Selasa 16 Juli 2019, 16:05 WIB
Inikah Akhir Permainan Politik Identitas?
Bagaimana pun, pertemuan Jokowi dan Prabowo di MRT itu kabar baik. Kabar baik pertama, tensi polarisasi jadi sangat berkurang. Kabar baik kedua, dari peristiwa ini publik cheerleaders seharusnya mau menyadari satu fakta keras: bahwa di level elite, kebencian satu sama lain selama proses elektoral itu tak lebih daripada sandiwara belaka. Tentu saja termasuk bagaimana politik identitas dimainkan di dalamnya.
Dalam dua Pilpres terakhir, mau tak mau saya harus tegas menunjuk bahwa pemain politik identitas itu adalah kubu Prabowo. Lihat, secara tiba-tiba dia dicitrakan sebagai muara segala kepentingan kehormatan Islam wal muslimin, dan lawannya jadi seolah-olah memusuhi apa pun yang terkait Islam.
Sampean boleh saja melemparkan respons dengan pernyataan balik bahwa kubu Jokowi toh memainkan isu radikalisme, anti-NKRI, ancaman khilafah, dan sebagainya. Pada sebagian sisi saya juga sepakat kok. Namun, simpel saja, itu di luar kategori politik identitas.
Dengan permainan politik identitas yang dijalankan oleh elite kubu Prabowo, cara pandang publik pendukungnya pun jadi sangat ekstrem. Lihat saja bagaimana sikap mereka kepada TGB yang sebelumnya merupakan salah satu ikon top 212 itu, sikap kepada Ustaz Yusuf Mansur, dan last but not leastya sikap kepada Kiai Maruf Amin. Dalam hitungan detik, penghormatan dan puja-puji kepada tokoh agama hancur tinggal kenangan belaka.
Nah, apakah kisah romantis MRT I'm in Love itu akan menjadi bumerang bagi Prabowo dan mendadak dia pun akan dianggap sebagai musuh Islam? Kita masih bisa memantaunya pelan-pelan. Tapi sepertinya memang bakalan begitu.
Yang jelas, sepanjang sejarah Indonesia, tampak narasi-narasi pembelaan kepada Islam adalah kesungguhan dan ketulusan di level akar rumput, namun sekadar tunggangan sekejap bagi para elite.
Saya pernah membaca kilas balik kelakuan Soeharto yang ditulis oleh Kang Doktor Achmad Munjid di dinding Facebook-nya.
Pada sekitaran Tragedi 1965-1966, Soeharto memobilisasi umat Islam dalam menghabisi kelompok komunis. Ketika PKI (beserta siapa pun yang dituduh dekat dengan PKI) tumpas, umat Islam bersorak menyatakan bahwa kemenangan Orde Baru adalah kemenangan umat Islam.
Namun, saat kekuasaan Soeharto mulai mapan, rehabilitasi partai Islam Masyumi malah dilarang. Soeharto justru berdekat-dekatan dengan kelompok Kristen, tidak pernah mau Jumatan, bahkan ogah mengucapkan assalamualaikum dalam pidato-pidatonya. Pendek kata, Soeharto menjauh dari segala sesuatu yang identik dengan Islam.
Dalam sebuah kuliahnya di Youtube, Profesor Vedi Hadiz memberikan gambaran pula bahwa umat Islam memang dilemahkan pada awal Orde Baru. Segala akses penguatan ekonomi dibatasi bagi kelompok Islam. Sebab, umat Islam sangat besar di Indonesia. Jika mereka perkasa pula secara ekonomi, kekuatan Islam akan potensial menggoyang singgasana Soeharto.
Karena itulah, yang dibesarkan oleh Soeharto justru kelompok minoritas, dalam hal ini segelintir pebisnis keturunan Tionghoa. Meski jadi sangat kaya, kelompok ini tak akan cukup mampu menggerakkan kekuatan secara masif. Dengan people power, eh, gerakan kedaulatan rakyat, misalnya.
Sudah ketemu logikanya, bukan?
Kita kembali ke Kang Munjid. Pada tahun 1990-an, ICMI berdiri, dan arus kekuatan ekonomi dan politik kelas menengah muslim merangsek tak terbendung. Soeharto tak mampu memberangusnya. Maka, ia pun naik haji, memakai nama Muhammad, dan berbaliklah ia menggandeng Islam. "Pak Harto telah hijrah," mungkin kalimat seperti itulah yang akan muncul di medsos andai peristiwa itu terjadi hari ini hehehe.
Dari kasus Soeharto saja, kita dapat melihat pola taktik para elite dalam menunggangi sentimen umat Islam di Indonesia. Semuanya demi kekuasaan, dan tentu saja demi akses-akses sumber daya yang sangat besar.
Sekali lagi, saya sendiri sama sekali tidak menafikan bahwa apa yang disebut sebagai sentimen keislaman itu adalah ketulusan dan perjuangan belaka di akar rumput. Tapi ya gitu deh. Di level elite, semuanya cuma alat.
Maka, jika para elite itu menang, sesungguhnya bukan umat Islam pemenangnya. Dalam kalimat ala Vedi Hadiz, pemenang kontestasi adalah oligarki (segelintir orang yang menguasai sumber daya politik maupun ekonomi skala besar) yang menggunakan sentimen keislaman untuk memobilisasi dukungan.
Pertanyaannya, kenapa politik identitas Islam sangat mudah digunakan?
Tiga hari lalu saya berkumpul bersama anak-anak muda lintas iman, lintas mazhab, sekaligus lintas etnis. Mereka berjumpa untuk memperkuat gerakan yang mendukung semangat kemajemukan. Di forum itu saya heran, sebab ternyata masih cukup banyak yang belum paham kenapa politik identitas sangat gurih dijadikan santapan.
Saya sampaikan, kata kuncinya adalah "emosi" dan "populasi pasar".
Permainan politik identitas menggunakan sisi-sisi yang paling sensitif dalam diri manusia. Bisa ras, etnis, hingga agama. Karena wilayah tersebut terkait dengan hal-hal yang melekat pada harga diri setiap manusia, ia sangat gampang memicu ledakan emosi saat diusik, atau saat "seolah-olah diusik" lewat skenario permainan bikinan para elite.
Dalam konteks Indonesia, agamalah yang rasanya paling sensitif, dan yang lebih mudah dimainkan adalah Islam. Kenapa Islam? Tentu saja karena mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Posisi mayoritas itu sama artinya dengan potensi elektoral yang menggiurkan.
Jika tidak berhati-hati, saya katakan kepada anak-anak muda itu tadi, kita akan terjebak dengan prasangka kepada Islam. Seolah penganut Islam sajalah yang paling gampang diusik. Padahal bukan Islamnya yang paling menentukan, melainkan posisinya sebagai mayoritas.
Itulah kenapa Donald Trump justru memainkan kampanye anti-Islam untuk merengkuh suara mayoritas di Amerika Serikat, dan Jair Bolsonaro di Brazil menang dengan basis posisinya sebagai Kristen Evangelis yang melemparkan hoaks ancaman komunis-ateis di sana-sini.
Maaf, saya terpaksa mengulang pemahaman yang sangat mendasar seperti ini. Semata karena saya kaget bahwa para anak muda penggiat kemajemukan pun ternyata banyak yang belum paham.
Nah, dari situ kita bisa mempertanyakan, apakah rekonsiliasi Jokowi-Prabowo di peristiwa "MRT Bergoyang" itu akan menutup pintu-pintu permainan politik identitas?
Hehe, tentu saja tidak. Selama posisi muslim Indonesia masih menggiurkan sebagai populasi besar potensi pemilih, dan selama mereka masih gampang sekali dibikin sensitif dengan kabar-kabur yang secara instan memicu letupan emosi, maka selama itu pula umat Islam akan jadi objek permainan elite demi tujuan marketing politik.
Itu baru poin pertama. Kedua, selama media-media (baik media betulan maupun terutama media abal-abal yang berjibun jumlahnya) masih menikmati berkah ekonomi dari metode clickbait yang juga memanfaatkan sensitivitas keagamaan untuk memancing jempol para konsumen informasi, maka permainan politik identitas masih akan terus berkembang biak dan menemukan ladang-ladang suburnya.
Ketiga, selama mereka yang mengaku pendukung pluralisme masih sering terjebak pada cara-cara ofensif untuk "membela harmoni dan keberagaman", misalnya dengan perisakan massal kepada kelompok yang ditengarai sebagai lawan dari semangat kebhinekaan, selama itu pula politik identitas semakin tereduplikasi.
Kenapa? Karena yang muncul kemudian adalah resistensi. Dan, resistensi justru akan semakin melipatgandakan paranoia, sementara ekstremisme hampir selalu dipupuk dengan paranoia.
Ini sama sekali bukan pola yang baru. Dalam bukunya Field of Gods, Karen Armstrong menceritakan pertentangan antara kaum Kristen konservatif dan kalangan sekuler di Amerika Serikat pada awal 1920-an. Kaum sekuler menyerang kelompok religius konservatif dengan menyebut mereka sebagai "primata menganga dari lembah dataran tinggi." (Ya, mirip-mirip dengan ujaran "kaum bumi datar" atau "kaum sumbu pendek" yang sering kita, eh, kalian ucapkan itu.)
Walhasil, sikap ekstrem kelompok Kristen justru semakin keras karenanya.
"Setiap kali diserang," kata Bu Karen, "Baik dengan kekerasan atau kampanye media, sebuah gerakan fundamentalis hampir selalu menjadi lebih ekstrem. Ini menunjukkan kepada orang-orang yang tidak puas bahwa ketakutan mereka memang beralasan: dunia sekuler benar-benar berniat untuk menghancurkan mereka."
Dari semua poin itu, tampaklah bahwa nasib permainan politik identitas tidak berada di satu tangan saja. Dan, rekonsiliasi dua orang elite bisa jadi tidak akan mengubah apa-apa.
Iqbal Aji Daryono ; Esais, tinggal di Bantul
Dalam dua Pilpres terakhir, mau tak mau saya harus tegas menunjuk bahwa pemain politik identitas itu adalah kubu Prabowo. Lihat, secara tiba-tiba dia dicitrakan sebagai muara segala kepentingan kehormatan Islam wal muslimin, dan lawannya jadi seolah-olah memusuhi apa pun yang terkait Islam.
Sampean boleh saja melemparkan respons dengan pernyataan balik bahwa kubu Jokowi toh memainkan isu radikalisme, anti-NKRI, ancaman khilafah, dan sebagainya. Pada sebagian sisi saya juga sepakat kok. Namun, simpel saja, itu di luar kategori politik identitas.
Dengan permainan politik identitas yang dijalankan oleh elite kubu Prabowo, cara pandang publik pendukungnya pun jadi sangat ekstrem. Lihat saja bagaimana sikap mereka kepada TGB yang sebelumnya merupakan salah satu ikon top 212 itu, sikap kepada Ustaz Yusuf Mansur, dan last but not leastya sikap kepada Kiai Maruf Amin. Dalam hitungan detik, penghormatan dan puja-puji kepada tokoh agama hancur tinggal kenangan belaka.
Nah, apakah kisah romantis MRT I'm in Love itu akan menjadi bumerang bagi Prabowo dan mendadak dia pun akan dianggap sebagai musuh Islam? Kita masih bisa memantaunya pelan-pelan. Tapi sepertinya memang bakalan begitu.
Yang jelas, sepanjang sejarah Indonesia, tampak narasi-narasi pembelaan kepada Islam adalah kesungguhan dan ketulusan di level akar rumput, namun sekadar tunggangan sekejap bagi para elite.
Saya pernah membaca kilas balik kelakuan Soeharto yang ditulis oleh Kang Doktor Achmad Munjid di dinding Facebook-nya.
Pada sekitaran Tragedi 1965-1966, Soeharto memobilisasi umat Islam dalam menghabisi kelompok komunis. Ketika PKI (beserta siapa pun yang dituduh dekat dengan PKI) tumpas, umat Islam bersorak menyatakan bahwa kemenangan Orde Baru adalah kemenangan umat Islam.
Namun, saat kekuasaan Soeharto mulai mapan, rehabilitasi partai Islam Masyumi malah dilarang. Soeharto justru berdekat-dekatan dengan kelompok Kristen, tidak pernah mau Jumatan, bahkan ogah mengucapkan assalamualaikum dalam pidato-pidatonya. Pendek kata, Soeharto menjauh dari segala sesuatu yang identik dengan Islam.
Dalam sebuah kuliahnya di Youtube, Profesor Vedi Hadiz memberikan gambaran pula bahwa umat Islam memang dilemahkan pada awal Orde Baru. Segala akses penguatan ekonomi dibatasi bagi kelompok Islam. Sebab, umat Islam sangat besar di Indonesia. Jika mereka perkasa pula secara ekonomi, kekuatan Islam akan potensial menggoyang singgasana Soeharto.
Karena itulah, yang dibesarkan oleh Soeharto justru kelompok minoritas, dalam hal ini segelintir pebisnis keturunan Tionghoa. Meski jadi sangat kaya, kelompok ini tak akan cukup mampu menggerakkan kekuatan secara masif. Dengan people power, eh, gerakan kedaulatan rakyat, misalnya.
Sudah ketemu logikanya, bukan?
Kita kembali ke Kang Munjid. Pada tahun 1990-an, ICMI berdiri, dan arus kekuatan ekonomi dan politik kelas menengah muslim merangsek tak terbendung. Soeharto tak mampu memberangusnya. Maka, ia pun naik haji, memakai nama Muhammad, dan berbaliklah ia menggandeng Islam. "Pak Harto telah hijrah," mungkin kalimat seperti itulah yang akan muncul di medsos andai peristiwa itu terjadi hari ini hehehe.
Dari kasus Soeharto saja, kita dapat melihat pola taktik para elite dalam menunggangi sentimen umat Islam di Indonesia. Semuanya demi kekuasaan, dan tentu saja demi akses-akses sumber daya yang sangat besar.
Sekali lagi, saya sendiri sama sekali tidak menafikan bahwa apa yang disebut sebagai sentimen keislaman itu adalah ketulusan dan perjuangan belaka di akar rumput. Tapi ya gitu deh. Di level elite, semuanya cuma alat.
Maka, jika para elite itu menang, sesungguhnya bukan umat Islam pemenangnya. Dalam kalimat ala Vedi Hadiz, pemenang kontestasi adalah oligarki (segelintir orang yang menguasai sumber daya politik maupun ekonomi skala besar) yang menggunakan sentimen keislaman untuk memobilisasi dukungan.
Pertanyaannya, kenapa politik identitas Islam sangat mudah digunakan?
Tiga hari lalu saya berkumpul bersama anak-anak muda lintas iman, lintas mazhab, sekaligus lintas etnis. Mereka berjumpa untuk memperkuat gerakan yang mendukung semangat kemajemukan. Di forum itu saya heran, sebab ternyata masih cukup banyak yang belum paham kenapa politik identitas sangat gurih dijadikan santapan.
Saya sampaikan, kata kuncinya adalah "emosi" dan "populasi pasar".
Permainan politik identitas menggunakan sisi-sisi yang paling sensitif dalam diri manusia. Bisa ras, etnis, hingga agama. Karena wilayah tersebut terkait dengan hal-hal yang melekat pada harga diri setiap manusia, ia sangat gampang memicu ledakan emosi saat diusik, atau saat "seolah-olah diusik" lewat skenario permainan bikinan para elite.
Dalam konteks Indonesia, agamalah yang rasanya paling sensitif, dan yang lebih mudah dimainkan adalah Islam. Kenapa Islam? Tentu saja karena mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Posisi mayoritas itu sama artinya dengan potensi elektoral yang menggiurkan.
Jika tidak berhati-hati, saya katakan kepada anak-anak muda itu tadi, kita akan terjebak dengan prasangka kepada Islam. Seolah penganut Islam sajalah yang paling gampang diusik. Padahal bukan Islamnya yang paling menentukan, melainkan posisinya sebagai mayoritas.
Itulah kenapa Donald Trump justru memainkan kampanye anti-Islam untuk merengkuh suara mayoritas di Amerika Serikat, dan Jair Bolsonaro di Brazil menang dengan basis posisinya sebagai Kristen Evangelis yang melemparkan hoaks ancaman komunis-ateis di sana-sini.
Maaf, saya terpaksa mengulang pemahaman yang sangat mendasar seperti ini. Semata karena saya kaget bahwa para anak muda penggiat kemajemukan pun ternyata banyak yang belum paham.
Nah, dari situ kita bisa mempertanyakan, apakah rekonsiliasi Jokowi-Prabowo di peristiwa "MRT Bergoyang" itu akan menutup pintu-pintu permainan politik identitas?
Hehe, tentu saja tidak. Selama posisi muslim Indonesia masih menggiurkan sebagai populasi besar potensi pemilih, dan selama mereka masih gampang sekali dibikin sensitif dengan kabar-kabur yang secara instan memicu letupan emosi, maka selama itu pula umat Islam akan jadi objek permainan elite demi tujuan marketing politik.
Itu baru poin pertama. Kedua, selama media-media (baik media betulan maupun terutama media abal-abal yang berjibun jumlahnya) masih menikmati berkah ekonomi dari metode clickbait yang juga memanfaatkan sensitivitas keagamaan untuk memancing jempol para konsumen informasi, maka permainan politik identitas masih akan terus berkembang biak dan menemukan ladang-ladang suburnya.
Ketiga, selama mereka yang mengaku pendukung pluralisme masih sering terjebak pada cara-cara ofensif untuk "membela harmoni dan keberagaman", misalnya dengan perisakan massal kepada kelompok yang ditengarai sebagai lawan dari semangat kebhinekaan, selama itu pula politik identitas semakin tereduplikasi.
Kenapa? Karena yang muncul kemudian adalah resistensi. Dan, resistensi justru akan semakin melipatgandakan paranoia, sementara ekstremisme hampir selalu dipupuk dengan paranoia.
Ini sama sekali bukan pola yang baru. Dalam bukunya Field of Gods, Karen Armstrong menceritakan pertentangan antara kaum Kristen konservatif dan kalangan sekuler di Amerika Serikat pada awal 1920-an. Kaum sekuler menyerang kelompok religius konservatif dengan menyebut mereka sebagai "primata menganga dari lembah dataran tinggi." (Ya, mirip-mirip dengan ujaran "kaum bumi datar" atau "kaum sumbu pendek" yang sering kita, eh, kalian ucapkan itu.)
Walhasil, sikap ekstrem kelompok Kristen justru semakin keras karenanya.
"Setiap kali diserang," kata Bu Karen, "Baik dengan kekerasan atau kampanye media, sebuah gerakan fundamentalis hampir selalu menjadi lebih ekstrem. Ini menunjukkan kepada orang-orang yang tidak puas bahwa ketakutan mereka memang beralasan: dunia sekuler benar-benar berniat untuk menghancurkan mereka."
Dari semua poin itu, tampaklah bahwa nasib permainan politik identitas tidak berada di satu tangan saja. Dan, rekonsiliasi dua orang elite bisa jadi tidak akan mengubah apa-apa.
Iqbal Aji Daryono ; Esais, tinggal di Bantul
Senang4d
BalasHapusAPK Senang4d
togel hongkong
togel sydney
judi online
slot online
joker123
togel online
murah togel
togel resmi
judi togel
togel pulsa
togel terbaik
situs judi slot
slot online
slot pulsa