Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif 2019 selesai dengan kepastian hukum. Kita mulai sibuk dengan gagasan rekonsiliasi. Dengan siapa dan bagaimana.
Untuk menjawab kebutuhan rekonsiliasi, kita semua, termasuk penyelenggara pemerintahan, harus sangat arif melihat konteks sejarah agar periuk kebangsaan kita tidak tumpah berantakan lagi. 

Kain perca indah Nusantara yang telah dirajut lebih dari 70 tahun mungkin terkoyak-koyak bukan oleh persoalan yang sama sekali baru, melainkan persoalan baru yang memanfaatkan persoalan lama yang tak kunjung diselesaikan.
Mengapa Rwanda dan Kamboja menempuh jalan sulit dalam ketidakpastian keadilan restoratif? Karena peristiwa setingkat genosida yang terjadi di negara mereka tak dapat diselesaikan oleh pembangunan ekonomi dan hukum saja. Perlu proses psikologi budaya dalam memahami mengapa peristiwa itu terjadi serta membangun komitmen dan norma-norma hidup bersama yang baru.
Penciptaan monster
Konflik politik ideologis, identitas, ataupun ekonomi telah muncul sejak awal kemerdekaan, bahkan jauh sebelum peristiwa G30S/PKI. Akan tetapi, peristiwa G30S/PKI yang merenggut jutaan jiwa ini telah menciptakan monster terkuat dan paling menakutkan.
Peristiwa yang menimbulkan luka batin, luka budaya, dan luka lintas generasi ini merupakan akumulasi akibat perang dingin global yang nyaris meluluhlantakkan seluruh fondasi sosial politik bangsa ini karena sesama saudara saling membunuh.
Jutaan orang meninggal dan banyak lagi yang harus kehilangan kewarganegaraan serta kesempatan menjadi warga negara yang dihormati karena dianggap bertautan dengan PKI.
Peristiwa ini diikuti oleh narasi satu arah yang mengglorifikasi ”penumpasan” saudara-saudara sendiri dan menyudutkan pihak yang dibunuh. Mereka diisolasi serta dicap sebagai pembunuh dan perusak moral bangsa. Selama 35 tahun selanjutnya, narasi alternatif tidak dapat berkembang.
Masyarakat terjebak dalam satu bayangan horor yang digambarkan dan dituturkan serta dipraktikkan secara nyata dan simbolik sampai generasi ketiga. ”Kebenaran” sepihak seolah sudah diukir di atas batu.
Kebenaran sesungguhnya ”tabu” dan ”berbahaya”. PKI dan berbagai narasi menakutkan telah menjadi monster hidup dalam memori massal di benak setiap warga negara Indonesia.
Ketidakberdayaan
Salah satu ciri penting dari pengalaman traumatis dalam berbagai bentuknya adalah rasa tidak berdaya atas terjadinya peristiwa itu dan tidak berdaya untuk menghadapi konsekuensinya. Dalam trauma massal, ketidakberdayaan akan dirasakan oleh hampir semua pihak yang mengalami.
Ketidakberdayaan dapat diatasi jika ada penjelasan yang masuk akal mengenai peristiwa tersebut dan terjadinya gerakan bersama saling mendukung dan menguatkan, seperti yang terjadi dalam berbagai peristiwa bencana alam atau terorisme.
Ketidakberdayaan peristiwa-peristiwa konflik bersenjata yang melibatkan kekuasaan tidak dapat dipulihkan dengan mudah karena selalu saja ada pihak-pihak dalam kekuasaan yang takut atas konsekuensinya dan menggunakan berbagai cara untuk memelihara ketidakberdayaan tersebut. Cukup banyak bukti empiris untuk upaya-upaya seperti itu dalam dasawarsa terakhir politik di Indonesia.
Sayangnya, mereka menemukan kesempatan baik untuk muncul secara gencar ketika negara ini di bawah pemerintahan sipil yang dipimpin orang kebanyakan yang di waktu lampau adalah bagian dari komunitas penyintas.
Ketika hoaks, narasi kebencian, narasi identitas, dan adu domba dilontarkan untuk perebutan kekuasaan, semua isu negatif dari buruh asing, LGBT, sampai kriminalisasi ulama, ujungnya adalah ”Pe-Ka-I” (PKI).
Ketika isu itu yang gencar, sebagian besar bangsa, termasuk cerdik pandainya, terperangah tak tahu harus berbuat bagaimana. Menjawab atau tidak menjawab sama salahnya. Akibatnya, narasi seperti ini menemukan ruang yang cukup leluasa untuk kembali menjadi monster bagi banyak pihak.
Momentum rekonsiliasi
Indonesia sebenarnya memperoleh beberapa momentum untuk rekonsiliasi nasional. Pada tahun 1998, saat rezim Orde Baru jatuh, terbuka momentum politik yang sangat besar. Krisis politik dan ekonomi membenturkan lagi rakyat dengan kekuasaan yang dianggap terlalu otoriter dan korup.
Narasi PKI masih digunakan oleh unsur-unsur kekuasaan saat itu untuk mengintimidasi, membungkam, atau mematikan suara-suara kritis—khususnya dari generasi muda. Bedanya adalah bahwa saat itu gerakan rakyat sipil memperoleh dukungan sebagian dari angkatan bersenjata dan elite politik sehingga tidak terjadi pertumpahan darah yang masif dan meluas.
Walau teknologi komunikasi tidak semaju saat ini, tahun 1990-an revolusi internet memberikan sumber-sumber pengetahuan baru tentang sejarah bangsa-bangsa, termasuk Indonesia. Selain itu, ekonomi yang membaik juga memberikan kesempatan bagi generasi baru yang cerdas untuk menimba ilmu di negara-negara adidaya. Mereka pulalah yang ikut mencerahkan intelektual dan pembaca sejarah Indonesia modern.
Perjuangan melawan rezim Orde Baru telah memunculkan narasi baru yang makin lama makin memperoleh kredibilitas dan ruang berwacana. Dalam narasi ini diungkapkan berbagai fakta sejarah bahwa mereka yang dituduh PKI—bahkan dibunuh—adalah rakyat jelata miskin yang tidak tahu apa-apa.
G30S/PKI mulai dianggap sebagai konflik politik elite di kalangan angkatan bersenjata yang diintervensi oleh kekuatan asing. Pascareformasi, narasi PKI telah berubah menjadi bagian sejarah yang perlu dikaji kritis, bukan ditakuti.
Era 1998-2005, dengan pergantian presiden sipil BJ Habibie, kemudian Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri merupakan periode stabilisasi ekonomi dan politik. BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid adalah presiden RI yang paling banyak mengadopsi konvensi PBB mengenai hak-hak asasi manusia (HAM) yang melahirkan Pasal 28 dalam amendemen ke-4 Konstitusi 1945 dan berbagai UU berbasis HAM.
Imbauan untuk menyelesaikan persoalan HAM berat di masa lalu, termasuk G30S/PKI, penculikan dan pembunuhan mahasiswa, buruh, aktivis, serta wartawan, selama 1998, memperoleh momentum politik. Hal ini diperlukan karena masih berlangsungnya konflik di Aceh serta muncul konflik bersenjata baru di Ambon, Maluku, dan Poso.
Konflik-konflik warisan Orde Baru ini akan mencekik upaya-upaya pembangunan nasional jika tidak diperoleh resolusi yang menyeluruh dan adil. Membangun di atas puing-puing kepercayaan dan kebencian antarwarga negara akan sangat sulit dilakukan.
Budaya impunitas
Sayang, bahwa momentum ini hanya menghasilkan sedikit resolusi. Annie Pohlman, peneliti dan dosen University of Queensland, Australia, dalam makalahnya menyatakan bahwa sampai dengan dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), budaya impunitas (culture of impunity) masih berlaku, padahal harapan bahwa negara berkewajiban melindungi rakyatnya sedang melambung. Tokoh dan pelaku kejahatan kemanusiaan tidak memperoleh hukuman yang setimpal. Banyak yang masih tidak terungkap.
Memang SBY berhasil menstabilkan Aceh, Maluku, dan Poso—prestasi yang perlu diakui—tetapi memori sejarah mengenai PKI yang menghantui setiap kritik dan perlawanan terhadap pemerintah tidak pernah menyurut.
Setiap kali ada peristiwa politik, seperti pemilihan umum, monster yang ada di bawah sadar semua orang Indonesia yang lahir pasca-1965 didaur ulang dan dibumbui dengan politik identitas dan keagamaan. Efeknya pun hampir tak berubah, yaitu menakutkan dan membingungkan generasi muda.
Menuju Indonesia maju
Pemilu 2019 merupakan momentum sejarah yang akan menjadi bahan kajian akademik cukup lama ke depan. Inilah saatnya kita menutup buku masa lalu dan menuju ”Indonesia Baru” yang maju. Pembangunan akan diarahkan untuk pembangunan sumber daya manusia (SDM).
Sudah barang tentu, SDM yang akan dibangun adalah yang berwawasan nasional dan global, arif-cerdas, kritis, berani mengambil risiko, mampu mencari kekuatan dalam budaya masyarakatnya sendiri. Persoalannya, seperti dijelaskan di depan, jiwa-jiwa generasi penerus yang akan dijadikan modal sebagian besar adalah ”jiwa-jiwa terluka” oleh konflik masa lalu dan terjebak dalam narasi lama dan narasi sempit politik identitas keagamaan.
Bagaimana mengatasinya? Minimal ada tiga prasyarat yang harus dipenuhi pemerintah, elite politik, dan kaum cerdik pandai. Pertama, membawa bangsa ini berdamai dengan kekerasan masa lalu. Upaya hukum dan pemaafan merupakan best practice di negara-negara yang mengalami hal yang sama. Membangun identitas baru yang optimistis dan berdaya.
Kedua, membangun narasi persaudaraan, kerja sama, menghargai perbedaan (membangun kebanggaan sebagai bangsa yang bineka), dan menciptakan rasa aman dalam partisipasi publik untuk mengontrol pemerintah atau kekuasaan.
Ketiga, komitmen politik sepenuh-penuhnya untuk merebut kembali ruang-ruang publik, ruang belajar, ruang kreatif-produktif, dan ruang-ruang untuk membangun persaudaraan dan toleransi yang telah dikuasai oleh politik primordial yang memecah belah.
Dalam hal ini harus dicetuskan zero tolerance. Jangan sampai ruang-ruang dalam keluarga, kelas-kelas pendidikan, wacana publik dikooptasi lagi oleh waham nasionalisme sempit dan identitas primordial hitam-putih.

Membangun bangsa tangguh
Rekonsiliasi hanya sebuah proses. Hasil yang dikehendaki adalah bangsa yang tangguh, yang tahan banting. Bangsa yang dapat menyelesaikan masalahnya tanpa harus menghancurkan diri sendiri. Oleh karena itu, upaya pembangunan harus jauh melampaui rekonsiliasi jangka pendek, tetapi menjangkau ke arah pengalaman traumatis di masa lalu.
Meski demikian, sangat disadari bahwa semua upaya akan menemukan kesulitan dalam merumuskan modalitas dan mediumnya. Karena itu, diperlukan kemauan politik pemerintah yang tegas dengan implementasi UU yang berlaku.
Perluas dan investasi serius pada mekanisme edukatif dan pasar tenaga kerja yang inklusif. Gunakan kerangka legislasi berbasis HAM kita untuk harmonisasi hukum yang bersifat inklusif dan bangun mekanisme serta infrastrukturnya.
Kedua hal di atas harus menjamin bahwa anak-anak Indonesia harus belajar bekerja sama, menghormati siapa pun, bahkan yang berbeda pandangan hidupnya. Kita tidak mengajari anak kita demokratisasi semu karena nilai-nilai itu ada dalam setiap agama besar dan nilai-nilai adat Nusantara.
Dalam ranah politik, selesaikan masalah keadilan restoratif di sejumlah wilayah konflik. Bekerjalah dengan anak-anak muda karena mereka pemilik masa depan. Oleh karena itu, mereka juga harus ikut memperjuangkan masa depan mereka. Mencapai bangsa yang tangguh tidak mungkin dicapai tanpa kerja keras dan pengorbanan.
Kita punya modal. Pemilu 2019 membuktikan bahwa suara rasional, berkebangsaan, dan bermartabat berhasil menumbangkan irasionalitas, kecongkakan primordial, dan halusinasi kekuasaan. ***