Sudah jadi pengetahuan umum bahwa seorang menteri dalam kabinet ditugasi memimpin suatu kementerian teknis. Berarti, seorang menteri perhubungan atau keuangan,  diandaikan punya pengetahuan dan keahlian menyangkut soal-soal teknis dalam kementerian bersangkutan.

Namun, kedudukan tiap menteri adalah suatu posisi politis dan bukan sekadar posisi teknis. Alasannya, posisi menteri bukanlah akibat peningkatan  karier seseorang dalam birokrasi.  Seorang menteri adalah political appointee, dapat jabatan menteri bukan melalui pemilihan atau jenjang karier, tetapi penunjukan dan pengangkatan oleh presiden yang memberinya penugasan dan tanggung jawab politik.
Setelah Mahkamah Konstitusi mengesahkan kemenangan Joko Widodo- Ma’ruf Amin, berkembang diskusi bagaimana sebaiknya komposisi menteri dalam kabinet Jokowi berikutnya. Apakah sebaiknya sebagian besar menteri adalah para profesional dengan kompetensi teknis mengenai bidang keahliannya masing-masing, ataukah perlu dipertimbangkan partisipasi lebih banyak politisi yang ditawarkan parpol, khususnya parpol pendukung Jokowi saat pilpres.
Diskusi semacam ini seakan bertolak dari asumsi bahwa sifat teknopolitis dari kabinet dan pemerintahan tergantung kombinasi para profesional atau bahkan teknokrat di satu pihak dan politisi di pihak lain,
Kesadaran teknopolitis
Yang lebih menentukan keberhasilan kabinet dan pemerintahan bukanlah kombinasi orang, tetapi kombinasi mentalitas dan perpaduan mindset yang membentuk kesadaran teknopolitis dengan dua sisi yang sama penting, yaitu kesadaran bahwa  tiap kebijakan politik perlu diimplementasikan secara teknis agar kebijakan dapat diberi wujud nyata dalam suatu tindakan, dan hasilnya dapat dinikmati masyarakat luas..
Sisi kedua, kesadaran bahwa setiap implementasi teknis perlu pertimbangan mengenai syarat dan konsekuensi politis dari apa yang dilakukan secara teknis sehingga tindakan itu dapat dibenarkan secara politik. Contoh ilustratif dapat diambil dari apa yang dilakukan Jokowi pada periode pertama pemerintahannya.
Program penyatuan harga kebutuhan pokok, misalnya, telah memperkecil perbedaan harga antara pusat dan daerah. Di Merauke, kota paling Timur Indonesia, harga bensin premium kini sama dengan di Jakarta, rata-rata Rp 6.000-an/liter. Hanya di pedalaman jadi dua kali lipat. Sebelum penyatuan harga, harga premium di Merauke rata-rata Rp 25.000 dan dapat meningkat menjadi beberapa puluh ribu rupiah per liter.
Di pedalaman bahkan beberapa kali lebih mahal. Sebelum penyatuan harga, semen di Jawa Rp  45.000, di Papua Rp 1 juta-Rp 1,5 juta/sak. Setelah penyatuan harga, di Jawa Rp  58.000, di Jayapura sekitar Rp 60.000 dan di pedalaman Rp 75.000. Ini juga berlaku untuk kebutuhan pokok lain seperti beras dan bahan konsumsi lain.
Penyatuan harga atau pemerataan harga kebutuhan pokok jelas merupakan kebijakan yang memungkinkan pemerataan kesejahteraan, meskipun pemerataan mutlak dalam ekonomi pasar merupakan hal yang mustahil tercapai. Masalahnya, apakah mungkin tak meratanya kesejahteraan dapat diperkecil sejauh mungkin  sehingga inequality ini tak menciptakan ketidakadilan (injustice).
Asimetrinya terlihat di sini: ketakmerataan tak selalu merupakan ketidakadilan karena berbagai kondisi geografis, misalnya, membawa biaya tambahan berbeda-beda, tetapi pemerataan (sejauh dilaksanakan tak melalui pemaksaan sebagaimana terjadi dalam sistem non-demokratis, melainkan melalui cara yang dimungkinkan secara teknis) dapat dipastikan perwujudan keadilan sosial, yang merupakan perintah langsung  Pancasila sebagai filsafat dasar negara kita.
Usaha pemerintahan Jokowi memperkecil ketidakmerataan melalui penyatuan harga kebutuhan pokok merupakan langkah konkret menciptakan pemerataan relatif dari kesejahteraan dan dengan demikian melaksanakan apa yang diwajibkan dasar negara kita, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal sama dapat dikatakan tentang program pembangunan infrastruktur: jalan raya trans-Kalimantan, trans-Sumatera, dan trans-Papua yang direncanakan selesai pada 2020; pembangunan bendungan di Timor, pembukaan lapangan terbang dan pelabuhan baru di sejumlah tempat, dapat dikritik sebagai rencana pemerintah yang terlalu ambisius yang dapat berakibat pada diabaikannya pengawasan teknis dalam pelaksanaan karena terdorong kewajiban mengejar target penyelesaiannya. Apalagi jika dikaitkan dengan besarnya biaya pembangunan infrastruktur dengan keuangan negara.
Namun, dengan mempertimbangkan sungguh-sungguh semua kritik itu, satu hal tetap dapat dibenarkan dan dipertahankan: pembangunan infrastruktur yang memudahkan terhubungnya berbagai tempat di berbagai daerah, yang tadinya sulit dicapai, merupakan suatu keputusan politik untuk mewujudkan persatuan Indonesia.
Tak hanya lewat slogan politik, tetapi dengan menciptakan sarana fisik dan sosial untuk persatuan itu yang lebih baik. Persatuan Indonesia adalah perintah Pancasila. Perintah itu dilaksanakan Jokowi lewat implementasi teknis pembangunan infrastruktur yang memudahkan mobilitas dan hubungan antartempat di seluruh Tanah Air.
Kebijakan Jokowi menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan di perairan Indonesia pernah dikritik sebagai tindakan tak ekonomis karena kapal-kapal itu bisa dijual kembali dengan harga murah ke nelayan lokal. Kritik ini dapat ditolak karena tak mempertimbangkan visi dan makna politik dari langkah itu. Makna politiknya: menegakkan kedaulatan politik RI atas wilayah yang berada di bawah hak dan wewenangnya dan ditetapkan berdasarkan hukum.
Kedaulatan atas wilayah dengan batas-batas teritorial yang telah ditetapkan perlu dijaga oleh negara karena teritori adalah suatu syarat bagi eksistensi sebuah negara untuk dapat pengakuan dari negara lain. Wilayah itu seyogianya menjadi juga Lebensraum atau ruang tempat penduduk negara itu  mendapat penghidupan untuk menghidupi diri dan keluarganya.
Penenggelaman kapal asing adalah tindakan politik untuk menegakkan dan menunjukkan kedaulatan teritorial RI yang harus dihormati negara lain, dan bukanlah cara untuk mendapat kapal-kapal yang dapat dijual kembali dengan harga murah ke nelayan yang butuh.
Tiga contoh itu dapat memperlihatkan bahwa baik apresiasi maupun kritik terhadap pemerintahan, pusat, provinsi, atau daerah, dapat dilihat dengan meninjau hubungan antara kebijakan politik dan implementasinya secara teknis. Suatu pemerintahan dapat memiliki visi dan kebijakan politik yang baik dan barangkali menarik, tetapi dapat gagal melakukan implementasi teknis yang dapat diuji. Atau sebaliknya, melakukan berbagai implementasi teknis, tetapi tanpa penjelasan memadai tentang hubungan implementasi itu dengan kebijakan dan visi politik yang dikehendaki.
Dalam hubungan itu, saya berpendapat, pemerintahan Jokowi melakukan banyak implementasi teknis yang bermanfaat, tetapi perlu diperkuat dengan penjelasan tentang makna atau signifikansi politik yang dilaksanakan dalam implementasi teknis yang dijalankan, khususnya dalam hubungan dengan pertanyaan: apakah dan sejauh mana kebijakan politik yang dijalankan Jokowi dan implementasi secara teknisnya, dapat dipandang sebagai pelaksanaan perintah-perintah yang diberikan oleh Pancasila sebagai dasar negara kita.
Kalau ini dapat dilakukan dengan baik, inilah jalan efektif untuk menunjukkan bagaimana secara praktis-politis Pancasila diaktualisasikan dalam program pembangunan dan bagaimana hubungan itu dapat diperlihatkan kepada publik. Cara ini bermanfaat dan efektif untuk mengakrabkan Pancasila dengan kehidupan publik serta membuat filsafat dasar negara kita aktual kembali.
Secara tak langsung, dengan cara ini, pemerintah memainkan peranan sangat instrumental dalam sosialisasi  Pancasila dengan menunjukkan relasi suatu kebijakan politik dengan realisasinya secara teknis, sebagai suatu kiat revitalisasi Pancasila secara tak doktriner, tetapi metodis, teknis, dan empiris.
Sebaliknya,  atas cara yang sama dapat dilakukan kritik politik dengan menunjukkan, apakah suatu kebijakan politik dan implementasinya secara teknis, punya korelasi yang membenarkan pelaksanaan Pancasila dalam praksis politik. Hal yang lebih sering terjadi, khususnya dalam kontestasi politik: pertunjukan tentang visi dan kebijakan politik yang hendak dijalankan, serta pameran rumusannya yang menarik secara retoris, tetapi tak jelas dan belum ada desain implementasinya secara teknis.
Kekurangan ini dicoba diselamatkan dengan memberi auxiliary statements, pernyataan tambahan yang dapat menolong  menyelamatkan kebijakan politik itu secara logis, tetapi tanpa implikasi teknis dalam pelaksanaannya. Bisa saja pernyataan menolak reklamasi diganti dengan menghentikan reklamasi.
Secara logis menghentikan berarti menolak dilanjutkan. Namun, reformulasi itu membawa dua kesulitan baru. Pertama, menghentikan berarti reklamasi sudah pernah berjalan sebelumnya dan itulah yang tak boleh dilanjutkan. Pertanyaannya, mau diapakan reklamasi yang sudah terjadi? Salah satu kompromi: memanfaatkan bangunan yang sudah ada di tempat yang sudah direklamasi, untuk sebesar-besar kepentingan rakyat banyak dan untuk tujuan ini izin bangunan dapat diberikan.
Namun, kalau kompromi ini yang dipilih, mengapa reklamasi tak diteruskan saja, asal saja ada regulasi yang mengatur bahwa penggunaan segala bangunan dan fasilitas di atas wilayah yang  direklamasi harus untuk sebesar-besar manfaatnya bagi rakyat banyak dan bukan hanya untuk pemupukan modal para pengusaha yang terlibat dalam reklamasi?
Kedua, ada masalah etis muncul jika reklamasi dihentikan, sementara bangunan yang telanjur dibangun boleh digunakan secara legal untuk sebesar-besar manfaat bagi rakyat banyak. Ini akan jadi preseden bagi masalah hukum dan masalah moral. Jika suatu tindakan dilarang secara hukum, tetapi tindakan terlarang itu sudah membawa hasil yang bisa dimanfaatkan, misalnya hasil rampasan atau curian, apakah hasil-hasil tindakan dapat dimanfaatkan secara legal untuk kepentingan orang banyak?
Korupsi memang dilarang secara hukum dan secara moral, tetapi apakah hasil korupsi dapat diinvestasikan kembali sebagai modal perbaikan pertanian atau irigasi dan bendungan baru? Dari segi hukum, apakah suatu tindakan diperbolehkan karena ada legalitasnya, ataukah hasil tindakan itu, sekalipun secara ilegal, akan menentukan legalitas tindakan itu?
Dari segi moral, apakah tindakan seseorang harus disesuaikan dengan norma moral berlaku, atau hasil perbuatan seseorang yang menentang moral, kemudian mendapat nilai moralnya karena hasil perbuatannya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak?
Dua contoh masalah ini dikemukakan untuk menunjukkan bahwa pembenaran suatu kebijakan politik, yang hanya dilakukan dengan mengubah rumusan kebijakan, tetapi tetap tak jelas rencana implementasinya secara teknis, mungkin dapat menolong untuk memberi pembenaran logis, tetapi sekaligus menimbulkan banyak kesulitan lebih besar.
Mentalitas teknopolitis tak saja dibutuhkan kalangan eksekutif, tetapi juga politisi partai dan legislatif, bahkan aktivis politik gerakan sosial, khususnya LSM. Kalau ada usaha terpacu (concerted effort) dalam sinkronisasi terorganisasi untuk menerapkan dan mengembangkan mentalitas teknopolitis ini, sangat mungkin kita terhindar dari banyak masalah yang menghebohkan, tetapi tak menyentuh perkara  substansial, dan memusatkan perhatian dan tenaga pada soal yang benar-benar menyentuh kepentingan vital dalam tahapan politik sekarang.
Platform partai
Hal yang jadi keprihatinan komunitas politik kita: hampir semua parpol kita dewasa ini menghadapi kesulitan merumuskan platform mereka secara spesifik, terfokus dan dapat dikerjakan menjadi program masing-masing. Di pihak lain, Pancasila menawarkan kelima asasnya yang dapat dijadikan platform politik parpol yang serius.
Mengapa belum ada partai yang mengambil asas kemanusiaan yang adil dan beradab jadi platformnya dan mengelaborasinya menjadi program politik yang dapat dilaksanakan? Dapatkah partai menerjemahkan keberadaban dan keadilan atas cara yang lebih konkret sebagai sifat perikemanusiaan yang kita anut? Demikian pun kebangsaan merupakan asas penting yang layak diterjemahkan jadi program politik.
Sedikit imajinasi dan daya cipta dalam mengelaborasi sila-sila Pancasila jadi program politik akan membuat politik kita lebih punya vitalitas dan orientasi jelas dan membawa daya tarik baru bagi kaum muda yang terpikat untuk turut serta dalam usaha menjadi otentik dalam politik karena mengerjakan asas yang filosofis dalam dasar negara kita menjadi pegangan yang eksistensial dalam melaksanakan politik sebagai ikhtiar menggairahkan dan menggerakkan kekuatan sosial yang ada ke arah  yang membawa kesejahteraan umum, memuliakan manusia, dan menghayati suatu patriotisme baru, atau constitutional patriotism menurut istilah filosof Juergen Habermas,  berupa kesetiaan pada negara dan tanah air dalam bentuk kepatuhan pada konstitusi.
Mentalitas teknopolitis adalah pegangan minimal yang memungkinkan kita menghayati politik nasional sebagai real politik dalam menghadapi dan berjuang dengan masalah-masalah zamannya, tetapi sekaligus memikul cita-cita ideal yang harus diwujudkan oleh politik sebagai seni kemungkinan, sebagai the art of the possible.. ***