Mengakhiri Perkawinan Anak
Perkawinan adalah hak setiap manusia. Namun, perkawinan tak boleh dilakukan secara sembrono. Perkawinan sebagai ikatan suci, tak sekadar memuaskan nafsu syahwat. Perkawinan adalah gerbang mulia manusia menuju kemanusiaan utama.
Oleh karena itu, setiap individu perlu menyadari bahwa perkawinan punya aturan. Salah satu aturan itu adalah tidak boleh mengawini/mengawinkan anak.
Anak dalam UU Perlindungan Anak adalah yang berusia di bawah 18 tahun dan yang ada di dalam kandungan. Aturan itu pun dikuatkan oleh putusan MK bahwa seseorang tak boleh dikawinkan saat berusia 18 tahun ke bawah. Mengapa masih saja terjadi perkawinan anak?
Melawan budaya
Perkawinan anak merupakan masalah kompleks. Butuh keberanian semua pihak untuk mengatakan tidak pada perkawinan anak. Perkawinan anak sering kali mendapat legitimasi dari budaya masyarakat. Masyarakat menganggap perkawinan di bawah usia 18 tahun hal biasa.
Mereka tak berpikir itu melanggar aturan perundang-undangan. Mereka hanya menjalankan apa yang sudah jadi kebiasaan masyarakat turun-temurun. Mereka abai yang dikawinkan belum punya kesiapan fisik dan mental yang cukup untuk menjadi pasangan ataupun menjadi orangtua.
Perkawinan anak bukanlah cara melanggengkan budaya. Budaya perkawinan anak perlu diakhiri dengan mengubah paradigma masyarakat tentang rumah tangga/pernikahan. Pernikahan bukan sekadar melampiaskan nafsu secara sah dan halal. Perkawinan adalah proses hidup saling menghargai, menghormati, dan menghadirkan tatanan sosial yang beradab.
Seseorang yang berusia di bawah 18 tahun sangat rentan dalam proses membangun rumah tangga. Kerentanan dimulai dari belum siapnya organ reproduksi perempuan, termasuk organ intim (rahim) dalam proses pembuahan.
Seorang calon ibu yang belum siap akan mudah keguguran atau mengalami masalah kehamilan. Kesiapan fisik calon ibu juga penting saat ia harus berhadapan dengan budaya yang membelenggu. Ia harus siap mengandung pada usia 18 tahun.
Menurut Kementerian Kesehatan, kehamilan pada usia anak 4,5 kali lebih berpeluang berisiko tinggi dan 2-5 kali preeklamsia dibandingkan dengan menikah pada usia dewasa. Dari sekitar 4,5 juta bayi yang lahir dalam setahun di Indonesia, 2,3 juta dari pasangan yang menikah dini.
Ini menyumbang potensi angka kematian ibu yang mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup dan kematian bayi 32 per 1.000 kelahiran hidup. Perkawinan anak berkontribusi besar menghambat tercapainya Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), Tujuan pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dan kualitas SDM.
Tetua/tokoh masyarakat perlu jadi pemimpin dan mengatakan tidak pada perkawinan anak. Mereka perlu dapat edukasi agar bersuara lantang menolak perkawinan anak.
Kondisi mental menjadi sesuatu yang penting dalam perkawinan. Saat mental belum siap, maka perceraian ”menjadi solusi”. Dampaknya, kesehatan jiwa anak akan terganggu. Menurut Plan Internasional (2011), 44 persen anak yang menikah mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Studi Rifka Annisa, perkawinan usia kurang dari 18 tahun memiliki prevalensi lebih tinggi mengalami depresi. Tatanan sosial yang beradab terbangun dari perkawinan yang tak hanya didasarkan pada pemuasan nafsu dan legitimasi budaya, tetapi perkawinan yang menghormati hak-hak dasar warna negara.
Perkawinan anak jelas melanggar hak dasar warga negara, karena anak masih butuh pengasuhan orangtua dan orang- orang terkasih. Perkawinan anak perlu menjadi musuh bersama.
Upaya negara
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 22/PUU-XV/2017 menyatakan ”pernikahan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak anak yang dapat menimbulkan kemudaratan”. Menurut BPS (2017), sebaran angka perkawinan anak mencapai 10 persen di seluruh provinsi di Indonesia. Angka perkawinan anak yang melebihi 25 persen berada di 23 dari 34 provinsi.
MK memerintahkan kepada pemerintah dan DPR untuk mengubah Pasal 7 Ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur batas usia perkawinan bagi perempuan yang saat ini 16 tahun, dalam waktu tiga tahun ke depan. Amar MK ini penting untuk disegerakan oleh DPR dan pemerintah sebagai bukti komitmen negara dalam melindungi anak Indonesia.
Secara simultan Mahkamah Agung juga dapat menyegerakan pedoman mengadili perkara dispensasi kawin agar menjadi bagian holistik dalam pencegahan perkawinan anak di peradilan.
(Rita Pranawati, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI); Dosen Fisip Uhamka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar