Fondasi Mewujudkan Visi Jokowi-Ma’ruf
Oleh : Bagong Suyanto *)
DI balik lima program utama untuk mewujudkan visi pembangunan lima tahun ke depan, yang menarik dalam paparan Jokowi-Ma’ruf adalah penempatan Pancasila sebagai fondasi yang tidak bisa ditawar. Membangun bangsa Indonesia yang makin sejahtera dan berkeadilan disadari tidaklah mungkin diwujudkan bila masyarakat masih terpecah belah dan intoleran.
Penegasan Jokowi-Ma’ruf tentang arti penting persatuan dan kesatuan itu penting digarisbawahi. Sebab, dalam lima tahun terakhir, harus diakui adanya indikasi sikap intoleransi dan perpecahan di masyarakat yang cenderung makin mencemaskan.
Sejumlah kasus sempat muncul, antara lain pemotongan nisan berbentuk salib atau sikap sebagian masyarakat yang menolak warga nonmuslim dimakamkan di makam desa. Ada juga kasus seorang warga beragama Katolik yang dilaporkan ditolak mengontrak rumah di sebuah desa karena berbeda agama dengan masyarakat setempat.
Munculnya berbagai tindakan intoleransi di masyarakat jelas merupakan lampu kuning yang tidak bisa diabaikan. Karena tidak hanya melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, tetapi juga lantaran konstitusi yang menjadi fondasi terbentuknya bangsa Indonesia sejak awal telah menjunjung tinggi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Dari segi sosial, berbagai tindakan yang diskriminatif dan intoleran jelas berpotensi mencederai hak dan keserasian sosial yang seharusnya menjadi bagian dari cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rawan Pecah
Makin kuatnya sikap intoleransi yang salah kaprah di masyarakat dalam lima tahun terakhir, diakui atau tidak, menjadi semacam alarm yang mengingatkan kita bahwa ada yang keliru dalam perkembangan masyarakat kita. Alih-alih makin mengembangkan keserasian sosial dan toleransi yang menghargai kelompok minoritas, dalam praktiknya yang terjadi adalah kian kuatnya politik identitas, kehidupan yang soliter, dan rasa permusuhan kepada kelompok the others (kelompok liyan).
Bersamaan dengan terjadinya polarisasi akibat imbas pesta demokrasi, di tanah air tidak sekali dua kali terjadi kasus intoleransi yang berkembang ke arah yang makin sulit dinalar akal sehat. Hanya gara-gara berbeda pilihan politik, orang dengan mudah menuduh pihak lain sebagai kafir. Hanya gara-gara berbeda keyakinan, orang juga makin mudah mengambil jarak membatasi pergaulan, bahkan memutus relasi sosial dengan sesamanya.
Apa sebetulnya yang tengah terjadi dan dialami bangsa Indonesia yang dikenal multipluralis dan telah terbiasa dengan kebinekaan itu? Mengapa daya toleransi masyarakat Indonesia sepertinya makin pudar dan berganti dengan sikap kaku yang lebih mengedepankan keakuan?
Lebih dari sekadar karena perbedaan pilihan politik, menguatnya sikap intoleransi masyarakat seperti tergambar belakangan ini tampaknya justru bersumber dari kekeliruan kita sebagai bangsa yang cenderung dilatih untuk serba menenggang dan diredam suaranya jika berhadapan dengan hal yang kurang disukainya. Berbeda dengan masyarakat yang terbiasa blak-blakan dan bebas mengutarakan apa yang menjadi ketidakpuasannya, selama beberapa dekade kita sebagai bangsa justru dilatih untuk terbiasa memendam masalah.
Sikap yang mendahulukan arti penting keserasian sosial tetapi melupakan fungsi saluran sosial untuk menyampaikan keluhan dan ketidakpuasan membuat bangsa ini mengalami kebuntuan dalam menyalurkan aspirasi ketidakpuasannya. Perbedaan yang masih menjadi bara api yang belum terselesaikan hingga tuntas semasa pemerintahan Orde Baru cenderung ditekan sedemikian rupa. Sehingga yang tampak di luar adalah hal-hal yang seolah sudah tidak menjadi masalah.
Berbeda dengan konflik antarkelas secara ekonomi yang relatif tertutupi oleh kemajuan dalam pembangunan ekonomi dan meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat di lapisan bawah, konflik horizontal yang dipicu kekakuan diferensiasi sosial sesungguhnya belum tertangani dengan baik. Masyarakat masih terkontaminasi oleh perbedaan atas dasar etnis dan agama yang kuat, sementara saluran untuk menyelesaikan persoalan ini tidak pernah dikembangkan hingga tuntas.
Akibat yang terjadi di masyarakat adalah seperti api dalam sekam. Bara api perbedaan itu tetap ada, bahkan masih sangat panas. Kasus yang terjadi memperlihatkan, menguatnya sikap intoleransi boleh jadi adalah eksplosi dari kebuntuan dan belum terselesaikannya masalah SARA yang terpendam sekian dekade di bangsa ini. Sesuatu yang masih mengganjal, ibaratnya seperti jerawat bernanah yang dibiarkan berlarut-larut hingga suatu saat pecah dan menimbulkan luka (psikologis) yang mencederai kita sendiri.
Keserasian Sosial
Memperlakukan kelompok minoritas sebagai kelompok liyan yang didiskriminasi, dipersekusi, dan diperlakukan semena-mena ibarat mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Mencegah agar mimpi buruk tidak berkembang makin masif, yang dibutuhkan bukan hanya membatasi munculnya tindakan diskriminatif di berbagai komunitas. Tetapi, yang tak kalah penting adalah bagaimana melatih masyarakat agar tidak mudah naik tensinya dalam menyikapi perbedaan di sekitar.
Menafikan potensi konflik dan meniadakan saluran untuk menyelesaikan konflik adalah salah satu akar masalah yang mengakibatkan menguatnya sikap intoleransi di masyarakat dewasa ini. Masyarakat yang dipaksa memendam ketidakpuasan dan konflik, pada titik tertentu, jangan kaget jika kemudian meledak dalam skala yang jauh lebih dramatis.
Tidak adanya wadah yang memungkinkan pihak-pihak yang berbeda untuk saling menyapa, mengenali apa yang menjadi perbedaan sekaligus substansi persamaan mereka, cepat atau lambat niscaya akan memicu terjadinya konflik yang manifes. Masyarakat yang tidak terbiasa menyalurkan potensi konflik, dalam benak mereka yang muncul biasanya adalah syak wasangka, batas toleransi yang tipis, dan sikap yang mudah melakukan persekusi kepada orang lain hanya karena berbeda keyakinan atau warna kulit.
Munculnya segregasi sosial di berbagai komunitas dan menguatnya sekat-sekat yang membatasi pergaulan sosial kepada kelompok yang berbeda adalah embrio munculnya persekusi dan konflik yang makin terbuka antarkelompok. Untuk mencegah agar sikap intoleransi tidak makin luas, tidak ada salahnya jika dalam skala yang bisa ditoleransi, perbedaan yang ada dibicarakan, diperdebatkan, dan bahkan dipertengkarkan demi kemudian melewati masa antiklimaks untuk kembali merajut keserasian sosial. Semoga lima tahun ke depan, di era Jokowi-Ma’ruf, bangsa Indonesia makin dewasa dalam menyikapi perbedaan. (*)
*) Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar