REKONSIALISASI POLITIK
Energi Pertemuan Prabowo-Jokowi
Pertemuan Jokowi dan Prabowo merupakan cermin bening keberhasilan bangsa ini melaksanakan proses demokrasi. Sepanas dan seruncing apapun persaingan, dapat diakhiri dengan pertunjukan keharmonisan.
Bung Karno pernah mengatakan, “Teknis kedaulatan rakyat atau dalam bahasa asing democratie, sekedar adalah satu alat, alat untuk mencapai sesuatu tujuan.” Tujuannya sendiri seperti tertuang di Pembukaan UUD 45: melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan terlibat dalam menegakkan perdamaian dunia.
Hal ini sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia yang tertera dalam Pancasila, yaitu penegakan prinsip-prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi dan keadilan sosial.
Pekerjaan selanjutnya adalah mempersatukan elemen bangsa yang tercabik akibat paham yang salah terhadap politik identitas, pemaknaan akan keberagaman, dan keadilan. Sebagai bangsa yang multikultur dan majemuk, bangsa Indonesia akan selalu diwarnai isu SARA. Yang bahaya adalah jika isu SARA ini mengarah pada permusuhan dan perpecahan.
Permusuhan dan pembelahan akibat isu SARA, sulit disembuhkan. Daya rusak politisasi dan penghinaan SARA bisa sampai membuat fondasi hidup bernegara keropos dan hancur. Penggunaan isu SARA dalam kontestasi politik berpotensi tinggi memanaskan suhu kehidupan berbangsa hingga bisa memecah belah dan memunculkan disintegrasi.
Hal yang mengkhawatirkan, muncul kesadaran yang melihat penghinaan SARA sebagai cara ampuh meraih kemenangan politik. Hoaks juga berdampak buruk pada runtuhnya sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Kecenderungan munculnya primordialisme harus diwaspadai sebagai bahaya bagi keutuhan bangsa.
Politik perlu dikawal agar tetap dalam koridor rasionalitas dan tak terjerembab pada politik berbasis emosi sesat. Segenap elemen bangsa perlu diberi kesadaran akan pentingnya politik yang sehat dan rasional.
Tantangannya, bagaimana mengembalikan ruang publik yang sehat dan rasional. Di sinilah perlu kearifan menyejukkan dari politisi. Teladan Prabowo-Jokowi seharusnya mampu dibaca sebagai panduan ke arah upaya mempersatukan ini.
Pesan moral
Pesan moral penting dari teladan pertemuan Prabowo-Jokowi ini adalah hentikan saling mencibir, menghina, memusuhi yang lain. Dalam setiap keberlainan ada energi dinamis yang memajukan. Kebersamaan semua elemen merupakan energi yang besar menuju bangsa yang maju. Jabat erat setelah kontestasi yang panas merupakan energi yang mempersatukan.
Sebagai bangsa yang beragam, bangsa ini harus terus belajar dan memahami persoalan-persoalan terkait multikulturalisme dan pluralisme. Di sini, ”jabat-erat” dapat menjadi slogan “pengaman” dalam kehidupan bangsa ke depan agar perbedaan tidak menjadi alasan perpecahan.
Menurut Nurcholish Madjid, keragaman bagaikan dua mata pisau. Keragaman dapat jadi sumber pengembangan budaya yang kaya dan tangguh, melalui penyuburan silang budaya. Akhirnya muncul unsur-unsur kosmopolit dan universal.
Namun, keragaman bisa jadi kerawanan. Keragaman budaya bisa melemahkan kohesi sosial. Momen seperti pemilu dapat jadi pemicu semakin melemahnya kohesi sosial tersebut.
Lemahnya kohesi sosial berpotensi melahirkan konflik. Dalam masyarakat dengan kohesi sosial lemah, sulit dimunculkan rasa simpati dan empati. Setiap bagian masyarakat tidak merasa bagian dari keseluruhan. Mereka melihat yang lain sebagai bukan bagian dari dirinya.
Agar perbedaan tak jadi sumber ‘penghinaan’ yang berujung konflik, masyarakat multikultural dan plural harus mengelola perbedaan. Agar realitas bangsa yang majemuk tak jadi penyebab perpecahan, setidaknya terdapat tiga hal yang harus dilakukan.
Pertama, mencari titik temu. Bangsa yang beragam ini perlu selalu mengembangkan komunikasi, “bercakap-cakap” satu sama lain. Rasa kebersamaan sebagai bangsa dan persatuan bisa muncul jika sering bersentuhan. Pelatihan keberagaman seperti dilakukan dalam Sekolah Harmoni Indonesia bisa menjadi contoh.
Kedua, mengembangkan toleransi. Toleransi berisi sikap atau hal-hal yang bernilai penghormatan pada yang lain, seperti pengakuan, “menerima yang lain”, saling pengertian, dan memiliki sikap terbuka (inklusif) terhadap perbedaan.
Dengan adanya toleransi, ujaran kebencian, hoaks dan kebohongan dapat dihindari. Dengan toleransi, politik pun menjadi lebih sejuk. Dengan adanya sikap toleran ini, subyek memperlakukan dirinya dan subyek lain secara setara, subyek mengakui dan mengenali identitas satu sama lain.
Ketiga, menciptakan kesetaraan. Perlu selalu diciptakan kondisi bahwa di ruang publik semua setara. Setiap warga negara memiliki hak sipil, politik, dan ekonomi sama. Dengan demikian, selanjutnya akan muncul sikap solidaritas, yaitu pengakuan terhadap identitas personal subyek (yang sifatnya unik dan partikular).
Kesetaraan yang berakar pada solidaritas dapat menjadi kunci terhindarnya bangsa ini dari konflik dan sekaligus terciptanya kehidupan bangsa yang harmonis. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kesetaraan perlu diterapkan dalam berbagai prinsip dan praksis kehidupan.
Dalam agama, misalnya, perlu dipupuk rasa bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan sama dan setara dalam beragama dan beribadah menurut agamanya. Agama jangan dijadikan alat diskriminasi. Kesetaraan juga perlu dimunculkan dalam hal kemanusiaan.
Setiap manusia, setara dalam hal HAM. Selanjutnya kesetaraan sebagai persatuan sesama anak bangsa. Dari sinilah muncul solidaritas sebagai satu nation. Kesetaraan juga terkandung dalam demokrasi. Prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat mengandung makna kesetaraan. Tak akan terjadi musyawarah jika tak ada perasaan setara.
Akhirnya, kesetaraan juga perlu diciptakan dalam kehidupan sosial-ekonomi. Kesenjangan sosial harus diperangi. Pemerintah di semua tingkatan perlu melakukan upaya penciptaan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesetaraan di berbagai bidang kehidupan yang memunculkan solidaritas dalam arti pengakuan terhadap setiap identitas yang unik dan partikular, akan memperkuat integrasi bangsa.
Jabat-erat Prabowo-Jokowi dapat menjadi energi perjuangan ke arah tercapainya titik temu (dialog antar elemen bangsa), toleransi dan kesetaraan untuk mewujudkan keadilan sosial demi kejayaan dan kebesaran bangsa.
(Toto Sugiarto ; Pengajar Pancasila pada Universitas Paramadina dan PTIQ, analis politik pada Exposit Strategic)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar