Kamis, 18 Juli 2019

Antisipasi Efek Samping Insentif Fiskal

Antisipasi Efek Samping Insentif Fiskal

Oleh :  Haryo Kuncoro  ; Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta Doktor Ilmu Ekonomi Lulusan PPs-UGM Yogyakarta
MEDIA INDONESIAPada: Kamis, 18 Jul 2019, 01:20 WIB

KINERJA penerimaan pemerintah tengah mendapat sorotan. Penerimaan pajak yang merupakan penyumbang terbesar pendapatan negara menunjukkan tren perlambatan. Realisasi penerimaan pajak hingga Mei 2019, misalnya, hanya tumbuh 2,43%, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu yang sebesar 14,2%. 

Komparasi dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) agaknya tidak mengubah simpulan. Kinerja PNBP hanya tumbuh 8,6% secara tahunan, di bawah pertumbuhan setahun sebelumnya yang mencapai 18,1%. Sektor sumber daya alam yang menjadi tumpuan PNBP sepertinya juga tengah menghadapi tekanan.
Ironisnya, di saat penerimaan negara masih fluktuatif, pemerintah malah menyiapkan insentif fiskal di sejumlah sektor usaha. Tarif pajak penghasilan (PPh) atas hunian mewah, pajak penjualan barang mewah (PPnBM) di subsektor otomotif serta kegiatan penelitian, pengembangan, dan pelatihan vokasi baru saja dipangkas.
Insentif fiskal berikutnya yang sedang dilakukan simulasi ialah PPh Badan akan dipotong dari 25% menjadi 20%. Belum lagi, pembebasan pajak (tax allowance), pengurangan pajak jumbo (super deduction tax), subsidi pajak, belanja pajak, dan relaksasi PNBP yang akan dirilis di tahun ini juga.
Berbagai langkah tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk mendorong investasi. Sektor investasi tampaknya diproyeksikan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi utama di masa mendatang. Harapan pada komponen ekspor agak redup menyusul prospek perekonomian global yang masih diliputi suasana ketidakpastian.
Skenario tersebut masuk akal. Pertumbuhan ekonomi yang disokong investasi menawarkan banyak benefit. Penanaman modal langsung dari luar negeri senantiasa diikuti dengan eksternalitas positif berupa transfer teknologi. Keterampilan tenaga kerja lokal dengan sendirinya akan ikut terangkat.
Selain berkelanjutan (sustainable), pertumbuhan ekonomi yang dibimbing investasi juga membawa imbas melalui mata rantai jaringannya. Investasi domestik bersentuhan langsung dengan penciptaan kesempatan kerja guna menekan angka pengangguran sehingga berpotensi memperbaiki ketimpangan.
Namun, efektivitas berbagai skema insentif fiskal di atas dalam tataran empiris agaknya masih menjadi perdebatan. Publikasi IMF (2012) menunjukkan pengurangan pajak untuk menarik investasi hanya manjur untuk negara maju daripada ketika diterapkan di negara sedang berkembang.
Bukti empiris di atas tampaknya juga berlaku di Indonesia. Berbagai macam insentif yang sudah ditawarkan pemerintah selama ini terbukti tidak banyak menarik minat investor. Kendati lebih terfokus pada sasaran, insentif fiskal agaknya masih memerlukan batas waktu(time lag yang lebih panjang.
Sehimpun fakta di atas menyarankan perlunya kebijakan tambahan dalam mengantisipasi efek samping yang ditimbulkan dari insentif fiskal. Efek samping pertama ialah potensi kehilangan penerimaan negara yang semestinya bisa diraup. Sementara itu, pemerintah masih harus mengeluarkan biaya administrasi dan pengelolaan insentif.
Apa pun skemanya, insentif pajak harus bisa memangkas biaya penggunaan modal sehingga mendorong kenaikan barang modal. Namun, pasokan barang modal inelastis dalam jangka pendek. Konsekuensinya, insentif pajak bisa salah sasaran yang menguntungkan pemasok barang modal, alih-alih investor.
Oleh karena itu, investor perlu diberi panduan secara detail sektor-sektor tertentu yang berhak mendapatkan insentif. Hal ini penting mengingat responsivitas investor berbeda lintas sektor. Investasi yang berorientasi ekspor--terutama industri yang mudah berpindah (mobile)--niscaya lebih sensitif terhadap insentif pajak.
Lebih spesifik lagi, insentif perlu diberikan sampai level perusahaan berdasarkan kriteria tertentu. Efek insentif pajak tidak bekerja pada perusahaan yang menghadapi kendala keuangan. Pengalaman di Thailand membuktikan perusahaan yang mendapat manfaat dari insentif justru memiliki rasio keuangan yang lebih buruk.
Dalam skala internasional, pemberian insentif fiskal bisa terjebak ke dalam isu persaingan fiskal. Artinya, insentif fiskal bisa mandul tatkala negara-negara lain, terutama yang berada di satu kawasan juga menawarkan insentif yang sama. Koordinasi fiskal lintas negara mutlak menjadi prasyarat penting dalam pelaksanaan insentif perpajakan.
Insentif perpajakan juga bisa ditafsirkan sebagai bagian dari politik dumping, terutama negara-negara lain yang tidak memberlakukan insentif sejenis. Dalam logika mereka, insentif fiskal membuat harga produk ekspor lebih murah sehingga berpotensi menggerus pangsa pasar negara pesaing.
Per definisi, insentif bersifat temporer. Pada satu saat, insentif fiskal bakal dicabut. Aspek lain yang perlu dipikirkan ialah pencabutan insentif tidak secara otomatis mempersamakan perusahaan penerima insentif layaknya perusahaan yang sebelumnya tidak menerima insentif. Sifat asimetri berakibat proses transisi lagi-lagi memerlukan waktu.
Dampak jangka pendek
Alhasil, masuk akal apabila insentif yang bersifat sementara memiliki dampak jangka pendek yang lebih besar daripada insentif dengan karakter permanen. Dalam jangka panjang, inflasi yang rendah--yang merupakan faktor lain di luar keputusan untuk memberikan insentif--berfungsi sebagai subsidi investasi yang baik.
Aspek penting lain ialah indikator baku untuk mengevaluasi keberhasilan insentif. Untuk sektor industri dan perusahaan dengan produk fisik, standar evaluasi kuantitatif atas program pemberian insentif relatif lebih mudah dilakukan. Komparasi outcome antara sebelum dan sesudah insentif mengarahkan pada kesimpulan yang utuh.
Persoalan jauh berbeda ketika menilai efektivitas insentif di sektor jasa, khususnya kegiatan penelitan dan pengembangan (research and development) serta perusahaan yang melakukan pelatihan vokasi tenaga kerja. Kriteria kualitatif perlu ditetapkan secara kukuh untuk menghindari ambiguitas klaim kesuksesan.
Pada akhirnya, harus diakui bahwa insentif sejatinya ialah bentuk intervensi pemerintah terhadap mekanisme pasar. Eksistensi insentif fiskal terjustifikasi apabila mampu mengoreksi inefisiensi pasar.
Ketidakmampuan mengemban misi koreksi membuat insentif berubah menjadi kegagalan pemerintah (government failure), bahkan kegagalan kebijakan (policy failure). Bukankah efek samping yang paling berat ini juga membutuhkan antisipasi khusus? ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar