Isu perubahan iklim dan dampaknya telah disadari masyarakat pada umumnya. Keseriusan Indonesia menghadapi isu perubahan iklim telah terbukti dengan meratifikasi Persetujuan Paris dalam Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (United Nations Framework for Climate Change Convention/UNFCCC).

Komitmen ini kemudian diterjemahkan atau diintegrasi secara apik ke dalam dokumen perencanaan di tingkat nasional. Publik juga ikut mendesak agar tak hanya pemerintah pusat, tetapi pemerintah daerah juga harus mengambil tindakan untuk atasi isu perubahan iklim.
Sayangnya, ketika diturunkan ke daerah, komitmen ini terhenti di tingkat provinsi. Kewenangan terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tak dibagi ke pemerintah kabupaten walau aksi nyata terkait perubahan iklim harus terjadi di tingkat kabupaten karena pemerintah kabupaten merupakan salah satu wilayah administrasi yang paling dekat dengan masyarakat.
Pada tingkat nasional, komitmen terhadap Persetujuan Paris telah disahkan dalam UU Nomor 16 Tahun 2016. Selanjutnya, upaya mencapai Persetujuan Paris telah didetailkan dalam dokumen yang dikenal dengan Nationally Determined Commitment (NDC) yang juga didaftarkan ke UNFCCC.
Apabila kita memeriksa dokumen perencanaan di tingkat nasional, upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim telah secara nyata diintegrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2014-2019 ataupun rancangan teknokratik 2020-2014. Sektor-sektor terkait juga telah secara tegas menerjemahkan target mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam dokumen rencana strategis (renstra) masing-masing.
Dengan terefleksikannya komitmen Indonesia dalam dokumen perencanaan, publik pun dapat meyakini upaya nyata Pemerintah Indonesia untuk melakukan aksi nyata terkait perubahan iklim. Pemerintah pusat harus menganggarkan dan mengimplementasikan rencana aksi itu. Publik selanjutnya dapat memantau capaian dari upaya tersebut dalam laporan kinerja kementerian dan lembaga setiap tahun.
Namun, semangat ini hanya terhenti di tingkat provinsi. UU Pemerintah Daerah No 23/2014 yang membagi kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sama sekali tak menyebut, apalagi mengatur, mengenai kewenangan terkait perubahan iklim. Permendagri No 86/2017, yang merupakan rujukan bagi daerah untuk menyusun rencana pembangunannya, memberikan daftar menu indikator kinerja bagi pemda.
Terkait perubahan iklim, Permendagri No 86/2017 menegaskan, pemerintah provinsi dapat melakukan upaya aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim provinsi serta inventarisasi gas rumah kaca. Kabupaten, sayangnya, tak kebagian kewenangan sehingga tidak ada indikator kinerja terkait perubahan iklim yang dapat dilakukan dalam RPJM daerah, apalagi dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Apabila dicari dengan saksama, kabupaten yang benar-benar serius melakukan aksi perubahan iklim dapat menggunakan peluang yang disediakan dalam Rencana Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang dapat memuat rencana adaptasi serta mitigasi perubahan iklim.
RPPLH ini memang secara tegas diamanatkan oleh UU Lingkungan Hidup No 32/2009 dan didetailkan selanjutnya dalam Permendagri No 86/2017. Sayangnya, aturan turunan terkait RPPLH masih dalam proses penyelesaian.
Kewenangan kabupaten
Pemerintah kabupaten yang ingin melakukan sesuatu terkait perubahan iklim harus menunggu sampai diselesaikan aturan nasional terkait dengan RPPLH atau memang hanya menunggu, barangkali ada kegiatan yang didanai oleh dana tugas pembantuan dari pusat yang tidak memerlukan dana pendamping dari APBD.
Tentunya daerah yang serius terhadap isu perubahan iklim lebih baik menghindari risiko pelanggaran administrasi daripada memaksakan melaksanakan kegiatan aksi perubahan iklim di dalam RPJMD atau APBD mereka.
Banyak yang berargumen bahwa kabupaten memang tidak perlu melakukan upaya terkait perubahan iklim. Salah satu alasannya adalah karena keterbatasan kapasitas, baik sumber daya manusia maupun fiskal. Saat ini urusan terkait dengan sektor kehutanan juga sudah ditarik kembali ke level provinsi dan hanya menyisakan urusan terkait dengan taman hutan raya ke kabupaten.
Beberapa aksi terkait perubahan iklim, misalnya sektor persampahan, telah dibagi ke tingkat kabupaten sehingga jika daerah serius dapat menggunakan kewenangan yang sedikit itu dalam berkontribusi terhadap aksi perubahan iklim.
Contoh yang diberikan oleh Permendagri No 7/2018 mengenai Kajian Lingkungan Hidup Strategis RPJMD menyediakan basis untuk berargumen bahwa pelibatan pemerintah kabupaten dalam mencapai komitmen nasional merupakan keniscayaan. Permendagri No 7/2018 mewajibkan pemda, termasuk kabupaten, serius memikirkan bagaimana Indonesia mencapai Sustainable Development Goals (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/TPB).
Dengan kapasitas yang terbatas, pemerintah kabupaten dipaksa belajar mengenai TPB dan mencoba berupaya untuk dapat mencapai TPB dengan segala keterbatasannya. Dari proses belajar tersebut diharapkan tentunya satu-dua kabupaten jadi berinovasi dan menjadi contoh bagi kabupaten lain dalam mencapai TPB.
Desentralisasi yang merupakan pelimpahan kewenangan ke pemda didasari teori bahwa pemerintah kabupaten merupakan kepala wilayah administrasi yang terdekat dengan masyarakat yang perlu diberikan pelayanan publik.
Pemerintah kabupaten oleh karena itu yang paling paham kebutuhan konstituennya dibandingkan dengan tingkat pemerintah lebih tinggi sehingga implementasi aksi nyata yang menyentuh masyarakat harus dilakukan di tingkat kabupaten. Terkait perubahan iklim, setidaknya pemerintah kabupaten harus terlibat dalam upaya adaptasi perubahan iklim untuk memastikan masyarakatnya memiliki ketahanan menghadapi iklim yang semakin tak menentu.
Penyuluh pertanian yang saat ini ada di bawah komando pemerintah kabupaten harus paham mengenai variabilitas cuaca dan iklim yang kian ekstrem sehingga dapat memberikan informasi akurat bagi petani mengenai kalender tanam padi untuk mencegah kerugian akibat cuaca atau musim yang tak menentu. Hal ini tentu hanya dapat diwujudkan jika pemerintah pusat membagi kewenangan perubahan iklim itu ke tingkat kabupaten.
Silvia Irawan ;  Direktur Eksekutif Inovasi Bumi (Inobu)