Pada sebuah bungkus sumpit terbaca sebuah kalimat seperti ini, ”Good things come in pairs”.Seperti biasa, setelah membaca kalimat itu, pikiran saya terbang ke mana-mana. Kemudian pertanyaan datang bertubi-tubi.
Sendiri
Benarkah demikian? Benarkah yang bagus itu kalau datang berpasangan. Kalau sumpit sudah pasti lebih bagus dan bermanfaat kalau dalam keadaan berpasangan sehingga tujuan dibuatnya sebuah sumpit menjadi tercapai. Yang menggunakannya juga merasa berguna. 

Tetapi, apakah sesuatu yang ”good” itu tak bisa diciptakan kalau tidak ”in pairs”? Kemudian saya melihat pada kehidupan saya sendiri yang tidak in pairs itu. Sebagian besar saya mengerjakannya sendiri. Saya menafkahi hidup saya sendiri. Ketika dokter mengatakan saya harus melakukan operasi, saya memutuskannya sendiri. Ketika saya mempertimbangkan investasi untuk masa depan, saya pertimbangkan sendiri.
Tentu saya juga bertanya ke kanan dan ke kiri. Kepada teman-teman saya yang kebetulan dokter dan kebetulan ahli keuangan dan ahli melipatgandakan uang. Ketika saya memiliki masalah di kantor, ya, saya mencoba berpikir sendiri. Tak ada pasangan hidup untuk saya dapat bertukar pikiran. Apakah kemudian itu tak bagus buat hasil yang saya capai?
Ehm, saya tak tahu jawabannya. Saya tak tahu apakah kalau saya berdiskusi dengan pasangan saya, hasil yang akan saya capai akan lebih bagus daripada saya bertanya ke kanan dan ke kiri yang kebetulan adalah ahlinya?
Sungguh saya tak tahu. Satu hal yang saya tahu, dengan kesendirian, saya belajar tentang banyak hal. Baik karena menemukan dengan sendiri maupun melalui bertanya kepada ahlinya. Mungkin saya tidak lengkap karena sendiri, tetapi banyak hal yang saya lakukan dengan sendiri menghasilkan sebuah hasil yang bisa dikatakan bagus.
Tentu saya tak tahu seandainya yang saya lakukan itu berpasangan. Saya juga tak tahu apakah berpasangan itu sangat efektif atau malah makin ribet. Saya juga tak tahu kalimat yang tertulis dalam bungkus sumpit itu telah teruji kebenarannya.
Tetapi, saya berpikir ulang, apakah yang dimaksud dengan in pairs. Apakah itu selalu berakhir dengan mengartikannya dengan pasangan hidup saja? Bagaimana kalau yang dimaksud in pairs itu adalah berpasangan yang bukan pasangan hidup. Karena dalam kesendirian saya, hasil yang saya capai bagus karena saya bertanya ke kanan dan ke kiri, bertanya kepada ahlinya sehingga saya pada akhirnya tidak sendiri, tetapi ber-”pasangan”.
Tidak pernah sendiri
Saya seorang yatim piatu. Dulu saya berpikir, kalau saya yatim piatu, saya menjadi sendiri, tak punya siapa-siapa. Itu benar secara hukum, saya memang sudah yatim piatu. Dulu saya mengeluh kepada Tuhan soal status saya menjadi yatim piatu.
Orang lain bisa arisan keluarga, saya tidak bisa. Orang lain bisa Lebaran dan Natalan bareng orangtua, saya tidak bisa. Orang lain bisa minta uang kepada orangtuanya meski sudah tua, saya tidak bisa. Orang lain bisa dibayarkan liburannya oleh orangtua mereka, boro-boro saya. Makan nasi hainan aja bayar sendiri.
Sekarang saya mulai bisa berpikir kalau seumur hidup saya tak akan pernah ”yatim piatu”. Tuhan selalu menemani saya. Terus apakah hanya karena secara fisik saya sendiri terus itu berarti saya sendirian? Apakah kalau saya sendiri itu artinya saya tidak in pairs?
Kalau saya sakit, saya ke dokter. Sebelum atau sesudah saya ke dokter, saya mendatangi teman saya yang dokter juga untuk mendapatkan pandangan lain. Kalau saya tak tahu investasi, saya datangi teman saya yang jago soal investasi. Kalau saya tak tahu mengenai pajak, saya datangi teman saya yang mengurus pajak.
Kalau saya tak tahu mengenai jual-beli properti, saya datangi teman saya yang bekerja di bisnis properti. Kalau saya tak tahu makanan padang terenak, saya mencari tahu dari teman saya yang asli Padang. Kalau saya tak tahu dari mana bisa dapat tiket murah untuk bepergian, saya tinggal menghubungi teman saya yang bekerja di biro perjalanan.
Bahkan, dari teman-teman itu, saya memperluas jejaring pertemanan yang menghasilkan banyak keuntungan buat saya dan perusahaan saya. Jadi, ternyata saya selalu berpasangan. Saya tak pernah sendiri. Maka, saya sekarang tak pernah berkeluh kepada Yang Mahakuasa mengapa Ia membuat saya berjuang sendiri.
Saya tak pernah berjuang sendiri, saya tak pernah hidup seperti yatim piatu. Saya selalu berpasangan. Saya selalu ditemani. Pertemuan saya dengan orang baru saat bepergian, bercakap-cakap dengan sopir taksi yang mengantar saya pulang setiap hari. Semuanya membuat saya semakin yakin bahwa kalimat dalam bungkus sumpit itu benar adanya. Good things come in pairs.
Saya berpasangan dengan Tuhan secara spiritual dan saya berpasangan dengan orang-orang yang dikaruniakan Tuhan untuk menjadi ”pasangan” saya secara duniawi. Sungguh hidup itu adil. Kualitas hidup saya bertambah bukan karena saya sendiri, melainkan karena saya berpasangan. Kebahagiaan terbesar dalam hidup yang sudah saya jalani selama 56 tahun ini adalah dalam kesendirian, saya tahu saya ini in pairs. ***