Pertemuan “Forum Politik Tingkat Tinggi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan” (UN HLPF) di New York, 9-18 Juli 2019 menegaskan, politik punya sisi lain selain pemilu, pemilu legislatif dan pilpres. Politik memiliki fungsi dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan atas arah tujuan suatu negara, yang diikuti langkah-langkah politik yang konsisten untuk mewujudkan tujuan itu.
Sebanyak 193 negara termasuk Indonesia telah menandatangani kesepakatan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/TPB (Sustainable Development Goals/SDGs). Tahun 2019 ini memasuki tahun kelima sejak kesepakatan TPB dicanangkan, dari 15 tahun batas waktu yang disediakan. Sayangnya kemajuan pencapaian TPB ternyata masih belum secepat seperti yang diharapkan.
Banyak masalah teknis yang dihadapi. Mulai dari tantangan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang memiliki sejarah yang panjang, seperti polusi tanah dan air, deforestasi, ketimpangan dan kemiskinan, gizi buruk, kekumuhan perkotaan, dan sebagainya; maupun permasalahan-permasalahan yang relatif seperti ketimpangan akses pada teknologi, ketidak pastian iklim, iklim yang kian ekstrem, konflik sosial, bencana alam, dan lainnya.
Sebagian permasalahan itu belum terselesaikan karena kurangnya komitmen politik, dilihat dari masih terbatasnya tindak lanjut atas kesepakatan politik dalam memandang TPB sebagai tujuan bersama. Hal tersebut tercermin dari politik anggaran dan politik kepemerintahan di banyak negara.
Diskusi-diskusi dalam HLPF diwarnai dengan kritik dan pertanyaan banyak pihak terhadap komitmen politik itu. Dalam hal ini komitmen politik pemerintah dan para pihak di Indonesia dapat penilaian baik dari banyak negara peserta HLPF.  Tak semua negara mampu menunjukkan ketegasan untuk menetapkan komitmen TPB dalam bentuk produk perundang-undangan.
Indonesia dinilai telah selangkah lebih dengan menerbitkan Peraturan Presiden No 57 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian TPB, yang kemudian diikuti dengan uraian teknis yang rinci melalui peluncur Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencapaian TPB oleh wakil presiden pada Juni 2018, serta Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan No 7 Tahun 2018 tentang Koordinasi, Perencanaan, Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan  Pelaksanaan TPB.
Di samping itu, seperti terlihat dalam Voluntary National Review (VNR) Indonesia 2019 yang disampaikan ke PBB, terdapat beberapa bentuk konkret capaian komitmen politik TPB Indonesia.  Pertama, DPR RI telah jadi tuan rumah Forum Parlemen Dunia untuk TPB (World Parliamentary Forum on SDGs), tak hanya sekali tetapi dua kali sejak 2017.
Kedua, keterlibatan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI pada tingkat global untuk menjadikan pencapaian TPB sebagai bagian dari proses audit keuangan negara. Ketiga, telah terbentuk pusat dan jejaring TPB di sembilan perguruan tinggi (PT) terkemuka (termasuk IPB, UI, Unpad, Jember dan Bengkulu) dan di beberapa PT lain pun telah atau akan segera dibentuk.
Keempat, dunia usaha dan filantropi Indonesia telah meluncurkan “Bisnis dan Filantropi Indonesia untuk TPB” dan menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk melaporkan perkembangan kontribusinya pada pencapaian TPB. Kelima, Badan Zakat Nasional bersama Bappenas telah mengembangkan dan merumuskan Fikih Zakat untuk TPB yang dapat jadi panduan khusus bagi umat Islam Indonesia dalam mendukung dan turut berusaha mencapai TPB.
Keenam, organisasi-organisasi masyarakat sipil bersama Bappenas telah mengembangkan Panduan Kerja Sama Parapihak dalam menjalin usaha bersama untuk berkontribusi bagi pencapaian TPB.
Ketujuh, UNDP Indonesia, Kementerian PPN/Bappenas dan Yayasan Tanoto telah mendirikan Akademi Kepemimpinan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia (The Indonesia SDGs Leadership Academy) yang menyediakan program sistematik pengembangan kapasitas bagi parapihak di tingkat lokal dalam menerapkan berbagai kegiatan yang dapat memberikan kontribusi bagi pencapaian TPB.
Tantangan ke depan
Capaian komitmen politik itu tidak mudah. Meskipun memiliki tujuan yang sama, menyelaraskan berbagai kepentingan dan pendekatan yang berbeda dari pemerintah pusat dan daerah, parlemen, bisnis, pakar dan akademisi, serta organisasi masyarakat dan media; membutuhkan pendekatan dengan ketekunan dan konsistensi yang tinggi serta tidak jarang perlu disertai kemampuan ‘politis’ yang cerdas.
Apalagi kemudian dibarengi dengan hasil kuantitatif pencapaian menuju TPB yang tidak mengecewakan. Pendapatan nasional Indonesia tumbuh konsisten 5 persen per tahun (2015-2018), tingkat pengangguran turun, dengan tingkat pengangguran perempuan turun dari 6,4 persen menjadi 5,3 persen mengikuti terciptanya 9,38 juta kesempatan kerja pada rentang waktu yang sama.
Tingkat kemiskinan di Indonesia turun dari 11,25 persen menjadi 9,82 persen (2014-2018), dengan Rasio Gini yang mengecil dari 0,414 menjadi 0,384, serta peningkatan akses keuangan bagi masyarakat miskin membaik dari 22 persen menjadi 37 persen.
Di sisi lain, data jumlah emisi gas rumah kaca Indonesia menurun 22,5 persen dibandingkan baseline-data-nya dan intensitasnya menurun 27 persen (2010-2017). Hasil-hasil itu memberikan harapan yang besar bagi Indonesia, apalagi melihat bahwa negara-negara lain peserta UN HLPF 2019 yang masih harus berjuang dan menghadapi hambatan politik yang jauh lebih besar.
Namun pekerjaan belum selesai. Capaian-capaian di atas masih jauh dari kondisi “tidak ada kemiskinan”, “tidak ada kelaparan”, atau “tercapaiannya ketahanan pangan dan gizi” serta tujuan-tujuan lain dalam TPB.  SDG Index yang dikeluarkan oleh Sustainable Development Solution Network dan Berltesmann Stiftung menunjukkan bahwa ranking Indonesia masih belum memuaskan.
Pemerintahan dan parlemen yang telah terpilih pada Pemilu 2019 perlu menjalankan tanggung jawab politiknya untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pada tahap ini, tantangannya jadi jauh lebih sulit karena sumber daya pemerintah (APBN, APBD, plus regulasi-regulasi pemerintah) diperkirakan hanya akan mampu mewujudkan pencapaian 30-40 persen dari sasaran akhir TPB.19 
Tak bisa tidak, dunia usaha melalui bisnis model mereka dan masyarakat lewat berbagai inisiatif dan kreativitas lokalnya harus diyakinkan dan terlibat serta dapat apresiasi semestinya dalam usaha mencapai TPB. Harus ada politik pembangunan yang berkelanjutan oleh semua dan bagi semua. Itulah sebabnya, dalam pencapaian TPB dikenal prinsip ‘no one left behind’, tak boleh ada yang tertinggal atau ditinggalkan.
(Bayu Krisnamurthi ;  Ketua IPB SDGs Network, Anggota Delegasi RI pada UN-HLPF 2019)