”Jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara.” Pernyataan tegas itu dikeluarkan saat Kongres Masyarakat Adat Nusantara atau KMAN I pada 1999 di Jakarta. Bagaimanakah kini tuntutan pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak masyarakat adat setelah 20 tahun KMAN I berlalu?
Pertanyaan tersebut menjadi perhatian kembali saat kita memperingati Hari Masyarakat Adat Sedunia pada 9 Agustus. Hampir sama dengan nasib masyarakat adat di negara lain, masyarakat adat di wilayah Nusantara juga masih mengalami diskriminasi dan kekerasan.
Di Indonesia, lahirnya pernyataan tegas di KMAN I tak terlepas dari sejarah panjang diskriminasi dan kekerasan yang dialami masyarakat adat dalam memperjuangkan serta mempertahankan hak asal- usulnya.
Data AMAN (Juli 2019) mencatat, terjadi konflik pada 153 komunitas adat yang mengakibatkan 268 warga masyarakat adat mengalami kriminalisasi karena mempertahankan hak atas wilayah adat. Sektor kehutanan menempati urutan pertama, disusul perkebunan, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur.
Respons negara
Riset KPK sepanjang 2000-2012 menyebutkan, konflik pengelolaan sumber daya alam (SDA) tak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga berimplikasi pada kerugian negara, kemiskinan, dan kerusakan ekologis. Pernyataan KMAN I menjadi manifesto politik perjuangan masyarakat adat di Nusantara yang menghendaki penataan ulang hubungan negara dengan masyarakat adat sebagai entitas bangsa yang telah diakui keberadaannya dalam pembentukan awal Indonesia sebagai negara bangsa.
Negara meresponsnya dengan berbagai kebijakan, salah satunya lahirnya Tap MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA. Dalam ketentuan Pasal 4 Huruf (j) secara eksplisit dinyatakan, pembaruan agraria dan pengelolaan SDA harus dilaksanakan sesuai prinsip: pengakuan serta penghormatan hak masyarakat adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan SDA lainnya.
Selama 18 tahun pelaksanaan mandat Tap MPR itu tak menunjukkan hasil berarti bagi masyarakat adat. Konflik di wilayah adat terus berjalan, di sisi lain sampai kini pemerintah belum menunjukkan komitmen serius untuk segera menerbitkan regulasi yang mengatur upaya pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan masyarakat adat secara komprehensif.
Rikardo Simarmata (2008) menyatakan, pendekatan positivistik mengenai masyarakat adat dan hukum adatnya merasuk sampai ke penyelenggara pemerintahan dan penegak hukum. Pendekatan yang tak lagi peka dengan realitas ini mendominasi pandangan penyelenggara negara mengenai masyarakat adat dan hukum adatnya.
Akibatnya, realitas masyarakat adat dan hukum adat yang tak dapat dijelaskan oleh konsep, asas, dan norma hukum negara dijadikan alasan untuk menyimpulkan tidak terdapat masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Pendekatan positivistik tersebut tecermin dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengharuskan keberadaan masyarakat adat beserta hak-haknya harus dibuktikan terlebih dulu dengan perda. Padahal, pengakuan hak masyarakat adat oleh negara, sebagaimana diatur Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945, adalah bentuk penegasan konstitusi terhadap hak yang telah ada sebelum terbentuknya NKRI, bukan pemberian hak baru dari negara.
Belum didaftarkannya hak atas wilayah adat itu tak berarti meniadakan hak masyarakat adat atas wilayah adatnya. Fungsi pendaftaran wilayah masyarakat adat semata-mata dimaksudkan untuk menuntaskan proses administrasinya yang telah dideklarasikan dalam konstitusi. Di sisi lain, pembentukan perda dalam kenyataannya juga bukan hal mudah karena sangat bergantung pada situasi politik lokal dan biaya yang tak murah.
Data AMAN (Juni 2019) mencatat, hingga saat ini terdapat 74 produk hukum daerah. Keberadaan perda ini tak secara otomatis mengembalikan hak-hak masyarakat adat atas wilayah adatnya.
Berdasarkan data KLHK (Mei 2019), hingga saat ini tercatat 32.791,34 hektar hutan adat yang telah dikukuhkan dan dikembalikan kepada masyarakat adat. Angka yang sangat jauh dari target RPJMN seluas 5,8 juta ha sebagaimana telah direvisi dalam rencana kerja pemerintah 2015 seluas 1,252 juta ha, bahkan lebih kecil dari angka peta wilayah adat yang telah diserahkan kepada pemerintah seluas 10,2 juta ha.
Pengembalian wilayah adat tersebut pun masih terbatas hanya hutan adat, belum menyentuh pengembalian wilayah adat secara utuh. Situasi ini menunjukkan bahwa pemenuhan hak masyarakat adat di Indonesia masih sangat jauh dari tujuan konstitusi pengakuan hak masyarakat adat. Ibarat berjalan di belantara tanpa cahaya.

Menghapus gelap
Jalan terang bagi kehidupan masyarakat adat hanya dapat dilakukan jika negara hadir di tengah-tengah masyarakat adat dengan menyusun regulasi dan kebijakan tentang pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak masyarakat adat.
Bisa ditempuh tiga cara. Pertama, melalui pembentukan UU tentang masyarakat adat. UU ini sebagai lex specialis perlindungan hak-hak masyarakat adat atas wilayah adatnya sekaligus mengakhiri sektoralisme pengaturan keberadaan hak-hak masyarakat adat yang tersebar di dalam berbagai aturan perundang-undangan.
Kedua, menyatakan dengan tegas hak kepemilikan bersama masyarakat adat di dalam RUU Pertanahan. RUU Pertanahan harus mengatur secara tegas tiga jenis hak atas tanah: tanah negara, tanah hak individu, dan tanah milik bersama masyarakat adat. Ketentuan ini sebagai penjabaran dari UU PA.
Ketiga, pentingnya membuat kelembagaan khusus di bawah Presiden untuk penyelesaian konflik-konflik agraria dan SDA yang melibatkan masyarakat adat yang bersifat permanen dan independen. Pemenuhan hak masyarakat adat sejatinya adalah jalan menuju terang untuk mengejawantahkan cita-cita, harapan, dan mimpi-mimpi tentang membangun negara bermartabat secara budaya, berdaulat secara politik, dan mandiri secara ekonomi.
(Muhammad Arman ; Direktur Advokasi Hukum dan HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)