Saya kini berada di Istanbul, tempat khalifah berada antara tahun 1517 dan 1924. Tidak jauh dari sini terdapat synagogue (tempat ibadah) orang Ladino. Siapa orang Ladino? Mereka adalah orang Yahudi yang selama ratusan tahun hidup damai di sini di bawah perlindungan Sultan dan kini Republik Turki. 

”Yahudi”. Istilah itu kini mengandung arti tersendiri di Indonesia. Berdasarkan beberapa penelitian, orang Yahudi termasuk yang paling dibenci di negeri tercinta ini, selaras dengan komunis. Padahal, bila kita mencari di kedalaman sejarah Nusantara, orang Indonesia tak terlihat mengenal ”musuh-bebuyutan” sebagaimana dialami dulu antara orang dan Kroasia, Yunani dan Turki, atau Pakistan dan India. Orang Indonesia bahkan jarang membenci orang Belanda atau Jepang.
Apa yang telah terjadi? Sejarah! Sejarah telah mendunia, dan hal ini tidak membantu. Tak ayal, ketika sejarah itu lagi sakit, buku suci pun dibaca dengan mata yang sakit pula. Akibatnya bisa dahsyat. Coba bayangkan: Kini sudah ada satu negara yang pada dasarnya didirikan atas ”tafsir” terhadap buku sucinya. Mungkin tidak masuk akal, tetapi serius, lho! Negara itu Israel.
Mulai 150 tahun yang lalu, orang Yahudi ortodoks mulai merasa dibenarkan menempati Palestina ”gara-gara” tanahnya konon dijanjikan kepada mereka oleh Tuhan, Yahwe itu. Karena itu dicap sah! Sulit mencari sumber hukum yang lebih serius dari itu, kan? Wetboek Belanda turunan Napoleon pun kalah.
Namun, Anda pasti mengenal pepatah: ”senjata makan tuan”? Itulah yang terjadi pada orang Yahudi tersebut. Karena kebablasan.Habis mendirikan Israel, kini giliran mereka dibenci atas nama kitab suci juga. Kitab yang lain; dengan kutipan yang lain, tetapi ”sumber hukumnya” sama mutlak. Susah, kan?
Jadi sudah hampir 100 tahun lebih dunia dibuat repot dan menangis oleh salah tafsir terhadap beberapa kalimat. Begitulah jika sudah mendekati kiamat, kata orang pinter!
Kembali serius!! Memikirkan nasib orang Yahudi dan segi tragis, berikut warisan kebencian yang menyertainya, justru harus kita ketahui bahwa sejarah ”tidak ditakdirkan begitu”. Orang Ladino di Istanbul adalah buktinya. Mereka bukan sembarang orang Yahudi.
Kenapa disebut Ladino? Karena asalnya bukan di Eropa Utara, Barat, tetapi di Spanyol. Bahasa yang mereka pakai adalah turunan bahasa Spanyol sebagaimana dipakai pada abad ke-15. Mereka adalah sisa historis—beberapa ribu orang—dari satu masyarakat yang turut mengambil andil besar di dalam kejayaan Andalusia antara abad ke-8 dan ke-15.
Tahun 1492, setelah Granada kalah dan Ferdinando menyatukan Spanyol kembali, mereka diusir. Diusir ke mana? Sebagian ke Maroko, di seberang selat. Tetapi, sebagian cukup besar lainnya juga mencari perlindungan di bawah naungan Osmanli. Di situ, apakah Sang Kalifa Osmanli pernah selama hampir lima ratus tahun menjadikan warga Ladino di wilayahnya sebagai warga yang harus dimusuhi atau dibunuh atas nama kutipan kitab suci?
Tidak! Dia mengerti kesalahan raja Spanyol yang telah mengusir mereka sebagai ”pembunuh Yesus”. Mereka lalu diberikan perlindungan di daerah Galata di Istanbul. Di situ mereka menjadi perantara Sri Sultan dalam perdagangannya dengan negeri-negeri Barat. Dari peran mereka itulah konon kita semua belajar, antara lain, bagaimana menikmati kawa, atau kopi. Ada faedah, kan?
Maka marilah kita belajar sejarah dengan mata terbuka agar betul-betul belajar dari sejarah. Dan belajar buku suci melalui sejarah. ***