang dikemukakan Jokowi, hanya tahapan kelima yang belum tercantum dalam Program Nawacita. Tahapan pertama misalnya, pembangunan infrastruktur telah hadir dalam program Nawacita ketiga, yakni Pembangunan Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah. Lalu, perbaikan SDM sebagai kunci dalam menjawab tantangan kompetisi global juga telah tertuang dalam Program Nawacita kelima, perihal peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia.
Demikian pula dengan mempermudah laju investasi, sudah tertuang dalam Program Nawacita keenam, perihal meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Dan, urgensi reformasi birokrasi merupakan kelanjutan dari program Nawacita kedua perihal membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
Jadi, jika yang diharapkan adalah model, nilai, dan kebaruan cara. Sesungguhnya tak ada kebaruan berarti dalam tahapan yang akan dilakukan Jokowi dalam periode kepemimpinan berikutnya.
Kelugasan Soal Investasi
Hal yang sesungguhnya menjadi pembeda adalah pemaparan Jokowi terlihat tanpa beban dan secara blak-blakan malahan mengungkapkan satu poin penting yang ingin ia tingkatkan melalui kelima tahapan besar pada periode kedua kepemimpinannya, yakni investasi.
Meski secara terpisah dipaparkan pada tahapan ketiga, poin perihal investasi tetap ditekankan pada setiap tahapan yang dikemukakan oleh Jokowi dalam Pidato Visi Indonesia 2019-2024. Secara lugas Jokowi mengulang bagaimana urgensi dari upaya menciptakan atmosfer yang kondusif bagi iklim investasi di Indonesia. Bahkan secara tegas Jokowi mengungkapkan bahwa ia akan memangkas segala hal yang menghambat investasi.
Sebagai contoh pembangunan infrastruktur guna menyambungkan, kawasan produksi, industri kecil hingga ke kawasan pariwisata tidak lain adalah mempermudah produktivitas yang mengundang investor. Selain itu statementpemangkasan dalam setiap investasi juga akan diperkuat oleh tahapan reformasi birokrasi yang mempermudah perizinan investasi dalam segala ranah. Hal ini tersampaikan dalam Musrembang Nasional 2019 --"Kalau perlu nggak pakai izin, izinnya diberikan kemudian, jengkel saya, tidak bisa menyelesaikan yang sudah kelihatan."
Tahapan kedua mengenai SDM juga di menuangkan upaya Jokowi dalam menyiapkan berbagai lembaga pendidikan vokasi. Hal ini demi mempersiapkan pekerja terdidik, untuk melengkapi lapangan kerja yang hadir yang pasca meningkatnya angka investasi di Indonesia.
Kelugasan Jokowi dalam penyusunan tahapan ini sesungguhnya akan mempermudah program lima tahun ke depan. Tahapan-tahapan yang dipersiapkan Jokowi akan menghadirkan dampak yang dapat dikalkulasi secara materiil melalui indeks pembangunan, indeks pendidikan, indeks peningkatan lapangan kerja, indeks kesejahteraan hingga, indeks pertumbuhan ekonomi. Tak akan ada program yang tidak terkalkulasi secara materiil, seperti Program Nawacita yang lebih banyak berkutat di wilayah ideologi.
Pelanggaran HAM, Konflik Agraria, Krisis Ekologi
Hal yang tidak boleh kita lupakan adalah konflik yang pasti hadir dalam tahapan besar selama lima tahun ke depan. Narasi yang keras perihal upaya mendukung investasi ini tak akan berjalan tanpa tantangan. Seperti yang terjadi pada periode yang lalu, program pembangunan infrastruktur dan investasi akan menjadi tahapan yang paling krusial. Hal ini disebabkan banyaknya angka konflik yang melibatkan aktor negara dengan masyarakat sebagai korban, yang tentu berkemungkinan besar juga terulang kembali pada periode terakhir.
Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada awal kepemimpinan Jokowi telah tercatat rekor 215 konflik agraria yang disebabkan oleh pembangunan infrastruktur. Meski telah terjadi penurunan angka konflik agraria di sektor infrastruktur. Hal ini tidak disebabkan oleh penurunan konflik atau perubahan pendekatan yang ditempuh oleh pemerintah pada periode pertama Jokowi, melainkan di tahun lalu kebanyakan proyek telah menempuh tahap konstruksi.
Hal ini menjadikan persoalan infrastruktur,tidak lagi berkutat pada fase konflik pengadaan tanah dan pembebasan lahan, namun sekali lagi KPA mengungkapkan bahwa unsur pelanggaran HAM yang terjadi tidak juga hilang.
Tak hanya persoalan infrastruktur, persoalan investasi pun masih menimbulkan konflik berkepanjangan yang tak juga selesai. Sebagai contoh di sektor investasi perkebunan pada 2018 telah melahirkan 144 konflik agraria di Indonesia, disusul investasi di sektor properti sebanyak 137 konflik 53 sektor pertanian, lalu sisanya 77 konflik hadir dari sektor Pertambangan, kelautan, pertanian yang juga melibatkan investasi asing.
Selain pelanggaran HAM dan konflik agraria, krisis ekologi juga berpotensi meningkat dalam lima tahun ke depan. Salah satu krisis paling krusial adalah krisis air di daerah pariwisata. Sebagai contoh adalah data yang disampaikan oleh Bali Water Protection yang mengungkapkan pesatnya pembangunan pariwisata membuat Bali tidak akan bertahan hingga 10 tahun lagi.
Hal tersebut tergambar dari fakta mengeringnya 260 dari total 400 sungai yang ada di Bali, yang disebabkan oleh konsumsi air di sektor pariwisata yang mencapai 3 juta liter per hari. Hingga diperkirakan, jika pembangunan yang masif tanpa memerhatikan dampak ekologis ini terus berlanjut pada 2025 Bali berpotensi tidak akan memiliki ketersediaan air tawar untuk dikonsumsi.
Jika pembangunan di sektor pariwisata dan sektor industri berlanjut secara masif di tempat-tempat lain, tentu Bali tidak akan menjadi satu-satunya pulau yang akan menanggung dampak destruksi ekologis.
Persoalan ini menjadi tantangan yang tak boleh diabaikan, karena peningkatan ekonomi tak akan mampu memulihkan dampak kerusakan yang masif. Fakta-Fakta di atas sesungguhnya memberikan gambaran bahwa langkah Jokowi yang terlihat tanpa beban dalam pengembangan investasi dan pembangunan berpotensi memperpanjang deretan konflik dan krisis yang telah hadir dalam lima tahun belakangan. Untuk itu diperlukan kerja kolektif dan sistemik oleh para kabinet periode 2019-2024 kelak dalam mensukseskan visi presiden Jokowi ke depan sebagai bagian dari visi rakyat Indonesia bersama.
Mariyam Jameelah ; Peneliti politik gender & lingkungan di Resister Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar